Sarah melirik kembali jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. Sudah hampir dua puluh menit dia duduk di kafe itu menunggu temannya, Yuki. Kopi yang sudah dia pesan beberapa menit lalu hampir mencapai dasar gelasnya. Cuaca di kota Tokyo saat itu sedang mendung dan mungkin sebentar lagi kota itu akan diguyur hujan yang cukup deras jika dilihat dari awan pekat yang menggelantung berkilo-kilo meter di atas sana.
Sarah mengalihkan pandangannya ke luar jendela kafe, orang yang lalu-lalang di sana cukup menarik untuk disaksikan. Sampai beberapa saat kemudian butir-butir air mulai turun dari langit semakin deras sehingga memaksa orang-orang di luar sana untuk mencari tempat berteduh, bersamaan dengan itu masuk seorang wanita dengan dress selutut bewarna putih yang dibalut dengan jaket bulu tebal tidak lupa dengan high heel berwarna cream yang dipakainya. Yuki, orang yang ditunggu-tunggu oleh Sarah, wanita itu datang di waktu yang tepat.
Dia masuk ke kafe sebelum hujan sempat mengguyur tubuhnya yang mungil.
“Huh ... hampir saja.” Sarah mendengar wanita itu bergumam sebelum akhirnya dia duduk tepat di depan Sarah.
“Apa kau sudah lama menunggu?” tanya Yuki.
“Tidak. Tapi sudah sangat lama,” kata Sarah yang dibalas cengiran oleh Yuki.
Ahiko Yuki, merupakan teman dekat Sarah sejak dirinya memutuskan untuk mengambil beasiswa ke Negeri matahari terbit itu. Dia dan Yuki mengambil jurusan yang sama di University Of Tokyo, S1 Bahasa Inggris. Ibu Yuki asli orang Indonesia namun dia sudah bercerai dengan suaminya, kemudian memilih merantau ke Jepang dan menikah kembali ke sana.
Yuki terbilang cukup beruntung karena Ibunya menikah dengan seorang pengusaha terkenal di Tokyo, bahkan kafe tempat mereka saat ini berada adalah kafe milik ayah Yuki. Sarah sangat beruntung bertemu dengan gadis berumur 22 tahun itu, pasalnya jika tidak ada Yuki mungkin selama di Tokyo dia akan kewalahan mencari tempat tinggal. Dia tinggal di Apartemen milik Yuki tanpa membayar sepeserpun hingga 4 tahun dirinya di sana.
Sarah sebenarnya merasa tidak enak terlalu bergantung pada Yuki, tapi Yuki mengatakan tidak keberatan sama sekali. Bahkan Yuki merasa senang Sarah bisa bersama dengannya, menikmati hidup mewah yang kadang-kadang membuat dia bosan.
Ayah dan Ibunya jarang menghabiskan waktu bersamanya. Mereka sibuk dengan urusan bisnis masing-masing. Yuki bebas membeli apa saja yang ia mau. Ke mana pun selalu dikawal. Sehingga Yuki merasa kehidupannya monoton dan membosankan. Sampai akhirnya, Sarah masuk ke kehidupannya dan membuatnya bebas dari belenggu kata “anak konglomerat”. Bersama Sarah, dia bisa merasakan menjadi orang biasa. Mempunyai teman berkeluh kesah, bisa kuliah bersama dan juga menghabiskan waktu bersama. Semua itu kebahagiaan bagi Yuki.
“Jadi kau akan pulang ke Indonesia?” tanya Yuki memecah keheningan di antara mereka.
Sarah hanya mengangguk, ” iya sepertinya begitu, aku sudah terlalu lama di sini.”
“Ada apa dengan hari ini?” tanya Sarah kemudian
“Kenapa? Ada yang salah?” kata Yuki heran.
“Penampilanmu. Kenapa kau memakai dress di saat cuaca dingin seperti ini?”
“Oh ... hihihi.” Yuki cengengesan,
“saat berangkat dari rumah tadi, cuacanya cerah-cerah saja. Kenapa saat sampai di Tokyo malah mendung,” kilahnya.
“Kau ke rumah orang tuamu?” tanya Sarah sembari menyeruput sisa kopinya.
“He’eh.” Yuki mengangguk.
“Mereka di sana?”
Yuki hanya menggeleng.
Tiba-tiba seorang waiters datang menghampiri mereka dengan menyodorkan sebuah buku menu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like Twins
Short Story"KITA HARUS SUKSES BERSAMA" sebuah janji yang di tulis oleh Sarah dan Zahra, sahabat yang bersama sejak taman kanak-kanak. Janji itu membuat mereka tetap bersama sampai sebuah kesalahpahaman terjadi pada akhir masa Sekolah Menengah Atas yang membua...