butuh usaha yang besar untuk menghasilkan perubahan yang besar apalagi hanya satu sisi yang berusaha---
"Apa lagi, Sa?" Rissa mulai emosi dengan Salsa yang menelponnya terus-menerus bahkan mengganggu tidur di weekend-nya.
Satu jam yang lalu, atas permintaan Salsa, Dita membangunkan Rissa dan menyuruhnya untuk melihat grup salah satu aplikasi chat. Hanya selang empat jam dari ia mematikan handphone, aplikasi itu sudah mencapai ribuan notif. Rissa memilih men-scrool down dan membuka pesan-pesan personal. Semua isi pesan itu nyaris sama, memintanya datang di rapat perdana acara makrab pukul 10 pagi tadi padahal baru semalam Rissa mengiyakan permintaan Binta.
"Lo udah di mana, Sa?"
Rissa menautkan alis matanya mendengar suara yang muncul di ujung sana dan kembali menatap layar handphonenya yang menampilkan nama Salsa.
"Eh, Sorry. Gue Binta." Terdengar tawa canggung di ujung sana.
"Gue udah di depan pintu lobi teknik mesin kak," Rissa menghentikan langkahnya tepat di depan pintu transparan kemudian menyeka keringatnya yang muncul karena berjalan di tengah hari.
"Syukurlah, gue boleh minta tolong?"
Rissa menghela napas kasar. Belum juga ia sampai, tetapi ketua pelaksana yang sepertinya sudah besar kepala itu menyuruhnya.
"Sa?"
"Iya kak?"
"Sebelum lo naik ke ruang rapat di lantai tiga, tolong ke ruangan yang ada di pojok kiri lantai 1 ya, Sa. Nanti gue kirim spesifik letak ruangannya."
"Memangnya kenapa kak?"
"Ajak orang yang ada di dalam ruangan itu buat naik ke atas, namanya Anand."
"Ok kak."
"Thank you Sa. See you di ruangan ya."
Rissa mendorong pintu transparan di hadapannya. Untuk sesaat, ia terpukau. Bangunan jurusan teknik mesin benar-banar berbeda dari kebanyakan jurusan yang pernah ia masuki. Bagian tengah bagunan ditata hingga menyerupai danau kecil dengan atap kaca di bagian atasnya sedangkan ruangan kelas mengelilingi danau itu hingga ke lantai empat. Senyuman tercetak jelas di wajah Rissa. Kesalnya kini hilang. Dentingan dari benda pipih di tangan berhasil menyadarkannya.
Rissa mengikuti instruksi yang dikirim oleh Binta. Nyaris tidak ada orang di jalur yang ia lalui, hanya ada satu atau dua orang yang sibuk dengan berbagai perkakas yang asing bagi Rissa. Ia menatap orang-orang itu, berharap di sana ada sunshine. Tapi, nyatanya bertemu lelaki itu tak semudah dengan hanya datang ke jurusan teknik mesin.
Rissa menggigit-gigit kecil bibirnya saat instruksi itu mengantarkannya ke lorong yang seperti tak terurus. Ada banyak baut dan perkakas mekanik yang berserakan, sarang laba-laba di sudut plafon, serta kursi kuliah yang tertumpuh di ujung lorong. Rissa melangkahi beberapa barang yang tak bisa digeser itu. Tangannya berusaha menggapai pintu untuk diketuk. Namun, benda asing yang berada di depan pintu itu menghalanginya. Lagi, Rissa melangkahi benda yang menghalanginya. Tubuhnya nyaris menempel pada pintu.
Setelah meyakinkan diri, Rissa mengentuk pintu yang didominasi warna army dan stiker bertuliskan solidarity M forever itu. Tak ada sahutan ataupun respon lain dari balik pintu. Tepat saat Rissa akan mengetuk kembali, pintu itu terbuka. Tubuhnya mendadak kehilangan keseimbangan. Matanya terkunci dengan suasana gelap di dalam sana. Lagi, sesak itu datang. Tubuh Rissa jatuh begitu saja membuat lembaran lukisan yang diminta Binta berhamburan. Kini, keringat dingin mulai memenuhi wajah Rissa.
KAMU SEDANG MEMBACA
hello, Sunshine
Teen FictionTentang perjuangan untung memiliki. Tentang waktu untuk menunggu, waktu untuk mengejar, dan waktu untuk menerima. Tentang perjuangan yang terikat pada waktu. Ya, semuanya tentang waktu. Tapi, jangan lupakan ada hati yang terikat pada waktu dan kali...