Sebut saja namaku Marlinda, dan biasa dipanggil Linda. Setelah lulus sebagai sarjana teknik, aku menikah denganseorang seniorku dulu di fakultas, ia bekerja di satu instansi pemerintah. Kami dikaruniai 1 orang puteriberusia 4 tahun. Dengan bantuan suamiku, aku diterima kerja di satu perusahaan pengembang yang menangani banyak proyek di beberapa daerah. Awalnya, aku hanya kerja paruh waktu, tapi karirku terus menanjak hingga dipercaya menangani proyek-proyek.
Sejak terlibat menangani proyek, waktu kerjaku pun bertambah, 10-14 jam sehari, dan5 hari dalam seminggu. Setahun lalu aku ditugaskan menangani proyek besar bersama karyawan baru, sebut saja namanya Erwin. Karena ia baru di perusahaan ini, aku pun diminta meluangkan waktu lebih banyak untuk mengajarinya.
Jujur saja, sejak pertama kali kami bertemu, sebenarnya kami langsung saling tertarik.
Kuakui proyek yang kami tangani cukup rumit, bahkan sempat membuat kami stress. Untukbeberapa malam, aku dan Erwin terpaksa harus bekerja sampai larutmalam di kantor. Bahkan diakhir pekan dan hari libur nasional sekali pun terpaksa kami berada di kantor.
Disuatu malam, ketika sedang mendekati frustrasi karena rumitnya pekerjaan, kami pergi ke suatu kafe di bilangan Blok M. Ya, sekedar minum dan melepas lelah. Aku duduk di kursi yang berdampingan dengan Erwin. Sambil menyeruput minuman segar, kami menikmati alunan musik berirama slow. Suasana terasa romantis..
Tanpa sadar, kulingkarkan lenganku pada Erwin, lalu aku senderkan kepalakudi bahunya. Dengan sedikit menarik nafas aku katakan padanya, "Proyek ini paling berat yang pernah aku hadapi selama kerja diperusahaan ini. Untungnya, aku bekerja dengan kamu." Erwin juga merasakan hal yang sama. Sambil menggenggam tanganku, ia terus memberikan motivasi untukmenguatkanku.
Tiba-tiba, aku ingin memeluk dan menciumnya, meski kami menyadari masing-masing telah menikah. Malam itu, pukul 11 malam, Erwin mengantarku pulang. Ketika aku hendak keluar dari mobilnya, ia memegang lenganku dan mencondongkan tubuhnya ke arahku. Dengan lembut ia membisikkan ke telingaku,"selamat tidur, kasihku,sampai jumpa." Ia spontanmencium bibirku.
Kuakui, aku tak kuasa menahan godaan, lalu membalas ciumannya. Sementara, kuurungkan niatku turun dari mobil. Kami hampir selama15 menit beradadalam mobil, hanya untuk berpelukan. Suamiku dan puteri kamiyang berusia empat tahun sudah tidur.
Ketika melangkah ke dalam rumah,ada rasabersalah karena mencium Erwin. Tapi saya mencoba menghibur diri dengan meyakinkan diri sendiri, bahwa yang terjadi hanyalah karena ingin bersikap ramah kepada rekan sejawat. Namun, kuakui, rasa tak kuat aku melawan ketertarikanku padanya.
Kebersamaan kami yang semakin sering, membuat kami semakin dekat. Apalagi, ketika aku datang ke kantor keesokan paginya, ada catatan di mejaku bertuliskan "sungguh indah kenangan semalam." Kelanjutannya, kami saling kirim SMS, memberi kado, dan sedapat mungkin mencari waktu untuk berdua.
Beban kerja kami semakin banyak, namun kami tak mengeluh karena ingin selalu bersama-sama. Beberapa minggu, setelah ciuman pertama, aku dan Erwin pun mulai bercinta, melakukan hubungan badan di hotel-hotel tertentu. Kami saling berbuka hati, bahwa kami memang saling mencinta.
Erwin mengaku, pernikahannya yang kurang bahagia. Ia memang mencintai isterinya, tapi karena jarang bertemu perasaan cintanya pun luntur.Konon, isterinya juga sangat sibuk dengan urusan karirnya sendiri.
Hubunganku dengan suami sebenarnya baik-baik saja. Tapi sejak setahun lalu, kehidupan seks kami mulai terasa hambar. Perhatianku memang terpecah antara suami dan Erwin. Akibatnya, setiap kali bersetubuh dengan suami aku merasa bersalah, demikian pula sebaliknya.
Hubungankudengan Erwin semakin erat. Sejatinya, aku senang ke kantor karena ada dirinya. Aku tidak yakin rekan-rekankerja maupun bos menyadari adanya "udang di balik batu" dalam kedekatanku dengan Erwin. Kami memang sangat berhati-hati agar tidak menjadi bahan gunjingan. Di depan mereka, kami berusaha bersikap wajar dan terlihat sangat profesional.
Aku ragu, apakah hubungan ini bisa terjadi jika bukan karena sering kami bekerja bersama. Erwin memperlakukanku benar-benar seperti isteri. Ia selalu menyediakan diri untuk aku. Saat aku kesal karena pekerjaan, ia menenangkanku, dan ia melakukan berbagai hal yang dapat menyenangkan diriku seperti mengajak makan siang.
Hingga kini, aku tidak tahu seberapa jauh hubungan ini akan berlangsung. Dalam hati kecilku, aku tidak ingin perkawinanku retak, tapi juga tidak ingin kebersamaanku dengan Erwin berakhir. Bahkan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika salah satu diantara kami mengundurkan diri. Saya benar-benar merasa bersalah. Takut suamiku dan isteri Erwin mengetahui kenyataan yang sedang terjadi pada diri kami berdua. Dalam hatiku kecilku, aku tidak ingin menciderai perasaan siapa-siapa.
YOU ARE READING
Terjebak Selingkuh Tak Berujung
General FictionAsmara Gelap di Tempat Kerja (1) Terjebak Selingkuh Tak Berujung