4. Tahap Usaha

13 0 0
                                    


Ada banyak cara yang merupakan perwujudan dari usaha, terlepas ia berhasil ataupun tidak tetap akan ada fase yang menghancurkan diri

---

Rissa mengerutkan dahinya menatap nomor yang terus muncul di layar handphonenya itu. Kali ini, dengan tangan penuh bercak cat, Rissa menggeser ikon hijau yang muncul.

"Halo, selamat pagi. Dengan Clarissa?” Suara laki-laki di ujung sana terdengar.

"Iya, pagi."

"Maaf sebelumnya, gue Jay salah satu anak mesin yang nge—handle bagian dekorasi. Kalau kita bahas tentang dekorasinya sekarang, bisa?"

"Sekarang ya?" Rissa memerhatikan goresan di dinding dekat tempat live music "Kalau bahasnya di Memorial Cafe, bisa?"

"Ok. Satu jam lagi gue sampai."

Jay memutuskan sambungan kemudian masuk ke dalam rumah dua lantai bergaya modern di depannya. Di dalam rumah, salah satu penghuninya menjatuhkan tubuhnya di atas kasur king size setelah mengunci pintu kamar. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Lagi, sesak itu datang. Cahaya matahari selalu berhasil mendatankan sesak itu.

Suara ketukan yang nyaris seperti gedoran dari luar pintu kamar membuatnya menghela napas kasar. Ia memaksa tubuhnya yang baru menyentuh kasur empuk untuk bangun karena setidaknya masih ada orang yang membutuhkannya.

"Wah wah, emang dasar lo Nand gue telpon gak diangkat. Ini malah belum siap."

Si pemilik kamar mengacak rambut kusutnya, membiarkan Jay menjatuhkan tubuhnya di sofa.

"Seenggaknya gue masih hidup kan?" Lelaki yang dipanggil Nand itu masuk ke dalam kamar mandi transparan yang ada di dalam kamar itu.

"Gue seret lagi lo ke Sujodo Pramudiyo,"
Lelaki yang baru keluar dari kamar mandi itu melempar handuk kecil yang mendarat tepat di wajah Jay.

"Eh seriusan Nand, Sujodo mau ngomong sama lo. Katanya, mau minta tolong." Kali ini, Jay menatap serius lelaki yang sedang mengambil asal baju yang tergantung di lemari itu.

"Lo tahu sendiri kan gue gak punya apa-apa buat nolong. Jadi, bilang ke bokap lo buat berhenti minta gue datang," sahut lelaki itu sembari mengancingkan kemeja denim yang menjadi pilihannya.

"Woi, Anand!" Jay yang mulai geram kembali melempar handuk ke lelaki yang sedang menggulung lengan bajunya itu. "Bodo amat! Anak orang udah nunggu. Cepat!" Jay menyambar drafting tube milik lawan bicaranya itu kemudian meninggalakan ruangan yang didominasi abu-abu itu.

*

Entah sudah berapa lagu yang dinyanyikan Arjun sembari memetik gitar kesayangannya. Matanya tak lepas dari Rissa yang sibuk menggoreskan cat di dinding dengan kuas. Bahkan suara dreamcather sebagai penanda pengunjung yang masuk ataupun keluar tidak membuyarkan fokusnya.

"Karna gue yang bawa driving tube-nya jadi lo yang harus ngejelasin" Jay berjalan cepat setelah memarkirkan motornya di halaman Memorial Cafe meninggalakan lelaki yang di panggilnya Anand tadi.

Jay mendorong pintu transparan dengan dreamcather di atasnya sembari memulai panggilan dengan nomor yang ia telepon satu jam yang lalu. Matanya menatap sekitar dan berhenti di sudut kafe.

"Wah, ternyata beskem lo di sini sekarang ya, Jun." Jay berjalan mendekat ke panggung kecil di sudut kafe menganaikan panggilan yang sedang berlangsung.

"Tumben ke daerah sini, Bang."

Lelaki itu menganggukkan kepalanya sesaat, "Ada janji mau bahas acara makrab"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

hello, SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang