"Bikin apa lo pagi-pagi buta gini?"
Suara serak Arbi mengalihkan fokus Fahri yang sejak tadi mencuci kacang kedelai di wastafel. "Susu buat lo."
Arbi duduk di kursi meja makan, lalu mengembuskan napas cukup keras sampai Fahri mampu mendengarnya.
"Kenapa?"
"Gak. Gue bingung aja kenapa lo mau repot-repot gini, padahal Mbah Murti jual."
"Lo gak suka susu buatan gue?"
Arbi berjalan ke arah Fahri yang sedang menyalakan kompor. "Bukannya gak suka, tapi lo jadi harus bangun semalam ini. Kalau ada yang gampang, kenapa milih yang ribet? Itu maksud gue."
"Beda, dong. Kalau beli gak ada sari pati tangan guenya.Gak bakal gurih," jawab Fahri asal disertai tawa pelan.
"Terserah, deh. Gue masih ngantuk, mau lanjut turu."
Setelah mendapatkan anggukan dari Fahri, Arbi pun kembali ke kamarnya. Sementara Fahri kembali pada aktivitasnya. Bila dibilang mengantuk, ia jelas mengantuk dan capek juga. Tapi, ini jalan satu-satunya yang bisa Fahri ambil. Selain untuk kakaknya, Fahri membuat susu kedelai untuk ayah juga. Anak itu tersenyum tulus saat mengingat bahwa ayah dan Arbi memiliki banyak sekali kesamaan, mulai dari makanan, minuman, garis wajah, dan sebagian sifat ayah juga menurun padanya.
Ketika susu yang dibuatnya matang, Fahri langsung mematikan kompor dan membiarkannya tetap di dalam panci agar Bi Amah mudah menyajikan saat pagi. Anak itu menghela napas panjang, lalu menuju kamar. Namun, di pintu yang menghubungkan antara dapur dan ruang tengah, ia berpapasan dengan ayah.
"Ayah," panggil Fahri.
Namun, ayah sama sekali tak mengindahkan. Pria itu terus berjalan menuju dapur dan berhenti di depan dispenser untuk mengambil air hangat. Fahri berdiri di ambang pintu, ia memperhatikan gerak-gerik ayahnya. Dalam hati rasanya ingin sekali Fahri mendekati kemudian duduk di sebelah ayah seperti dulu. Tapi, keinginannya masih menjadi mimpi dan harapan.
Fahri tersentak, pemuda itu membulatkan matanya saat ayah tak sengaja menjatuhkan gelas. Dengan sigap, Fahri mendekat, ia menyambar lap yang selalu ada di atas meja kemudian merunduk untuk mengelap air dan membersihkan pecahan gelas.
"Biar aku aja, Yah," katanya saat ayah hendak berjongkok.
Bukannya berterima kasih atau menyetujui ucapan anaknya, ayah justru menepis tangan Fahri. Pria itu menatapnya tajam, menyiratkan ketidaksukaan serta ancaman.
"Gak perlu, saya bisa sendiri."
"Aku bantu, ya?" Tangan Fahri langsung bergerak untuk memunguti pecahan gelas.
Namun, ayah lebih dulu tersulut emosi karena anak itu tak mengerti perintahnya. Dengan perasaan kesal, ayah menepis lagi tangan Fahri hingga anak itu terjengkang ke belakang karena tak mampu menjaga keseimbangan.
"Kalau saya bilang gak perlu, gak usah maksa! Pergi!" bentaknya.
Fahri mengerjap, ia cukup terkejut dengan perlakuan ayah yang selalu tiba-tiba.
"Maaf, Yah, aku cuma mau bantuin. Nanti tangan Ayah luka, jadi biar aku aja."
"Saya gak butuh bantuan dari anak pembawa sial kayak kamu. Pergi dan jangan pernah ganggu saya lagi!"
Pada akhirnya, Fahri menurut. Ia perlahan bangkit dan berbalik untuk meninggalkan ayah yang kini masih sibuk membereskan kekacauan yang dibuatnya sendiri. Namun, saat tiba di ambang pintu, suara ayah berhasil menembus gendang telinganya dan membuat Fahri seketika membeku.
"Sampai kapan pun kamu gak akan saya maafkan. Jadi jangan lakuin hal yang sia-sia."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Fahri (Terbit)
Teen FictionBROTHERSHIP, BUKAN LAPAK BL Sudah Terbit di Stora Media dengan judul "SUARA DARI SUDUT PALING DALAM) Katanya, hidup itu penuh dengan warna yang bisa membuatmu bahagia. Namun, sejauh yang Fahri alami selama ini, dia hanya mengenal hitam, putih, dan a...