Satu

17 1 0
                                    

Teriknya sang surya tidak memutuskan semangat sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu Apel pembuka kegiatan gerak jalan. Guna memperingati hari jadi kepramukaan kesekian tahunnya.

Ai mengarahkan padangan keseluruh penjuru dengan mata menyipit. Sepertinya cuaca panas hari ini tidak melunturkan senyum diwajah mungilnya.

"Ai."

Suara bersumber dari belakang, membuat Ai menoleh. Mendapati Ares yang sedang melongokan kepalanya kekanan - kiri, mencari keberadaan seseorang. "Apa?"

"Lo lihat teman gua ga?" Tanya Ares sembari memanjangkan leher. "Orangnya tinggi, putih, mata sipit, pipinya sedikit cubby."

Kerutan kecil bermunculan ketika Ai berpikir, "Markas maksud lo?"

Ares berdecak, kini indra penglihatnya terfokuskan sepenuhnya pada gadis cantik dihadapannya, "Akash yi bukan Markas. Dikira teman gua cuma satu kali ya? Bukan. Ada lagi,"

"Yakan teman lo yang ikut Pramuka Cuma si Markas,"

"Astaga. Akash yi. A kash. Bukan Markas. Suka banget lo gonta - ganti nama orang. Lagian ngapain juga gua nyari tuh anak. Ga guna. Mau dia hilang ge, mau dia nyasar ge, ga peduli gua. Wong dia sering ikut kegiatan kayak gini,"

Kekehan kecil keluar dari bibir Ai. Asal Ares tau saja, mengganti nama orang adalah hobinya. Sudah banyak korban kegemaran gadis berambut hitam ini. Namun tak ada satupun yang protes. Baru kali ini, dan orang itu Ares, sahabat SMA nya sejak kelas sepuluh.

"Terus siapa? Orangnya bagaimana? Ciri - cirinya apa? Jenis kelaminnya apa? terus kalo Cowok-"

"Cita - cita lo mau jadi wartawan yi? Sumpah. Bahkan wartawan engga sebawel lo," Potong Ares jengkel, dibalas cengiran polos tanpa dosa oleh Ai.

"Ih kok Alpa tau cita - cita Ai sih? Alpa mengintip ya? Oh-" Jari telujuknya mengacung tepat di depan wajah Ares, "Jangan - jangan, Alpa penguntip ya?"

Kejengkelan pria itu bertambah. Terlebih lagi - lagi pemilik nama Aimee Feodora ini dengan seenaknya mengganti nama kesukaannya serta menuduhnya yang tidak - tidak.

Hah? Penguntit? Yang benar saja. Bahkan jika hanya itu pekerjaan terakhir didunia ini, dengan senang hati Ares menolak.
Kalau bayarannya tinggi bagaimana? Hmmm... Akan Ares pikirkan nanti.

Mata Ares memutar jengah, "Alfa yi! Alfa! Pakai F bukan P! Astaga. Tau lah yi susah ngom-" Ares menghentikan kalimatnya tiba - tiba. Pupilnya membola, tangannya pun diangkat tinggi - tinggi, layaknya mengkode tempat dimana ia berpijak. "WOY! ARVIN!"

Ai penasaran dibuatnya. Diikutinya arah pandang Ares. Disana seorang pria berlari kecil datang menghampiri. Jangan lupakan senyum manis tersungging di bibirnya.

Siapa pria itu? Ai sama sekali tidak pernah melihatnya. Apakah Ia satu sekolah dengannya? Kalau iya, kenapa Ai tidak tahu? Ares juga kelihatannya sangat akrab. Siapa dia?

Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dikepala Ai. Ia memadang Ares yang mulai mengomeli orang itu dengan kebingungan yang tercetak jelas didahi, kemudian mata bulatnya beralih. Mengamati sesosok makhluk yang sayangnya menjadi sasaran kekesalan seorang Antares Alfa Orlando.

Tinggi, putih, bermata sipit, pipi sedikit cubby. Sama persis yang disebutkan Ares tadi. Minus lesung pipit di sudut bibir kirinya ketika ia tersenyum.

"Ai!"

Mata Ai mengerjap. Bentakan Ares sukses membangkitkannya dari kegaguman. Ai akui, ia sempat tertarik -oke. sangat tertarik- dengan paras pria yang Ai ketahui bernama Arvin.

"Lap tuh mulut. Air liur lu netes kemana - mana." Selang dua detik setelah mengucapkan kalimat itu, Tawa Ares meledak. Menertawakan Ai yang reflek menyeka ujung - ujung bibirnya.

La Dernièr Mèlodi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang