- 1 -

17 4 0
                                    

Sekarang aku hanya bisa memandang Tari melalui layar berwarna yang ada di tanganku saja. Dia sudah mengganti nama akun instagramnya, merubah foto profilnya, dan menghapus semua postingan saat kita masih bersama. Semudah itukah dia melupakan aku? Maksudku, kami berpacaran selama tiga tahun dan baru putus seminggu yang lalu. Secepat itukah?

Bagiku cinta itu egois, maunya menang sendiri. Karena aku sedang mencintainya, dan ingin memenangkan hatinya. Aku adalah definisi dari keegoisan cinta.

Satu persatu foto dalam layar hp-ku seakan menggenang di permukaan yang tidak mampu kuseka. Hanya bisa kuratapi sebagai kenangan tanpa jejak.

Atap rumah sakit tempatku magang tampaknya mulai akrab dengan air mataku yang tertahan. Seolah memberiku kenyamanan dengan menghadirkan tempat berteduh untuk hatiku yang kalut. Langit begitu bersahabat, ditemani udara segar yang seakan memberiku isyarat agar aku tetap tegar. Memalukan bukan? Aku bisa segalau ini hanya karena cinta yang kandas. Seluruh laki-laki di dunia pasti menstempelku dengan cap 'pecundang of the year'. Mereka pasti malu dengan kehadiranku dalam spesies mereka.

"Ternyata... cowok keren bisa nangis juga, ya?" suara lembut dari perempuan yang tiba-tiba muncul berhasil membangunkan lamunanku.

Aku menoleh. Menemukan sosok yang sudah lama kukenal. "Kamu Reka, kan?"

Cewek itu mengangguk. "Seneng deh kamu masih inget aku," katanya. Reka berjalan mendekat dan duduk tepat disampingku.

"Ini kedua kalinya loh aku ngeliat kamu nangis," lanjut Reka sambil membuat tanda peace dengan jari, maksudnya angka dua.

"Satu lagi kapan?"

"Pas masih SD. Kamu pernah nangis di kelas gara-gara dipanggil BK?" Reka meringis. "Waktu itukan kamu nangis dikelas, di depan aku, pas temen-temen udah pada pulang."

"Kamu masih inget aja,"

"Iya dong. Itu pertama kalinya aku ngeliat cowok nangis. Dan biasanya, yang pertama itu susah buat dilupain," Reka membuang pandangannya ke langit.

Hampir sepuluh tahun aku dan Reka tidak saling bicara. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali kami bertegur sapa. Padahal kami selalu satu sekolah. SD, SMP, dan SMA. Aku juga sering melihat dia berlalu lalang di depan kelasku. Atau berkeliaran di pinggir lapangan saat aku ada pelajaran olah raga. Atau menyampaikan pengumuman dari guru piket saat ada pelajaran kosong. Atau ketika aku manggung dengan band-ku di acara sekolah, dia menampakkan dirinya sebagai penonton barisan depan. Kalau dipikir-pikir, nih anak kayak hantu, ada dimana-mana.

"Ada yang lucu?" hardik Reka menyadari tawa kecil yang kuhasilkan dari lamunanku.

"Sorry, bukan apa-apa kok."

Reka memandangiku dari atas ke bawah, bawah ke atas. "Ngomong-ngomong, kamu kerja disini?" tanya dia yang penasaran dengan seragam putihku.

"Masih magang, baru sebulan," kutunjukkan kartu magangku. "Kamu sendiri?"

"Oh, aku... disini... hmmm," Reka membuat jeda panjang sambil mengatupkan bibirnya.

"Hmmm?" kuikuti ekspresinya yang menurutku cukup menggemaskan.

"He.. he.. saudaraku ada disini," telunjuknya menunjuk arah bawah yang mungkin artinya adalah saudaranya dirawat disini.

"Dimana?" yang kumaksud adalah kamar tempat saudaranya dirawat.

"Bougenvile 4."

"Sakit apa?" aku menjadi sedikit kepo.

Ekspresinya berubah, sedih. Dia menunduk dibarengi dengan kelopak matanya yang turun. "Koma. Habis kecelakaan," jawabnya lirih, hampir tidak terdengar. Untung saja aku memperhatikan gerakan mulutnya.

"Parah banget, ya?"

"Enggak sih. Lehernya cuman patah. Kaki dan tangannya lecet semua. Teruuuss... ada pendaharan di otaknya. Masih mending sih daripada dia langsung mati ditempat, kan?"

Bulu kudukku berdiri secara spontan. Nih anak serem juga, pikirku.

"Yaaa, semoga cepet membaik."

"Kayaknya enggak, deh. Dokter bilang harapan hidupnya cuman dua puluh persen. Malahan dokter nyaranin buat lepas alat bantunya. Tapi mama malah marah. Mama bilang kalau dua puluh persen itu sudah lebih cukup daripada enggak sama sekali. Padahal kan kasihan mama," Reka memainkan jari-jarinya. Bisa kulihat dia takut terjadi hal buruk pada saudaranya itu. Tapi prosentasi dua puluh persen itu cukup mengkhawatirkan.

"Mama kamu bener, dong," kataku, memberinya semangat.

"Tapi kan–"

"Kamu harusnya optimis kalau saudara kamu pasti baik-baik aja."

Reka memicingkan mata sambil memainkan bibir. "Kamu sendiri? Kapan baik-baik aja-nya?" dia menekan kata 'baik-baik aja' untuk menyindirku.

"Kok jadi aku? Aku sih sangat baik-baik aja. Sehat wal afiat," kubalas dengan menekan kata yang sama yaitu 'baik-baik aja'.

"Emang udah move on? Dia aja udah," tunjuk Reka ke layar hp-ku, ke foto Tari sedang bergelayutan di lengan pacar barunya yang baru saja muncul di jendela notifikasi. Terlihat wajahnya berseri di samping cowok yang sekarang menduduki hati yang pernah kutempati dulu. Dia terlihat bahagia.

"Cewek kan beda sama cowok," kucoba membuat alasan, "Kalau cewek move on-nya cepet. Sedangkan cowok, minimal setara dengan masa mereka jadian."

"Jadi kamu bakal move on tiga tahun lagi, dong?" tebak Reka. Membuatku sadar kalau dia tahu usia pacaranku dengan Tari.

"Tau darimana?" celetukku tanpa basa-basi.

Reka berdiri sambil mengendikkan bahu. Alisnya mengangkat bersamaan dengan senyum misterius di bibirnya. "Ada deh!" balasnya, menggoda.

Perlahan Reka melangkahkan kakinya mundur, "Aku balik dulu ya, bye!" katanya sambil melambaikan tangan padaku. Dia tersenyum. Matanya membentuk garis lurus yang menurutku cukup imut.

"Reka!" panggilanku membuatnya berhenti tepat di depan pintu atap, memunggungiku. "Kenapa baru sekarang kamu nyamperin aku?" pertanyaan itu itu meluncur begitu saja.

"Karena..." Reka menghentikan jawabannya.

"Setiap ketemu, kenapa kamu kayak menghindar? Apa kamu–"

"AKU SUKA SAMA KAMU, TONI!" Reka masih dalam posisinya, "Aku menghindar karena aku suka sama kamu,"

Kata-katanya seperti petir yang menyambar. Tanpa hujan, tanpa awan hitam. Dua kalimat singkatnya menghunus telingaku dengan cepat. Mengosongkan isi kepalaku, membuatku mematung tanpa jawaban.

.

.

.

>>>

Red Carnation (Anyelir Merah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang