#1
Hampir waktu subuh, saat bus malam yang kutumpangi berhenti di sebuah kolong jembatan layang. Ini perjalanan yang sangat melelahkan, penuh sesak dan asap rokok yang menguar hampir tak pernah jeda. Bus ekonomi, jurusan Cikokol menjadi saksi awal baru dalam lembar hidupku.
"Jembatan! Jembatan!" Teriakan kenek bus terdengar lantang.
"Kiri ... kiri ... Kami turun di sini, Bang!" Suara parau menyahut dari bangku di sebelah, " Ayo, Mar!" lanjutnya seraya menyentuh bahuku.
Meski mata masih terasa berat, sontak bangkit bergegas turun dari bus, mengekor Mas Slamet, Kakak sepupu yang mengajakku ke sini, hendak mencari pekerjaan di Ibukota.
Ya, belum sebulan aku lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan. Walaupun masuk sepuluh besar siswa berprestasi, tapi impian untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi akhirnya kandas. Klise, terbentur masalah biaya.
Lahir di keluarga yang serba pas-pasan, dengan tiga orang adik yang semuanya masih sekolah, membuat terpaksa harus melupakan cita-cita. Jika tidak ingin menikah muda, maka tak ada pilihan lain selain bekerja.
Bapak yang seorang penjahit di sebuah industri rumahan, tak dapat membendung keinginanku untuk merantau. Berulang mengucapkan maaf karena tak mampu untuk membiayai lanjut kuliah. Kenapa minta maaf? Hanya membuat hati ini merasa sedih mendengarnya. Dengan berat hati, Beliau mengijinkan sulungnya ini merantau, syarat harus tinggal di tempat saudara.
Turun dari bus malam, kami beralih menumpang ojek. Udara pagi terasa begitu dingin, semakin menggigil karena motor itu melaju dengan kencang, menembus gerimis yang sesekali memercik wajah lelahku, setelah semalaman dalam perjalanan.
Ini bukan Jakarta, melainkan Tangerang. Sedikit meleset dari bayangan yang mengira akan ada banyak gedung bertingkat seperti di tayangan televisi. Tapi ternyata tak jauh berbeda dengan tempat asalku, tampak seperti perkampungan dengan banyak hunian yang lumayan rapat. Jalannya pun, tak semua beraspal, sebagian malah berlubang dan becek.
"Kampung Sawah?" tanya Abang ojek yang membawa kami.
"Ya. Jalan atas," sahut Mas Slamet yang duduk di belakangku. Entah apa maksudnya, mungkin alamat yang kami tuju.
Tak sampai setengah jam, kami berhenti di sebuah rumah berukuran tak terlalu besar, masih berdinding papan dan pagar bambu di beberapa bagian.
"Ayo, turun." Aku mengikuti saja apa perintah Mas Slamet. Ojek itu kemudian pergi setelah menerima ongkos.
"Ini rumah Mas Rus, nanti kamu tinggal di sini." Mendengarnya mambuatku mengerti.
"Assalamualaikum." Dia mengetuk pintu, pelan.
Tak lama, pintu terbuka, bersamaan dengan sesosok pria bersahaja masih dengan peci hitamnya, mungkin baru selesai solat subuh. Dia menyambut dengan senyum ramah, menyalami kami.
"Waalaikumsalam. Mari, masuk. Capek, Mar?" seraya mengambil alih tas jinjing di tanganku.
Wajah yang familiar, tapi tak begitu ingat karena jarang bertemu. Mas Rus adalah anak dari budhe yang telah lama merantau dan menetap di sini, juga telah menikah dengan seorang wanita berdarah sunda. Bahkan aku lupa kapan terakhir kami bertemu. Lama sekali.
"Teteh belum pulang, masuk malam. Kamu kalau mau ke kamar mandi di belakang, baru istirahat." Ramah sekali, membuatku merasa tak canggung mengikuti arahannya.
Rumah ini hanya tiga petak, satu ruang tamu, kamar utama dan ruang dapur yang merangkap kamar mandi. Terlihat ada sedikit ruang di belakang bufet, sengaja dibuat sekat. Sebuah kasur lantai berukuran kecil lengkap dengan bantal dan selimut kain terlipat di atasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARA TERLARANG SANG BURUH PABRIK (Novel)
RomanceKisah seorang gadis belia yang mengadu nasib ke kota,menjadi seorang buruh pabrik. Di sanalah tertulis kisah asmara terlarang dengan berbagai konflik di dalamnya. Mampukah dia bertahan?