Guntur menggelegar, menggema di luar dengan petir yang saling menyambar. Hujan sangat deras, bulirnya menghujam tanah dengan keras. Fahri yang tengah duduk bersila di atas sajadah, langsung membuka mata saat debuman kuat dari kilat yang terdengar memekakkan telinga. Dengan detak jantung tak biasa, ia melafalkan doa untuk menepis segala cemas yang bersemayam di dada.
Lama ia bertahan di tempatnya. Sampai, ia teringat bahwa Arbi belum terdengar pulang. Seketika, perasaannya tak tenang. Fahri bangkit dengan tasbih dalam genggaman. Ia berjalan ke luar kamar, mencari sang kakak. Namun, ia tak menemukannya. Baru saja ia akan turun untuk menanyakan pada asisten rumah tangga, terlihat pintu utama terbuka dan menampilkan sosok Arbi dengan wajah pucatnya.
"Ya Allah, Arbi! Kenapa hujan-hujanan? Kalau Bapak tahu, bisa kena marah ini," teriak Bi Amah, seraya tergopoh-gopoh untuk menghampiri putra majikannya itu.
"Gak pa-pa, Bi. Aku ke atas dulu, mau mandi. Dingin." Setelah mengucapkan itu, Arbi langsung beranjak.
Fahri yang sejak tadi memperhatikan dari tangga, hanya meremat sarung yang dikenakannya. Hingga tatapan mereka bertemu, namun Arbi langsung memutusnya. Pemuda itu buru-buru masuk kamar, meninggalkan Fahri di tempatnya.
"Tahu gini, lo pulang bareng gue, Kak," gumam Fahri, lalu ia turun untuk membuat susu kedelai di dapur.
Dengan telaten, ia melepaskan kulit ari kacang kedelai yang sudah direndam sejak pagi oleh Bi Amah. Setelah semuaselesai, Fahri langsung memasukkannya ke blender. Kemudian, ia menambahkan sedikit gula dan vanili ke dalam panci bersama dengan air dari saringan kacang tadi.
Fokus dengan kegiatannya, ia sampai tidak menyadari bahwa ada Bi Amah di belakang. Tengah memperhatikan.
"Ari."
Seketika Fahri meloncat karena terkejut, sampai panci berisi susu yang hampir mendidih itu terjatuh dan isinya berceceran di lantai.
"Astaghfirullahaladzim." Bi Amah buru-buru menyingkirkan Fahri dan memeriksa kondisi anak itu karena susu tadi tumpah mengenai kakinya.
"Kaget, ya? Maaf, Nak, Bibi gak sengaja. Panas?" Mendengar pertanyaan sarat akan kekhawatiran Bi Amah,
Fahri langsung mengerjap. Dia berusaha menetralkan detak jantungnya yang membrutal. Kemudian, menarik senyum tipis dan menggenggam tangan keriput asisten rumah tangganya itu.
"Alhamdulillah, aku gak pa-pa, Bi. Gak perlu khawatir."
"Bener gak pa-pa? Kakinya kena tumpahan gini. Bibi obati, ya?"
Lagi, Fahri mengulum senyum, dia membiarkan Bi Amah memeriksa tubuhnya. Karena dengan perlakuan itu, Fahri merasa berharga. Ia mendapatkan perhatian yang begitu besar dari sosok Bi Amah.
"Aku gak pa-pa, beneran. Bibi gak usah khawatir, ketumpahan dikit doang. Gak panas kok, anak laki lecet dikit biasa. Maaf, ya, karena dapurnya jadi berantakan."
"Gak pa-pa, biar Bibi beresin. Kamu istirahat aja, Bibi buatin susu kedelainya lagi."
"Enggak usah, Bi. Biar aku aja. Mending Bibi siapin makanan buat Ayah sama Kakak."
"Tapi—"
"Ini satu-satunya yang bisa aku lakuin buat Ayah, Bi."
Walau akhirnya juga bakal ditolak, setidaknya Fahri tetap konsisten menyiapkan susu kedelai di waktu pagi dan malam untuk ayahnya.
Mau tidak mau, Bi Amah akhirnya mengangguk. Dia pun menggeser posisinya dan memberi ruang untuk Fahri bekerja. Dia tahu bahwa anak itu tengah berusaha untuk mengembalikan semuanya. Dia tahu bahwa Fahri tengah berjuang untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang Wira yang sirna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fahri (Terbit)
Teen FictionBROTHERSHIP, BUKAN LAPAK BL Sudah Terbit di Stora Media dengan judul "SUARA DARI SUDUT PALING DALAM) Katanya, hidup itu penuh dengan warna yang bisa membuatmu bahagia. Namun, sejauh yang Fahri alami selama ini, dia hanya mengenal hitam, putih, dan a...