Prologue

29 25 16
                                    

Tuk...

Sesuatu mengenai buku yang tengah berada di pangkuanku, mau tidak mau aku menengadahkan kepala, awan menghitam, serta angin yang berhembus kencang membawa air yang menetes demi tetes. Aku menutup buku yang sempat kubaca, memasukkan kedalam ranselku.

Kemudian bangkit dari dudukku, berlari mencari tempat teduh. Dari sini rumah masih jauh, aku tak cukup kuat untuk lari, bahkan belum aku sampai rumah hujan telah mengguyurku dan membuat seragam putih biruku dan tasku basah, dan aku tak mau hal itu terjadi.

Aku mengarahkan pandangan ke segala arah, sebuah halte, ya tidak adalagi tempat untuk berteduh selain itu. Aku menghembuskan napas, pasrah dengan seragamku sedikit basah. Mengibas-ngibaskan tanganku bermaksud untuk mengeringkan meskipun aku tahu hal itu mustahil.

Aku tak sadar seseorang tengah bersandar, di salah tiang penyangga halte yang sudah kumuh ini. Mata kami bertemu, lanjut dengan iris mata yang membulat sempurna, akibat terkejut. Tadinya aku pikir aku sendirian ternyata ada dia, El.

"Hujannya turun tiba-tiba ya?"

Apakah dia bertanya kepadaku? Aku melihat sekitar hanya kami berdua yang berada di sini. Aku mengutuk diriku yang benar-benar bodoh. Jelas-jelas dia bertanya padamu. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu kemudian hening. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Aku meliriknya lewat ujung mataku, ia hanya menunduk, lalu aku kembali sibuk mengelap ransel dan seragamku bergantian. Tidak memperdulikan El yang entah apa yang ia lakukan.

Tap..

Aku mengeryitkan dahi, lalu meraba seuatu yang berada di kepalaku. Sebuah hoodie? Buat apa? Aku menatapnya sebentar, ia hanya sibuk menengadahkan kepala dengan tangan yang sama menengadah serta mata yang ia tutup.

"Hoodie ka---"

"Pakai saja, kau bisa demam. Keringkan rambutmu dengan hoodie itu." Ia masih sibuk dengan hujan, tidak memerdulikanku yang tengah merasakan hawa panas yang tiba-tiba muncul menjelajar di sekitar pipiku.

"Tap--"

"Tenang saja, aku belum memakainya." Ucapnya santai, lagi-lagi memotong ucapanku. Aku melihat dari celah hoodie itu. Iris kami saling bertubrukan satu sama lain.

"Hah!! Kau belum memakainya?!" Tanyaku tak percaya. Tidak sesuai dengan dugaanku, El tertawa tanpa beban. Matanya yang sipit tambah menyipit, dengan lesung pipi di kedua sisi kanan dan kirinya. Membuatku merona, baru kali ini aku melihat dia tertawa seperti itu.

"Maksudku, aku hanya membawanya dari ruamah, dan belum kupakai sampai sekarang." Ia menggaruk tengkuknya canggung.

"Oh, kalau begitu kupinjam ya."

"Pakai saja." Ucapnya, sesekali aku meliriknya sambil mengeringkan rambutku dengan hoodie dengan wangi yang mengapa membuatku langsung suka.

El adalah teman sekolahku, dia bertubuh kecil dan cara bicaranya lembut tidak seperti kebanyakan laki-laki teman sekelasku, menurutku dia sedikit pemalu.

"Hmm... apa kau ingin pergi pasar malam?" Dia kembali bersuara, aku tertegun kembali, menatapnya sekilas.

"Ya?" Aku mengangkat alis tak tahu maksudnya.

"Pukul 8." Ucapnya cepat "Aku tunggu jam 8 di taman kota, dekat pasar malam." Setelah berkata tiba-tiba El lari begitu saja, meninggalkanku yang merona bahagia.

***

"Hayoo, kau ada hubungan apa dengan El?" Tanya Roni yang tak henti-hentinya mengikutiku. Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, mencoba untuk tidak menghiraukannya.

"Kau mengatakan kalau kau tak memiliki hubungan apa-apa, padahal aku melihatmu di halte itu. Hey ayolah cerita kepadaku." Roni tak berhenti berceloteh di belakangku. Aku berbalik menatapnya sengit.

"Berhentilah menggangguku!?" Ucapku kencang tidak memerdulikan jika hal itu menarik perhatian banyak orang.

"Karena itulah aku membenci semua laki-laki!!" Teriakku frustasi, bersamaan dengan seseorang tengah keluar dari kelas, ia menatapku terkejut, lalu menunduk sejenak, kemudian berlalu begitu saja, hanya pundaknya yang kulihat hingga hilang di balik lorong koridor kelas.

Pukul 8:00 di taman kota, kebisingan mulai terdengar dari pasar malam yang tak jauh dari taman itu. Aku menunggu dan menunggu, tapi El tak kunjung datang, sesekali aku melirik jam yang sudah menunjukkan jam 9:00 kurang sepuluh. Tapi tak ada tanda-tanda kedatangannya.

Esoknya di sekolah, aku mendengar bahwa El pindah sekolah. El itu, orangnya canggung, sulit di tebak, dan pemalu. Tapi, entah mengapa aku menyukainya.

Hanya satu harapanku kedepan, semoga aku bertemu dengannya kembali.

×××

This my first story.
Semoga suka,
Maaf kalau banyak typo
Maaf ceritanya nggak jelas.
Dan terima kasih mau baca.
Jangan lupa vote dan komen.
See you

AthaRaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang