- 2-

8 3 1
                                    

.

.

Reka berbalik, menghadap ke arahku. Menaikkan kepalanya, memamerkan mata beraninya yang tampak tergenang. Kulihat tangannya bergetar di samping tubuhnya. Meremas udara di sekitar jemarinya.

"Aku..." sambung Reka dengan lantang, "Aku suka sama kamu dari dulu. Sejak kamu nangis di depanku, walaupun kamu jarang nyapa aku. Aku masih suka... sama kamu, Toni. Aku berusaha ngomong di setiap perpisahan sekolah. Karena aku takut kita gak ketemu lagi. Dari SD ke SMP. Dari SMP ke SMA. Bahkan saat perpisahan SMA aku tetap berusaha bilang kalau aku suka sama kamu. Tapi... tapi... su-lit. Jangankan ngomong, deket kamu aja aku takut. Kamu sangat bersinar sampai-sampai aku gak berani buat natap kamu dari dekat. Sepulang kuliah, aku selalu datang ke kampus kamu. Kadang aku bisa nemuin kamu. Kadang juga enggak. Aku juga sering ngeliat kamu gandengan sama Tari, cewek yang aku gak kenal sama sekali. Dibanding keenam mantan kamu, kupikir Tari-lah yang paling cocok. Aku pengen ngeliat kalian menikah. Dan aku sebagai saksi akadnya."

"Reka," kucoba mengimbangi perasaannya yang kacau.

"Tapi... KENAPA KALIAN MALAH PUTUS?" cecar Reka meninggikan suaranya, mengabaikanku. "Padahal aku udah siap ngelepas kamu!"

Air matanya jatuh di kedua pipinya. Membentuk aliran sungai kecil yang mewakili isi hatinya. Sedalam itukah perasaan yang dipendam Reka padaku? Mengapa aku tidak menyadarinya dari dulu?

"Reka maaf," hanya itu yang keluar dari mulutku.

"Jangan minta maaf," Reka membendung air matanya agar tidak jatuh lagi, "Aku bukannya nyalahin kamu. Aku juga gak minta jawaban kamu. Aku... aku cuman mau bilang apa yang belum sempat aku ungkapin ke kamu. Mumpung kita... masih ketemu." Reka membersihkan bekas air mata di pipinya, mengganti dengan tawa kecil ditemani lesung pipinya yang manis. Angin datang menerbangkan rambut panjangnya yang terurai.

Hari ini aku sadar bahwa kepolosan Reka cukup menarik perhatianku. Kata-kata yang keluar dari mulut mungilnya itu menyadarkanku betapa tulus perasaan yang dia miliki. Membuatku lupa kalau Tari masih tertinggal di puing-puing hatiku. Bolehkah aku membalas perasaan sukanya? Bukan sebagai pelampiasan atau pelarian, tetapi sebagai obat yang menyatukan perasaanku menjadi hati baru yang utuh. Jika saja... jika saja aku lebih cepat mengetahuinya, apakah aku akan memiliki perasaan yang sama?

"Bye, Ton" Reka menggumamkan kata-kata terakhirnya sebelum pergi.

Aku tidak mencoba untuk menahannya. Aku takut ada kesalahpahaman antara logika dan perasaanku yang sedang bingung, antara aku masih mencintai Tari atau belum terbiasa menjalani hari tanpa Tari. Sehingga perasaanku menjadi lebih rapuh menghadapi pernyataan Reka barusan.

Kesibukanku sebagai staff magang bagian rekam medik membantuku untuk mengalihkan perhatianku dari Tari maupun Reka. Seminggu sejak pertemuanku dengannya, kami tidak pernah bertemu lagi. Dia seperti asap yang menghilang bersama angin. Hingga akhirnya aku menyempatkan diri untuk meminta data saudara Reka yang koma di kamar Bougenvile nomor 4 kepada rekan magangku, Erwin.

"Win, liat rekaman pasien Bougenvile 4 dong?" aku memohon.

"Pas banget. Aku lagi ngerjain berkasnya," balas Erwin tampak sangat bahagia, "Nih, sekalian bantuin bikin setifikat kematian juga, ya!?"

"Sertifikat kematian?"

Erwin mengangguk.

Jadi ini sebabnya Reka jarang kelihatan di rumah sakit.

Kubuka rekaman yang diberi Erwin. Pada sampul map, tertulis nama seseorang yang sangat kukenal. Aku mengerjap, kupastikan mataku tidak salah membaca. Reka Maharani Putri, teman lama yang beberapa hari lalu menyatakan perasaannya padaku.

"Kenapa pasien bisa meninggal, Win?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari sampul map rekaman Reka di kamar Bougenvile nomor 4.

"Jadi gini, dua minggu yang lalu pasien masuk ICU karena kecelakaan. Kalau gak salah sih, kecelakaannya di daerah deket kampusmu. Pas dibawa ke rumah sakit keadaannya udah gawat. Pasien koma selama 13 hari sampai akhirnya meninggal kemarin siang. Emangnya kenapa, Ton? Kamu kenal sama pasien?"

"Ya, dia temenku," aku masih terpaku dengan nama Reka di sampul map, "Kemarin dia sempet nyatain perasaannya ke aku. Dia bilang, mumpung kita masih ketemu," kutarik masuk air mata yang menyerobot turun melalui hidungku.

"Hah? Jangan bercanda lah, Ton. Kan dia koma 13 hari sejak masuk ke rumah sakit," Erwin bergidik.

"Aku serius," kutunjukkan deretan gigi sambil memicingkan mata.

Erwin makin bergidik. Diambilnya rekaman milik Reka dari tanganku. Lalu memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya lagi. Membiarkan aku dan semua keterkejutan yang tergambar samar di wajahku.

Satu persatu siluet pertemuanku dengan Reka memenuhi pandanganku. Membentuk slide-slide presentasi yang diwarnai dengan suara lantangnya ketika menyatakan perasaannya padaku. Kata-katanya menjadi begitu jelas. Ketika dia mengatakan bahwa saudaranya ada disini, itu untuk menjenguknya yang sedang terbaring koma. Ketika dia mengasihani mamanya, itu agar tidak membebani sang mama. Sampai salam perpisahannya bersamaan dengan air mata yang tertahan di senyum terakhirnya. Semua itu menjadi sangat jelas.

***



>>>

Red Carnation (Anyelir Merah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang