Nana Sastrawan
Tidak ada cinta yang berujung dengan kepedihan. Kata-kata itu selalu mengganggu dalam pikiranku, sebab pada kenyataanya aku mendapatkan kepedihan. Aku belum bisa melupakan mantan kekasihku sendiri, padahal sudah hampir satu tahun aku putus dengannya. Aku mulai berpacaran dengannya ketika kelas XI SMA, dan sekarang aku sudah kelas XII SMA. Tentu bukan waktu yang sebentar untuk dapat melupakan dirinya, entahlah. Apakah cinta ini bisa membunuhku?
Mata ini masih memandang ke luar jendela kelas. Anak-anak tengah asyik bermain bola, ada juga yang tengah ngobrol di tepi lapangan sekolah, sambil membuat lelucon, dan ada juga yang sedang godain cewek. Pura-pura menawarkan , trik menggoda ala-ala sales yang ujungnya minta nomor Whatsapp. Sementara, aku di sini di dalam kelas ini merasakan sepi yang tak berunjung.
Mungkin benar, bahwa cinta bisa membuat diri ini merasakan pedih yang teramat sangat, walaupun banyak orang mengatakan bahwa cinta selalu bahagia. Bagiku itu semua adalah bullshit! Cinta itu senangnya selingkuh, berdusta atau syahwat. Aku sekarang tidak ingin peduli lagi dengan cinta.
"Apa boleh aku temani?"
Aku menoleh ke belakang. Raka tersenyum, seorang siswa kelas sebelah yang selama ini perhatian padaku. Badannya tidak terlalu pendek, wajahnya melayu dengan rambut hitam terbelah menyamping, dia memang selalu rapi. Bahkan sempat kukira dia model , sebab selalu kekinian dan modis.
"Aku sedang tak ingin ditemani," jawabku.
"Tapi aku ingin menemani." Raka masih berdiri di belakangku walau aku sudah memalingkan muka ke luar jendela lagi.
"Aku sedang tak butuh teman!"
Tak ada suara, aku pikir Raka sudah pergi. Pasti dia akan pergi, sebab aku sudah mengusirnya secara halus. Aku sedang tak ingin ditemani, sedang merasakan kesedihan yang teramat dalam, wajah mantanku masih terus membayangi dalam hari-hariku, seolah dia adalah hantu cinta yang tak pernah mati.
Beberapa menit berlalu, suara Raka tak muncul lagi. Dia sudah pergi, aku menarik napas panjang. Kemudian menengok ke belakangku, untuk memastikan apakah dia sudah benar-benar pergi. Dan... aku terkejut, dia tersenyum padaku ketika aku menengok ke belakang, wajahnya sangat manis.
"Loh, kok masih di sini?" tanyaku.
"Memangnya nggak boleh?" tanyanya.
"Ya... nggak boleh, mengganggu tahu!" aku ketus.
"Kamu di sana, aku di sini. Nggak mengganggu kok!"
"Lagian kamu bukan kelas ini, jadi ngapain berdiri di situ?" aku kesal.
Raka malah tersenyum. "Boleh aku menemanimu?" tanyanya, tetap berdiri.
Aku memandang wajahnya—sebuah senyuman selalu saja muncul jika aku menatap dia. Seolah dia memang cowok yang paling manis di sekolah ini, padahal banyak sekali cowok yang manis di sekolah ini, bahkan yang ganteng juga banyak. Tapi kenapa dia yang selalu muncul. Aku nggak suka dia selalu mengikutiku, sangat tidak suka. Sebab... ah, aku belum bisa menceritakan alasannya.
Aku berdiri, bermaksud untuk meninggalkan Raka. Namun dia malah mencegahku, dengan menahan pundakku ketika mencoba berdiri dari bangku yang aku duduki.
"Aku hanya ingin menemanimu, nggak lebih!" katanya.
Tatapan mata yang mengisyaratkan memohon. Kalau sudah begini, aku tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa melihat seorang cowok memelas di hadapanku. Aku sangat lemah untuk urusan itu, sebab aku bukanlah tipe cewek yang suka menindas laki-laki.
Aku duduk kembali. Hanya posisiku yang tidak menghadap jendela, aku duduk seperti biasa, duduk di bangku kelas menghadap ke depan kelas. Raka kemudian duduk di sampingku, dia memainkan-mainkan HP dari tadi, sambil sesekali tersenyum ke arahku. Wajahnya seperti sedang menyimpan sesuatu.
"Ada apa sih?" tanyaku kesal.
"Nggak ada apa-apa kok," jawab Raka.
Kemudian kami terdiam lagi. Persis seperti orang linglung, kami hanya saling pandang kemudian bingung mau membicarakan apa. Kalau aku hanya tidak ingin memulai pembicaraan, dari tadi aku hanya ingin menikmati suasana sekolah yang ramai di luar sana menunggu bel istirahat berbunyi. Aku juga malas untuk keluar kelas, aku lebih senang menyendiri begini, sepertinya dengan menyendiri pikiranku cerah, tidak suntuk dan ruwet.
"Aku...," Raka menghentikan ucapannya.
Aku menoleh ke arahnya. Ini anak dari tadi aneh deh, ada apa sebenarnya dengan dia? Tidak seperti biasanya dia kikuk seperti ini, biasanya jika dia datang menghampiriku dengan wajah gembira sambil membawakanku cokelat. Walaupun aku suka banget dengan cokelat, tapi pemberian Raka biasanya aku berikan kepada teman-teman di kelas.
"Ada apa?" aku jadi penasaran.
"Nggak kenapa-kenapa deh!"
"Loh? Jangan bikin orang penasaran deh..."
"Kamu penasaran?"
Ekspresi wajah Raka tiba-tiba saja berubah, dia terlihat sangat gembira. Sedangkan aku bingung, dengan perubahan itu.
"Kamu nggak gila 'kan?" tanyaku sewot.
"Bisa jadi aku gila, hehe. Tapi... nggak sih!" Raka segera mengatakan 'nggak' setelah aku melotot.
Beberapa teman-teman satu kelasku masuk. Mereka tertawa cekikikan ketika masuk, entah apa yang baru saja mereka obrolkan di luar. Mata mereka melihat ke arah kami, kemudian dia berbalik arah lagi dan keluar kelas. Aneh deh? Mengapa mereka segera keluar kelas?
"Aku nggak mau mengganggu kamu. Tapi akhir-akhir ini kamu selalu terlihat menyendiri, bukannya..."
"Aku memang sedang ingin sendiri saja Raka...," kataku memotong ucapnnya.
"Tapi aku mengkhawatirkanmu!" Raka memandangku.
Suara dan pandangan itu membuatku bergetar. Tatapan yang tidak biasa dilakukan oleh Raka. Aku seperti merasakan tatapan yang dulu pernah aku rasakan, mantan kekasihku, sering menatapku seperti itu. Tatapan yang penuh kasih dan sayang, tapi di hadapanku adalah Raka, tak mungkin aku memeluknya, seperti mantanku ketika menatapku seperti itu.
Aku menunduk. Tak kuasa memandangnya lagi. Hati ini tiba-tiba saja merasa redup, ingin menangis dan teriak sekencang-kencangnya. Cinta masa lalu telah membuatku menjadi pribadi yang lemah, sebab cinta itu benar-benar berkesan bagiku, sangat berkesan, hingga aku merasakan sangat kehilangan.
Bersambung ...
YOU ARE READING
Asmara - Ketika Cinta Menjadi Cita
RomanceSelepas sekolah, Bunga harus meninggalkan keluarga dan masa lalu yang indah di sekolah bersama Rian, kekasihnya dan Raka, sahabatnya. Bunga ingin mengejar cita-cita yang diyakininya, meskipun cita-citanya itu tidak pernah disetujui keluarganya. Bung...