(1)

30 1 0
                                    

Perancis, tahun 20xx
Untuk musim semi di Perancis, menara Eiffel akan dipenuhi dengan pasangan
yang datang silih berganti. Memadati jalan sambil bergandengan tangan, dan
bercerita bagaimana hidup bersama akan terasa sangat indah.
Musim semi di Perancis, seperti menyebar kehangatan pada semua manusia.
Semuanya tersenyum, bahagia, dan tertawa, bahkan pada hal-hal yang dianggap
sederhana.
Toko-toko dihias se indah mungkin. Pernak pernik dan segala hiasan
dikeluarkan untuk menarik perhatian pengunjung. Toko-toko roti akan menyebarkan
aroma harum yang memikat serta bentuk-bentuk roti yang unik. Toko-toko pakaian
akan memberikan display pakaian musim semi dengan warna yang cerah dan lembut,
dan pelayan dengan senyum yang manis akan menarik perhatian wanita yang ingin
tampil dengan modis.
Jalanan dipadati oleh pengunjung dari luar dan dalam negeri. Banyak yang
singgah dan hilir mudik untuk membawa buah tangan yang akan diberikan pada
keluarga dirumah. Ada juga para mahasiswa dan pekerja mengunjungi menara ini
sekedar melepas penat. Pengendara mobil dan motor tidak akan ditemui disini. Yang
ada hanyalah pejalan kaki, pengendara sepeda, pemakai sepatu roda, pemakai
skateboard, dan kereta bayi memenuhi jalanan yang indah ini.
Aku memandangi pengunjung yang berjalan di hadapanku, sesekali
memintaku memotret mereka untuk dijadikan kenang-kenangan. Ya, aku seorang
fotografer di Perancis. Di musim semi, aku bekerja secara sukarela di jalanan menara
Eiffel, sementara pada musim lainnya menjadi fotografer pada sebuah majalah.
Menjadi seorang fotografer sukarela di jalanan menara Eiffel memberikan
kesan tersendiri bagiku. Melihat bagaimana bahagianya pasangan tersebut di potret
dengan senyum yang terkembang dan dapat disimpan di galeri yang akan mereka
lihat ketika tua nanti.
Terakhir, menjadi seorang fotografer, disebabkan oleh semangat yang secara
tidak langsung ku dapatkan, ketika saat aku hampir gagal pada tugas akhir yang
kudapatkan.
Klik... klik... klik...

"Hello." Sapa seorang gadis, rambut emas bergelombangnya terbang ditiup
angin bersama dengan suara merdunya. Suara bukan keturunan Perancis, sepertinya
orang Barat. Tingginya semampai, kulitnya putih, dan giginya rapi.
"Oh, hello. Want me to take a picture of you?" balasku ramah. Mata biru
besarnya menatapku dalam, dan ia mengangguk sambil tersenyum.
"Ikut aku. Aku ingin dipotret tepat disamping menara Eiffel, seolah aku
bersandar padanya." Akupun mengikutinya.
"Okay, smile in count of three. One... two... three." Klik. Wajahnya berhasil
ku abadikan dalam kamera polaroid milikku. Kulihat senyumnya sangat indah.
"Thank you so much. I look so pretty here." Dia tersenyum, memberikan tip
dan berlalu. Kubalas senyumannya dengan lambaian tangan yang takkan terlihat
olehnya.
Dia cantik. Hatiku berbicara pada diriku sendiri.
Cantik memang, tetapi, ada yang lebih membuatku terpukau sebenarnya.
"Hmmm, sudah puas memandanginya, Zeva?"
"Eh?" kupandangi sekitar. Kulihat gadis di belakangku. Tingginya sebahu,
dengan hijab pashmina merah yang ia pakai menutupi kepalanya.
"Apaan sih ma? Dia kan pengunjung disini." Jawabku seadanya.
"Iya iya. Tapi tumben-tumbennya kamu memerhatikan pengunjung sebegitu
seriusnya. Jangan-jangan, kamu suka ya sama cewe itu? Waduh gawat hahaha." Balas
Alma. Tawanya pecah ketika melihat wajahku memerah.
"Wah, jadi benar? Hmmm rumor menara Eiffel membawa jodoh kayaknya
berlaku nih buat kamu." Sahutnya sambil berjalan menjauhiku. Kuturuti langkahnya
menuju toko-toko makanan yang berjejer agak jauh dari menara Eiffel. Kulihat ia
tengah memainkan handphone dengan tangan kanannya.
Alma, dia adalah seorang gadis manis. Bibirnya tipis, hidungnya mancung,
mata yang besar menghiasi muka bulatnya. Dia disini bersamaku karena suatu alasan.
"Zeva, menurutmu, pantas tidak jika seseorang yang selalu bersama, pada
akhirnya saling suka?" dia berbalik, dan bertanya padaku.

"Menurutku hal itu pantas saja. Memangnya kenapa? Kau sedang suka dengan
siapa? Denganku?" jawabku asal.
"Nggak mungkin aku bisa suka pada seorang Zeva." Jawabnya.
Sedikit banyaknya rasa kecewa memenuhi perasaanku. Ya memang tidak
mungkin juga, Alma tidak pernah cerita apapun soal laki-laki, dan tidak pernah cerita
juag bahwa ia sedang jatuh cinta pada seseorang.
"Aku justru telah jatuh cinta pada seorang Zeva." Lanjutnya. Kali ini pupil
mataku bertemu dengan pupil matanya. Senyum centilnya membuat pipi bulatnya
naik, dan matanya mengecil. Dia kembali tertawa melihat wajahku yang memerah.
"Tapi apalah daya, kamu kan suka dengan gadis blonde tadi, ups." Dia
berbalik, dan mengayunkan kakinya menjauhiku.
"Alma." Kucoba memanggil gadis itu. Menunggunya hingga bebalik, dan...
Klik.
"Eh Zeva, kalau mau motret itu kasih tau dulu! Ih wajahku jelek pasti. Hapus
deh!" Alma berlari mengejarku. Kuangkat kamera setinggi mungkin agar tidak
tergapai oleh tangannya. Dasar pendek, sahutku dalam hati.
"Apaan sih Zeva. Kurang kerjaan banget. Udah ah, pulang aja. Udah malam
juga."
"Justru menara Eiffel itu semakin cantik kalau dilihat di malam hari. Apalagi
kalau kita naik keatasnya. Melihat kota Perancis yang berwarna serta ditemani oleh
udara yang sejuk di musim semi dan..."
"Dan... apa?" Tanya Alma. Bibirku membeku. Hampir saja mulut ini
mengatakan sesuatu. Tidak, belum pas waktunya.
"Dan, ketika pulang dalam keadaan perut lapar, kita bisa makan sepuasnya."
Jawabku seadanya. "Dasar..." kudengar Alma hanya menggumam dan berjalan
kembali menuju menara Eiffel, setuju dengan ide yang kupaparkan.

***

Sg🌇.

France, Eiffel, and YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang