Aku benci ibu.
Rini meringkuk menahan perih dan dingin. Perih di perutnya yang berteriak minta diisi, juga perih di kakinya.
Bajunya basah kuyup. Ada garis-garis memanjang, merah dan panas, yang terbentuk akibat sabetan gesper anak buah mami. Tapi lebih perih lagi hatinya. Seperti ujung jari yang tergores pisau. Ah, bukan. Lebih dari itu. Luka ini lebih dalam, dan perihnya, melebihi dari luka teriris yang lalu ditetesi jeruk nipis. Ngilu.
Rini hanya bisa meringkuk. Ruangan ini gelap dan pengap. Tak ada lampu juga cahaya masuk. Lantai yang hanya dilapis semen tipis menguarkan aroma lembab dan dingin. Mami menjebloskannya masuk sini setelah Rini berhasil ditangkap anak buah Mami.
“Anak bodoh! Kau pikir bisa lari?” teriak Mami tadi. “Kau tau, berapa duitku hilang gara-gara kau? Sepuluh juta!” Matanya membelalak seolah bila tak ada kelopak, biji mata itu bisa keluar dan melompat.
“Kurung dia di bawah, Ed!” perintahnya pada laki-laki yang bertubuh paling besar dengan otot-otot di lengan dan dadanya yang juga besar. “Dua hari. Jangan kasih makan.”
Rini masih mendengar sumpah serapah mami sebelum pintu ditutup. “Anak kurang ajar. Dia kira dia bisa buat seenak udelnya aja.”
Rini kini terisak. Sesak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Lebih dari Sepenggal Galah (2012)
General FictionTak semua apa yang ada di kepalamu berjalan seperti apa yang kau inginkan.