Bagian 1

10 1 1
                                    

Vienna, 30.05.1991


"Tinggalkan aku, sayang".

Cintaku itu tampaknya masih berdebar-debar. Dahinya kelimis oleh titik-titik keringat yang merembesi pupur tebalnya, peronanya pudar oleh kucai pipinya, yang baru saja dibasuhnya karena pedihnya menusuk kulit, yang lama kelama terasa terbakar. Ia membungkuk di depan cermin,

"kelihatannya aku sedikit demam" keluhnya sebelum bertolak ke studio pagi ini. Matanya yang bagai bulir biji kopi seperti menatap senja pagi itu, sendu dan penuh pengakhiran. Nafasnya masih berbau mimpi dan penawar rasa sakit diamorfin, serta sirup bromheksin untuk menenangkan dadanya. Betapa sering ia tercekik oleh dahak setiap malam, membuatku sulit tidur pula disampingnya. Aku bahkan tak sudi mengingat, betapa redup pandangan mata cintaku menyaksikan semburat fajar, dan tuli telinganya mendengar senandung kicau burung nuri di pepohonan ek di sudut taman yang bertaburi semak berbunga, mencaci maki dan menghakimi dirinya dalam hati.

Aku masih berdiri kaku di situ, di samping pintu toilet yang setengah terbuka, menahan pintu dan menggantung pakaian gantinya di lenganku. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup bunyi gitar elektrik Guild Replica sang virtuoso merintih-rintih, serta tabuh perkusi Conga dan desing halus simbal yang ditepis tangan, mengiringi petikan lengking gitar dan dentum tegas bass – rupanya kawan-kawannya itu sedang menguji ulang rekaman video yang baru dihasilkan. Dengan cintaku sebagai lakon utama, jiwa dari lagu yang penuh doa itu. Tabuh perkusi Conga, penyintesis, petikan bass serta Guild Replica itu terdengar meratapi sesuatu – mereka menuturkan selamat tinggal pada matahari tampaknya, memang – saat itu senja sudah menaklukkan langit Wienerstraße di Vienna, tempat dimana nyawanya dimangsa sepanjang hari, sepanjang hidupnya.

"Yakinkah kau baik-baik saja?"

tanyaku resah, menyaksikkan dari jauh wajah sedih yang diselubungi dandan tebal yang mendirikan bulu kudukku itu, mulai dari rimbun bedak, maskara di kedua bulu mata, selubung kontur dengan concealer yang dilapisi foundation bubuk dan cair termahal Borjois, corak gelap pensil di sekitar mata dan alis, celak ungu seperti kelopak matanya memar, serta lipstik burgundy yang mewarnai bibir pucat itu, dan pelembap untuk menabiri kekeringan, membuatnya berkilau di depan para pengkritik dan pembual, kamera dengan filter hitam putih, yang seminggu kemudian ditonton dengan malas bersila di atas sofa atau dipan. Mereka tentunya dicengangkan oleh mayat hidup yang berdandan dan bernyanyi seperti cintaku.

Ia terbatuk-batuk kecil sambil melipat kerah pergelangan tangan rompi bercorak cerah itu, yang terbuat dari katun dan satin. Hadiah spesial dari kawan desainernya, penggemar sejati suara emasnya itu. Tangan mungilnya itu memutar keran dan membiarkan air mengalir dengan deras, membasuh pipi dan keningnya yang belepotan bedak, kini lentur membeber tak keruan tersapu air. Aneh, ia tak meminta kapas, susu pembersih maupun sabun cuci muka padaku – mungkin ia merasa penat menghabiskan tiga botol primer pagi ini hanya untuk mendadani wajahnya selama berjam-jam, hingga kini muak memakai kosmetik lainnya. Punggungnya masih naik turun tak menentu, tak seliar terpacu murka semenit yang lalu. Ditariknya nafas dalam-dalam. Nafas yang terdengar menyakitkan, penuh tabir derita, sebelum akhirnya ia menjawab,

"aku mampu mengurus diriku, sayang... sekarang pergilah".

Rasa dingin yang mencekam merambat ke tubuhku. Suaranya terdengar begitu rapuh – tak pernah ia bersuara serapuh badannya yang terkuras itu. Kawanku ini tinggal rangka saja, yang diselubungi kulit pucat kelabu berkerut, dipenuhi luka-luka, bekas jarum suntik, bekas selang infus dan kateter mahal Hickman di leher dan dekat ketiak, yang tak mampu dipudarkan oleh kosmetik manapun. Ia bahkan menghamburkan tagihan pengobatannya untuk membeli concealer termutakhir Maybelline, demi menutup borok, koreng-koreng dan sayatan di pergelangan tangan. Pada akhirnya ia berserah diri dan memilih untuk mengenakan blus tipis linen hitam polos berlengan panjang, yang sesungguhnya kini terlihat tipis karena tubuhnya hanya belulang, membuatnya tampak kedodoran. Beberapa tahun lalu blus itu membungkus tubuh kekar langsingnya dengan sempurna. Sungguh waktu adalah pembunuh terbengis – sudah lama cintaku ini menderita sakit. Hanya produk kecantikkan, kostum yang berlapis-lapis dan musik yang mampu memberi kedok pada rasa sakitnya. Rasa cintaku padanya kini tak dianggap lagi, hanya sebagai salah satu barang antiknya yang diletakkan di ruang tamu, retak dan berdebu termakan waktu.

Akupun goyah melihat ia tak mampu menerimaku. Gusar diriku, udara terlalu dingin di luar baginya, apalagi ia terbakar demam kecil pagi tadi. Ia harus segera berbaring di ranjangnya, diberikan suntukan ibuprofen dan dosis obat harian yang menyiksanya.

"Baiklah, jangan terlalu lama – ingatlah kau harus segera istirahat"

"oh, persetan..." gumamnya lemah sambil mengumpat, yang tiba-tiba terpotong oleh batuk berdahak. Aku menutup pintu toilet dengan gusar, dan memutuskan untuk tetap berdiri di situ, bersandar dan menempelkan telinga ke pintu. Terdengar erangan kecil kesakitannya, sambil menghela dan berhembus dalam-dalam – teknik yang diajarkan fisioterapis dan para dokternya ketika badai nyeri mulai menghadang. Lama kelama hembusan berat nafasnya itu bergetar, seakan-akan tubuhnya menggigil kedinginan, seperti menahan tangis. Telinga malangku tak sanggup lagi menyimak, maka kubuka pintu hingga terdapat celah sempit yang cukup untuk mengintip kekasihku itu dengan satu mata was-was.

Air keran masih mengalir deras mengguyur bak cuci, yang kini tangannya yang memegang sapu tangan kecil terdapat di dekat mulut keran, membasuhi sambil mengusap wajah pilu penuh luka itu yang dibaluti pupur. Gincunya sudah pudar, menjadi warna bibir kucai yang kering pecah-pecah. Celak ungu matanya meleleh berantakan melukisi kerangka sedih, tulang pipi yang menonjol itu. Kulit wajahnya tandus dan sepucat bunga bakung – bagiku ia sudah menjadi mayat. Mayat dengan pandangan mata yang merindu, merindu rupawan tampangnya ketika sehat dahulu. Betapa cantik dan bugar perawakan dan rupa yang disoroti dunia itu beberapa tahun silam – publik yang dihantui lagu-lagunya, pres tabloid penjilat, pahlawan masyarakat serta para penebus tergoda oleh kehidupan pribadi, gaya hidup Bohemian-nya, bahkan malaikat maut dan setanpun jua. Konsumen rakus ini memangsa habis saripati badan hingga mentalnya. Tetapi betapa ganjil bahwa semua ini tak pernah menyandera ilham-ilham seninya, humor-humor dekil berbau rayuan asmara dan persetubuhan, bicara genit wanita berkelas Moet & Chandon, gemulai ratu pembunuh bermahar emas putih, bermantel bulu harimau bengal, tawa tak senonoh melengking melawan jenis kelamin, lembut hati pecinta kucing serta manis tabiatnya dikenal banyak manusia. Sakitnya itupun tak kuasa merenggut kecantikannya luar dalam – Ya, Tuhan! bagiku ia semakin elok ketika ia semakin rapuh dan sekarat. Tubuhnya itu fana, sekarat oleh bengisnya Tuhan yang murka karena dosa-dosanya, yang terutama mempersekutukanNya dengan orgasme dan pesta pora liar. Tetapi jiwa yang tak gentar, penuh ilham dan kekanak-kanakan itu tetap abadi tak terjamah azab, maupun api penyucian.


(BERSAMBUNG)

MelinaWhere stories live. Discover now