tiga

3.2K 34 1
                                    

#3

Aku berlari tergesa menuju ke gedung terakhir, satu tahap lagi, test interview. Novi berdiri di sana, di depan ruangan yang masih tertutup. Terbayang lagi saat di klinik, masih menyisakan rasa malu. Bagaimanapun itu adalah prosedur yang harus dilalui, jadi lupakan saja. Berat membalas senyuman Novi saat sampai di dekatnya.

"Kaget, ya?" gumamnya yang malah mengagetkanku.

"Ya?" berusaha menahan malu.

"Memang begitu. Jadi ketahuan kalau ternyata ada riwayat sakit, kalau kamu perokok bisa dipastikan gagal. Apalagi banyak yang ngaku belum menikah, giliran sudah kerja malah ijin 'mulu karena anak sakit."

"Kok begitu?"

"Lagu lama. Kamu anak baru makanya belum tahu dunia pabrik."

"Kamu pernah kerja sebelumnya?"

"Pernah. Setahun di pabrik sepatu, nggak kuat targetnya, makanya keluar."

"Oh?" Aku hanya mengangguk meskipun tak begitu paham dengan penjelasan Novi.

Terdengar seruan ketika salah seorang pelamar seperti kami keluar dari pintu.

"Aku dipanggil. Doain, ya?" Novi masuk ke dalam ruangan, kemudian hilang dibalik pintu yang tertutup.

Kutengok arloji hitam di tangan kiri, hampir jam lima sore, mendung pula. Bagaimana kalau nanti kehujanan? Belum lagi harus melewati kebun kosong yang banyak pohon bambu. Diam-diam bulu kudukku meremang, mungkin karena mau hujan.

"Mar!" Ada yang memanggil, dari arah lain. Teteh tiba-tiba sudah sampai di dekatku, menyerahkan sebuah payung lipat.

"Belum selesai?"

"Belum. Habis ini giliran Mar masuk," sahutku seraya menerima pemberiannya.

"Teteh pulang dulu, nanti biar Wawan yang jemput Mar. Tungguin!" ada penekanan di kalimat terakhir yang membuatku tersenyum mengangguk.

"Iya, Teh."

"Jangan gugup jawabnya, pelan-pelan.Teteh pulang 'heula, keburu maghrib."

"Iya." Teteh pergi, berlari kecil menyusul karyawan lain yang juga pulang. Ada perasaan nyaman saat melihat payung di tangan.

"Masuk, Mar!"

"Ya?" Reflek menoleh saat Novi keluar dari pintu, dari senyum yang mengembang di bibirnya sedikit membuatku penasaran.

"Maaf, ya? Aku nggak bisa nunggu. Kayaknya mau hujan."

"Iya, nggak pa-pa."

"Dah. Sampai besok, ya?" Aku masih sempat membalas lambaian tangannya sebelum mengetuk pintu dengan perasaan tegang.

"Ya, masuk!" sahutan dari dalam.

Segera membuka pintu, kemudian menutupnya kembali, pelan melangkah masuk. Udara sejuk langsung terasa, dari AC ruangan.

"Silakan duduk." serunya lagi tanpa menoleh, terlihat sibuk membuka berkas. Pun saat aku duduk di depannya, dia sama sekali tak menoleh.

Hening.

Aku hanya diam dan meremas-remas lipatan payung di pangkuan, mencoba mengatur detak jantung yang kian bertalu, coba menerka pertanyaan apa yang akan diberikan nanti.

"Ida ... Maryati."

"Ya, Pak. Saya ...." Berusaha menekan suara agar tidak bergetar, menatap lurus ke wajah Pak Ade yang ... mempesona.

"Tell me about your family," sahutnya tenang melipat kedua lengan di dada, bersandar di punggung kursi.

"Ya?" Tak menyangka akan mendengar pertanyaan itu, membuat terdiam dan bingung. Ah? perlahan mengerti, mungkin karena melihat nilai Bahasa Inggris yang lebih besar di antara yang lain di transkrip ijazahku? Tapi untuk praktek langsung seperti ini ... aku ragu.

ASMARA TERLARANG SANG BURUH PABRIK (Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang