3,5 Tahun yang lalu.
“Kamu yakin mau ke Batam, Di?. Disana itu jauh, dekat dengan Singapura, negeri orang. Kamu akan di tempatkan di asrama yang satu kamarnya berisi 16 orang. Belum lagi asrama itu di kelilingi hutan, kamu gak akan bisa kabur dengan mudah.”
Aku mengingat kembali, rentetan ceramah panjang dari pak Nathan. Pak Nathan adalah pimpinan dari Radio Guntur, tempat dimana aku bekerja, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk resign dan mengikuti seleksi penerimaan karyawan yang akan dikirim ke Batam.
“La ya bagus kan pak, dekat dengan Singapura, kapan lagi orang desa kayak saya bisa main-main ke luar negeri.”
Pak Nathan menarik nafas berat, seolah-olah tidak rela melepasku. Bagaimanapun antara dia, aku, dan istrinya, telah menjalin pertemanan yang demikian dekat. Pasti ada rasa kehilangan apabila salah satu dari kami pergi.
“Aku tahu alasanmu pergi, kamu ingin melarikan diri. Iya kan Di?. Aku tau kamu ada masalah dengan Ardi. Tapi sudahlah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Pergilah, kumpulin uang yang banyak, dan segera pulang,” ucap pak Nathan lemah.
Faktanya, ada banyak alasan sehingga aku memutuskan untuk pergi dari sini, dan Batam adalah tempat yang tepat.
Alasan pertama, aku menyebutnya sebagai the power of patah hati. Beberapa waktu yang lalu Ardi memutuskan aku dengan alasan sibuk akan pekerjaan barunya. Ardi di terima bekerja di kantor Imigrasi pusat, dengan penghasilan yang pasti lebih baik. Sebulan pertama aku memaklumi kesibukannya, sehingga tidak ada lagi sms harian, telpon menjelang tidur, apalagi sebuah pertemuan. Bulan kedua, aku mulai mengangkat topik tentang perubahan dirinya, dan berakhir dengan pertengkaran hebat.
“Gue sibuk Di, untuk istirahat aja gue kurang, gue gak bisa penuhi tuntutan elu yang musti telpon tiap hari”
Bohong, itu semua bohong. Aku tau itu, aku bertanya dengan salah seorang teman yang juga bekerja disana, tanpa dia tau.
“Dianda, lu coba cari kesibukan untuk bisa lupain gue. Apa kek, lu masih muda, masih 22 tahun. Kuliah gih, temen-temen gue pada S1 semua, itu berguna buat lu gak cuma untuk pekerjaan, tapi untuk mendidik anak-anak lu nanti”
Aku tersenyum, semakin menyadari perubahan pada diri Ardi. Tidak ada lagi mimpi-mimpi yang ingin dihidupkan bersamaku. Dianda, 22 tahun, lulusan SMA, tidak masuk kualifikasi untuk menjadi istri seorang Ardian Baskoro, Pimpinan di kantor imigrasi, lulusan S1. Kenyataaan ini aku dapatkan setelah dua tahun kami pacaran.
Esok harinya, secara tidak sengaja aku bertemu dengan Anis. Dia adalah temanku, pemilik sebuah event organizer yang kebetulan saat ini tengah menggarap event di kantor Ardi. Ardi tidak mengenal Anis.
“Kamu pacaran kan sama Ardi? Kemarin aku ketemu dia loh, saat kutanya tentangmu, he said that he doesn’t know you. But forget it, mungkin memang dia tidak mau membahas masalah pribadi kali ya”
Kenyataan Ardi berubah sudah sangat menyakitkan, ditambah dengan pernyataan bahwa dia tidak mengenalku. ARDI TIDAK MENGENALKU. Aku mencatat kalimat itu di otakku, kutuliskan dengan huruf kapital menggunakan tinta merah. Agar aku tidak megharap lagi akan cintanya. Tapi aku tak bisa, aku tau itu. Kita lihat nanti.
Tadi aku mengatakan ada banyak alasan sehingga aku memutuskan ke Batam. Aku hanya ingin membahas dua saja. Alasan kedua kuberi nama KORBAN PROMOSI.
Pemerintahan kabupaten Jembrana, tempatku tinggal, bekerja sama dengan beberapa outsourcing kota Batam. Mereka menginformasikan kepada masyarakat luas, untuk anak-anak muda usia 18 sampai 23 tahun akan di beri kesempatan bekerja di Batam. Tentu melalui seleksi yang ketat, dan aku salah satu yang lolos dengan nilai tertinggi.
Aku bertemu dengan salah satu petugas yang melakukan seleksi penerimaan lalu menanyakan seperti apa Batam, bagaimana pekerjaannya, dan apa yang akan aku dapat.
Kamu akan bekerja di perusahaan asing, dengan gaji 4 juta perbulan, itu bersih. Kamu dapat tunjangan makan, tempat tinggal, dan ada tunjangan pariwisata ke Singapura.
Wow, tahun 2007angka itu sangat besar bagiku, jika dibandingkan dengan gaji yang kuterima sebagai freelance di sebuah radio swasta. Ditambah dengan iming-iming tunjangan pariwisata ke Singapura. Aku bisa melihat diriku satu tahun kedepan. Dianda berdiri di depan patung singa ikan, yang menjadi icon kota Singapura.
Katakan itu mimpi yang mulai kubangun seiring dengan mimpi-mimpi lainnya. Singapura dan S1. Lalu akan kutunjukkan pada Ardi, bahwa aku bisa.
Ardi secara tidak langsung masih menjadi alasan keputusanku. Untuk meninggikan gengsiku di hadapannya. Kelak ketika aku sudah kembali, aku bukan lulusan SMA lagi.
YOU ARE READING
GREEN ACADEMY
General FictionBelajar itu bisa dari manapun dan siapapun. Sekolah, rumah, teman-teman, lingkungan, atau dari tempat yang memberikan sejuta tekanan. Boleh jadi dari pengalaman diri sendiri, maupun apa yang di lihat dan dialami oleh orang lain. Kisah tentang Diand...