Gereja ini sangat tenang. Di dalam sini hanya ada aku dan diaㅡJoshua, pria yang sudah bersamaku selama 3 tahun itu sedang fokus beribadah ke Tuhan-nya. Aku hanya memandangi pungggungnya dari kursi belakang. Terkadang aku penasaran apa yang ia minta.
Genggaman tangan ini, bisakah aku menggenggamnya hingga kami mengikat janji suci di altar? Aku dan dia berbeda, keyakinan kami bertentangan. Tapi, bukankah cinta itu buta? Tidak bisakah kita bersama?
Terkadang aku ingin menjadi egois jika menyangkut tentang Joshua. Aku ingin dia selamanya menjadi milikku dan hanya untukku. Persetan dengan perbedaan antara kami berdua, aku hanya ingin bersamanya.
Namun dengan cepat kenyataan itu menamparku begitu keras hingga aku pun tersadar bahwa Joshua tidak mungkin mengkhianati Tuhannya hanya untuk seorang pendosa sepertiku.
"Hei, kenapa kau memandangiku seperti itu? Apa ada sesuatu di wajahku?"
Aku kaget sekali ketika dia tiba-tiba membuka mata dan menangkap basah aku yang sedang mengintip wajahnya ketika berdoa.
"Um... tidak. Kau tampan."
Jawabku spontan. Joshua terperangah pada awalnya saat mendengar jawabanku lalu tersenyum geli. Aku malu sudah mengatakan hal itu terlalu jujur. Kadang aku tidak bisa membendung perasaanku.
"Um... oke, makasih. Kau juga tampan."
Joshua masih tersenyum geli. Ada rona merah muda samar di kedua pipinya. Dia malu tapi untungnya tidak terlalu kentara. Tidak sepertiku yang wajah dan telinga sudah merah seperti kepiting rebus.
"Dan cantik. Kau juga cantik, Jeonghan-ah. Tampan dan cantik. Perpaduan sempurna."
Rasanya seperti ada yang meleleh dalam dadaku. Sesuatu yang manis dan hangat melingkupi jiwaku. Aku malu. Tentu saja. Semakin menundukkan wajah untuk menatap ke bawah, ke arah sol sepatuku yang bergerak dengan gelisah. Tidak bisa dipungkiri aku juga sedikit senang saat mendengar pujiannya. Hanya saja terlalu malu untuk mengungkapnnya. Jadi, aku cuma bisa mengangguk kecil lalu menghindari tatapannya yang mengejar mataku.
Joshua tertawa saat melihat reaksiku. Lama-lama semua ini jadi terlihat lucu. Aku yang menggodanya duluan lalu dia balik menggodaku dan kami jadi sama-sama malu. Tawanya mengalun indah seperti dentingan lonceng. Senyum manis Joshua serupa madu. Tiap dia tertawa matanya tenggelam dan membentuk lengkungan bulan. Dan dia akan menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
Ah, aku bahkan sampai hafal dengan setiap gesture nya. Bahkan gesture terkecil sekalipun.
Satu, dua, tiga, aku terus menghitung berapa banyak moment terekam di kepalaku ketika aku bersamanyaㅡhingga hitungan itu tak terjangkau dan menyadariku bahwa dialah segalanya. Rasanya aku sanggup memberikan apa saja untuk pria ini, bahkan jika ia meminta kewarasanku yang tersisa untuk tetap sadar mencintainya, maka akan kuberikan.
Dan jika itu pula artinya bahwa aku tak lagi memiliki hidup, maka aku pun siap mencintainya setengah mati.
"Ah, kau melamun," Joshua meremas tanganku yang tak ia lepas sejak tadi. "Ayo, aku sudah selesai."
Ia menarikku keluar dari gereja, tak menghiraukan pandangan orang-orang di sekitar. "Mau kemana?" Tanyaku saat kami sudah duduk di dalam mobil.
"Menemui seseorang."
Dan, di sinilah kami. Berdiri di depan sebuah nisan bertuliskan Kim Minkyung yang hampir pudar. Orang yang paling dikasihi oleh Joshua Hong.
Selama hampir lima menit berdiam diri tanpa pergerakan apapaun, Joshua menolehkan kepalanya kepadaku. Kurasakan genggamannya di tanganku mengerat.

KAMU SEDANG MEMBACA
I Wish You
FanfictionJika nostalgia bisa membunuh orang, mungkin aku sudah mati berkali-kali. -Jeonghan