PROLOG

12 0 0
                                    


24 Desember 1977.

          Diluar memang tidak menyenangkan bagi kebanyakan orang. Suhu dingin yang menusuk kedalam tulang membuat orang-orang terpaksa berdiam diri di rumahnya dan mengutuki dinginnya salju, namun malam itu adalah malam terindah dalam hidupku, duduk di sofa, menatap jagoan kecilku meniup lilin yang tertancap di atas kue tart buatan isteriku. Ia menatap anak kami dengan senyum termanis yang pernah kulihat. Aku tak pernah tahu bahwa itu adalah senyum terakhir yang pernah tergambar diwajahnya.

Entah dari mana, tiba-tiba seorang lelaki dengan wajah yang ditutup masker ada dibelakangku dan menodongkan pistolnya tepat di belakang kepalaku. 

"Aku tak akan menyakitimu dan keluargamu, cukup serahkan semua uangmu."

 Aku hanya dapat mengangguk dan perlahan berdiri. Pria itu mendorongku untuk berjalan ke dalam kamarku dengan pucuk pistol masih menempel di belakang kepalaku. 

"Buka lemari itu!."

 Aku membuka lemari bajuku lalu mengambil sebuah kotak besi di bagian bawah lemari, tepat setelah pria itu menunjuk ke arah bagian bawah lemari. Aku memutar tombol pengunci dan perlahan membuka kotak besi itu, kemudian pria itu melempar tas punggung yang ia bawa ke hadapanku.

"Masukan semua uangnya, dan aku akan pergi."

 Aku memasukan semua uang itu dengan cepat kedalam tas, lalu memberikannya kembali kepadanya. Aku masih dapat mendengar isak tangis dari anakku di luar kamar, aku tidak lagi peduli pria itu mengambil semua uangku, aku hanya menginginkan dia pergi dari rumahku dan tak menyentuh anak dan istriku.


          Pria itu perlahan keluar dari kamarku dengan tetap mengarahkan pucuk pistol ke arahku. Ia sudah tidak lagi terlihat di dalam kamarku. 

"DOR!!!" Suara keras itu terdengar diikuti dengan teriakan dan tangis dari anakku.

Aku cepat-cepat berlari keluar kamar dan mendapati isteriku sudah terjatuh di lantai bersimbah darah sambil memegang luka di dada kirinya. Aku dapat merasakan sakit yang tergambar dari wajah istriku. Aku berlari ke arah telepon dan menekan angka 911 untuk meminta bantuan kepada pihak medis. 

"Ambulan akan segera dating sayang, aku mohon bertahanlah."

 Aku tak dapat lagi menahan tangis saat melihat isteriku menahan sakit yang ia alami. Aku terduduk di lantai, memeluk erat Ben dan Sarah dengan erat, aku tak pernah menyangka hari yang ku anggap indah akan berakhir seperti ini. Aku menatap kembali wajah istriku, ia tak lagi bersuara, namun aku dapat membaca gerak bibirnya yang berkata 

"Aku menyayangimu, tolong jaga Ben untuk kita."

Matanya perlahan menutup dengan bibir yang ia paksakan untuk tersenyum. Ia terlihat sangat cantik. Air mata kembali mengalir deras dari mataku, aku sudah tak lagi dapat berkata, aku hanya bisa memeluk Ben yang menangis histeris melihat malaikatnya di dunia sudah tak lagi bergerak.


          Suara sirine perlahan terdengar dari luar rumahku, aku berdiri dan menggendong Ben ke depan pintu, ada 2 mobil polisi dan 1 mobil ambulan di teras rumahku. Mataku memerah melihat orang-orang itu datang, mereka terlambat, sangat terlambat. 

"Istriku sudah meninggal, aku bahkan tak lagi mengharapkan kedatangan kalian."

"Maaf pak, jalanan bersalju menghambat kami datang kesini."  Ucap salah satu polisi itu.

 Aku hanya mengangguk dan membukakan pintu rumah, membiarkan petugas medis masuk dan menggotong istriku kedalam mobil ambulan. Sepanjang jalan menuju rumah sakit, aku hanya terdiam dan memeluk Ben yang sudah terlelap tidur, mungkin ia terlalu lelah menangis.


          Pemakaman istriku sudah selesai, semua orangsudah pergi dan menyisakan aku dan anakku. Aku memandang kosong ke batu nisanbertuliskan nama istriku, Sarah Tompson. Suhu semakin mendingin, akumenggendong anakku dan berjalan perlahan kerumah, berusaha merelakan istriku,tapi pikiranku terus menolak.    

BREAK THE CHAINWhere stories live. Discover now