Bagian 2

8 0 0
                                    


            Gerak-geriknyapun ketika bergurau sungguh menggemaskan – aku jatuh cinta pada paras elok manis, dengan mata bulir kopi yang menghantui benakku sejak pertama kali kami bertatapan di klub malam bertabur bubuk dan berlinang khamar itu. Matanya bersinar dalam sorot lampu menor redup, serta berkelip pada dentuman irama bass yang menjadi detak jantung. Aku jatuh cinta pada postur semampai, dengan kaki dan pinggang teramping yang pernah kusaksikan – ia bagaikan penari Royal Ballet ramping berjiwa emas, seperti angsanya Tschaikovsky, yang diselubungi dengan lihainya oleh nyanyian keras perkasa membelasut penuh semangat, musik nyaring penuh loncatan, hantaman dan teriakan menggema yang menggemparkan stadion bola di London hingga seluruh benua Afrika, merasuki para jemaat penonton yang histeris hingga menangis haru. Begitulah ia menyebut dirinya : tukang sandiwara nan lihai, ia melawak dan menari-nari tak senonoh dengan mikrofon patah sembari mengikuti alunan musik, demi membalut kesunyiannya, rasa sepi yang lebih menyiksanya sepanjang hidup ketimbang nyeri radang akibat sakitnya kini.

Beberapa tahun kemudian, setelah mengeluarkan tiga album bersama grup musiknya dan satu album solo bernuansa opera, bersetubuh dan bercumbu dengan banyak manusia di pesta-pesta, menghirup banyak bubuk, menghisap ratusan batang rokok, menyuntik dirinya dengan banyak anastesi, membuat tenggorokan dan pita suaranya meradang puluhan kali akibat bernyanyi terlalu nyaring, berpeluh keringat banyak gerak hingga megap-megap kehabisan udara, bergelut dan menyunting di studio hingga malam suntuk dan lupa makan akibat tekanan kontrak perusahaan rekaman dan top charts, penggemar dan konsumen penuntut yang memperbudak tubuhnya, disinilah ia – membungkuk lesu hampir tak bernyawa, dengan wajah dan sekujur tubuh rusak, yang disamarkan lulur, bedak dan pemudar, merenungi kematian, menahan sakit karena kaki ballet-nya, yang kini kaku hanya tulang bagai tonggak, dipenuhi bisul dan bengkak, dilanda keram otot tiap malam, menahan mual dan muntah karena dosis obat hariannya, dan menghakimi serta mengkritisi penampialannya sepanjang hari.

"Kau hanya tukang dusta... yang menjual cantik, gairah dan suara jutaan dolarmu, kau bagaikan pelacur, sayang"

sengaunya lembut tetapi penuh benci, masih menghapus luluran bedak dengan sapu tangan yang dibasahi itu. Tak lelah rupanya ia mengutuk kecacatan yang kasat mata itu, hingga Charlotte Lea, penata rias di studio DoRo sejak pagi ini hampir putus asa karena cintaku ini tak berhenti mengeluh. Ia kerap menyalahkan wajahnya sendiri yang merusak riasan wanita itu, dan di sela-sela jeda keterampilan tangannya yang lelah, suara cintaku mulai bergetar dengan mata berkaca-kaca, memerintahkan menghapus riasannya dengan susu pembersih, dan memulai dari awal atas tuntunannya. Harapannya hampir pupus melihat hasil riasan yang tak kunjung berhasil menutupi muka kesakitan dan murung itu. Hingga ia muncul dengan ide cemerlang yang mampu menghargai hasil karya Lotte malang dan dirinya,

"tampaknya kita harus syuting dengan filter film lama... kau tahu, hitam-putih! Kawan-kawanku pasti setuju".

Tampangnya bak anak kecil yang kegirangan ketika dihadiahkan kado natal. Filter itu sungguh sempurna dalam memudarkan warna bedak dan concealer yang berlimpah, serta mengelabui tekstur kulitnya yang gersang, yang dalam filter itu tampak mulus dan gemerlapan dalam warna mendung yang mengundang sendu itu. Kulitnya bersinar perak di dalam kamera, rambutnya hitam legam, dengan mata mistis yang menghantui penonton penuh dedikasi dan cinta. Dengan teknik ini, hasil riasan Lotte yang asanya di ujung tanduk itu dapat dihargai.

"Jangan khawatir, gadis manis... kau meriasku dengan sangat baik... aku tak bisa lebih puas dari ini! Tidakkah aku pantas menjadi seperti Jayne Mansfield?".

Ia tetap bersendau gurau dengan selingan tawa lesu yang melipur hati wanita nan kecewa itu, yang kemudian begitu meluluhkannya hingga membuatnya menitikkan air mata. Charlotte tak kuasa menahannya merembes, tetapi ia lalu teringat bahwa pelanggan setianya ini enggan akan kehadiran air mata nestapa. Hanya air mata tawa yang diizinkannya. 

MelinaWhere stories live. Discover now