Aku Asep. Aku di Sini

19 2 0
                                    


Aku hidup, pada masa di mana tuhan hanya milik satu golongan. Aku hidup, pada masa di mana islam hanya milik perorangan. Aku hidup di dunia yang tak pernah mau mengalah. Aku hidup, di waktu yang saling menyalahkan. Aku hidup, di mana saudara bisa menjadi pedang. Di sinilah aku hidup.

"Dua puluh satu, dua puluh dua, dua puluh tiga. Oke semua berdiri."

"Terima kasih kaa." Serentak semua menjawab

Aku ada di sana, di tengah barisan berseragam putih hitam, dengan topi konyol yang aku gak faham untuk apa fungsinya.

"Seperti ini mental mahasiswa? Goblok. Apa yang bisa diharapkan dari kalian? Indonesia butuh pemuda yang kuat. Ayo siapa yang berani nentang kami?"

Aku ada di sana, melihat dia dengan name tag yang dikalungan di lehernya, teriak dengan nada tinggi. Entah apa yang dia fikirkan. Sederhananya dia senior yang sedang ngospek mahasiswa baru. Kaka panitia dengan peraturannya yang maha benar. Di sini, dia lah tuhan kami.

"Allahu akbar, Allahu akbar.." Adzan berkumandang, di tengah terik matahari, di mana orang lain mulai berbondong-bondong menuju masjid terdekat. Dia masih berdiri di depan, berorasi menyampaikan wahyunya kepada kami. Salah satu dari kami berdiri dan meninggalkannya. Dia bergegas lari ke masjid. Sedangkan aku masih berdiri, mendengarkan kating mengaung. Hingga akhirnya dia berkata.

"Baik, kalian saya beri waktu 30 menit untuk shalat, setelah itu semua kembali berkumpul di sini, bisa di fahami?"

"siap bisa!" Serentak kami semua menjawab nya.

Sejuk, ketika air wudhu meluluhkan setiap penat. Memberikan vitamin rohani, memberi semangat untuk berjumpa dengan sang kekasih hati.

Namaku Asep Rahman, atau panggil saja Asep. Baru satu minggu aku di Ibu kota, tepatnya Ciputat. Salah satu kota, pencetak pemikir kritis di Indonesia. Namaku Asep, aku laki-laki dan akan tetap menjadi seorang laki-laki.

"Assalamualaikum warahmatullah, assalamualaikum warahmatullah." Salam imam menandakan akhir dari shalat kami.

Shalat, sebagian orang beranggapan bahwa tujuan shalat itu untuk beribadah. Kalau aku sederhana aja, aku shalat untuk menyapa tuhan dan berkenalan dengan tuhan.

Aaaaah, jadi ingat kata ustadz.

"Seorang sufi, dia shalat bukan karena ingin masuk surga atau takut masuk neraka. Mereka shalat hanya satu. Karena mereka rindu sama Allah, karena mereka cinta sama Allah."

Ku lirik jam di dekat mimbar. Hmmm lima menit lagi harus udah kumpul nih. Sebentar aku pejamkan mata ku, aku Cuma mau bilang. Yaa Allah aku Asep, aku rindu Engkau.

"Buruan. Lama lu, niat gak sih jadi mahasiswa? Udah di kasih waktu 30 menit masih aja terlambat. Tolol lu."

Aku di sana. Untungnya aku baris satu menit sebelum waktu habis. Hari ini hari kamis. Kalau kata anak alay hari kamis hari paling romantis buat kamu yang paling manis. Tapi selain itu hari ini hari terakhir aku diospek. Yaah biasa hari terakhir menjadi hari uji mental, uji kesabaran. Entah benar atau enggak uji mental ini menjadi ajang balas dendam bagi kating (kaka tingkat) yanng menjadi korban tahun lalu. Dan budaya ini akan dilakukan lagi tahun depan, oleh mereka yang merasa jadi korban tahun ini.

Kulihat jam tanganku, jarum pendek mengarah ke angka tiga semua bubar menuju tempat tinggal nya masing-masing. Aku pun sama, aku pulang. Tapi sebelum pulang, aku niat mau shalat ashar di masjid Daarushalih. Masjid yang bagus, megah dan mewah. Sebelumnya aku hanya melihat masjid ini dari dalam angkot saat hendak berangkat ke kampus. Aaaaah masih sama, air wudhu memang tak ada yang bisa mengalahkan kesegarannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Asep, Tuhan ku Tuhan semua orangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang