(3)

11 0 0
                                    

Setahun yang lalu, aku terpilih dalam kegiatan pertukaran mahasiswa ke
Perancis. Awalnya hanya berlangsung selama satu semester, namun dosen
pembimbingku disini menawarkanku melanjutkan studi hingga tamat disini. Akupun
menyetujuinya karena kudengar, setamatnya aku dari universitas ini, aku akan
memiliki kesempatan bekerja menjadi seorang fotografer handal dalam suatu majalah
terkenal di Perancis. 6 bulan sudah kulalui kuliah disini, dan aku siap untuk
mendaftar ulang ketika kulihat wanita asal Indonesia berlari berlawanan arah dariku.
Wajahnya terlihat panik dan larinya sangat kencang. Namun ketika matanya bertemu
denganku, dia menyempatkan diri membalas senyum yang kulukiskan di wajahku.
Satu bulan kemudian, aku dimintai mendatangi gedung rektorat untuk
mencairkan dana besiswa yang kuajukan. Ternyata, gadis itu juga ada. Namanya dia
adalah Alma, gadis jurusan sastra.
"Hei." Sedetik kemudian aku menyesal, karena menyapa gadis itu tanpa tahu
malu. Namun siapa sangka, gadis itu melihatku, tersenyum, dan membalas sapaanku.
"Hai, nama kamu siapa?"
"Namaku Zeva, jurusan fotografi." Balasku canggung. "Oh, salam kenal
Zeva, aku Alma jurusan sastra." Percakapan kami terhenti karena kami harus
menjalankan wawancara akhir sebelum beasiswa dicairkan. "Kalau begitu, sampai
jumpa lagi Zeva." Sahutnya sebelum berjalan menjauh.
Sejak saat itu, pikiranku hanya dipenuhi oleh Alma. Namun tidak pernah lagi
kutemui Alma setelah sapaan singkat di gedung rektorat itu. Pun 2 hingga 3 tahun
kemudian.
Musim gugur, tahun keempat kuliah adalah tahun dimana tugas akhir menjadi
fokus pikiranku saat itu. Dosen pembimbingku hanya meminta satu : memotret dan
merekam video seorang gadis yang membaca puisi ketika daun maple berguguran.
Simpel memang, namun aku tidak ingat punya kenalan seorang anak sastra. Pun anak
di kelasku tidak ada yang bisa membaca puisi, narasi, dan sebagainya.
Deadline yang semakin dekat membuatku frustasi sehingga langkahku kalang
kabut berjalan menuju fakultas sastra. Kutanya secara acak orang-orang yang mau
menjadi modelku. Namun Tuhan seperti tidak berpihak padaku. Yang bersedia
hanyalah anak tahun pertama, namun kadar pembacaannya tidak memuaskan diriku
maupun dosen pembimbingku.
Habis sudah, kalau begini, bisa-bisa wisuda ku diundur, dan beasiswaku
otomatis akan dicabut. Malu jika aku pulang tanpa ijazah, namun dengan kasus DO.
Dan ketika aku frustasi itulah kulihat seorang gadis yang pernah kutemui 3 tahun
silam. Dia duduk di hadapanku, dan melihatku dengan wajah cemas.
Dia mengenakan hijab pashmina coklat tua dengan jaket kulit coklat menutupi
badannya. Rok yang berwarna merah terlihat sangat kontras dengan sepatunya yang
berwarna hitam.
"Kamu, yang waktu itu pernah kutemui di rektorat kan? Kamu kenapa?
Wajahnya kenapa frustasi seperti itu?" dia bertanya, dan melihat beragam coretan
yang kutuliskan di note kecil di hadapanku.
"Kalau aku yang jadi modelnya bagaimana? Boleh nggak?" dia bertanya, dan
memberikan cahaya dalam hidupku. Sepertinya bukannya Tuhan yang tidak berpihak
padaku, tetapi Tuhan sedang menjodohkanku dengan gadis ini. Benar saja, lantunan
puisi yang ia bacakan sangat memuaskanku, bahkan dosen pembimbingku. Akhirnya
aku bisa wisuda tepat waktu.
Pada hari dimana aku di wisuda, Alma tiba-tiba saja datang dan
memberikanku sekotak coklat. Katanya bikinan sendiri. Dengan senyum yang terhias
di wajahnya, dia memberiku selamat, "Selamat ya Zeva, sudah menjadi sarjana.
Akhirnya kita bisa tamat kuliah dan masuk dalam dunia kerja, sesuai dengan profesi
dan cita-cita masing-masing."
Sejak saat itu aku menjadi dekat dengan Alma, meskipun kantor tempatku dan Alma
bekerja berjarak sangat jauh. Aku yang bekerja pada suatu perusahaan majalah, dan
Alma yang bekerja sebagai dosen sastra serta penulis lepas. Kami selalu berhubungan
melalui sosial media, selalu menceritakan kegiatan yang kami lakukan serta apa yang
terjadi di tempat kerja masing-masing. Memang hanya melalui sosial media, namun
kami justru semakin dekat. Tak jarang kami sering videocall ketika malam minggu,
walaupun sebenarnya aku yang modus ingin mendekatinya. Kemudian kami pun
berjanji, akan selalu bertemu setiap musim semi. Dan pada musim itu, aku selalu saja
menyiapkan nyali untuk tidak tiba-tiba asal berbicara sebelum waktunya.
"Alma, kamu lagi dekat dengan siapa?" pertanyaan yang selalu kupaparkan
setiap bertemu, dan Alma hanya akan tertawa dan membalas, "Kamu kira, aku dekat
dengan siapa sekarang?" gugup memang, aku takut berharap padanya, namun
nyatanya dia tidak berharap padaku. Namun pada tahun ini, setelah aku cukup
memapankan diri dan usia, setelah memantapkan niat, akan kucoba perjudian yang akan menentukan nasibku di masa depan. Tuhan, kumohon tetap jodohkan dia
padaku.
"Alma, kamu lagi dekat dengan siapa?" tanyaku, sekian kalinya, setelah puas
bercerita kepada Alma.
"Zeva, kamu itu gak pernah bosan ya nanyain itu mulu. Jawabannya bakalan
tetap sama juga. Kamu kira, aku sedang dekat dengan siapa? Aku tidak pernah kan
menceritakan seseorang selain karir? Aku ingin memapankan diriku dan usiaku, ingin
memantaskan diri agar lelaki yang akan bersamaku nanti, tidak akan menyesal di
kemudian hari." Jawaban dari Alma semakin menggetarkan nyaliku.
"Kamu sendiri gimana? Lagi dekat sama siapa? Apa kamu lagi suka sama
cewe yang tadi? Hmmm?" tanyanya balik. Senyum usil terukir di bibirnya.
"Dia memang cantik, tapi dia adalah tipe banyak lelaki. Aku tidak suka
bersaing dengan banyak orang, karena aku yakin pasti akan kalah. Aku juga tidak
mau bersaing hanya dengan kriteria umum, seperti gadis tadi. Rambut ikal, tinggi
semampai, pokoknya segala bak model yang wanita ingin dan yang pria dambakan.
Aku punya kriteria ku sendiri."
"Dan, kriteria seperti apa itu?" Tanya Alma.
"Aku suka dengan gadis yang apa adanya. Dia tidak berusaha menjadi yang
lain, dia hanya berusaha menjadi dirinya sendiri. Dia cuek, tidak peduli dengan apa
yang orang pikirkan dengannya, dia hanya berusaha memantaskan diri untuk
pasangan sehidup sematinya nanti. Dia cantik, tapi dia tidak berusaha memikat orang
lain dengan kelebihannya itu, namun mampu mengikat seseorang sampai sejauh ini
padanya. Dan dia, adalah orang yang menyelamatkanku ketika aku benar-benar putus
asa..."
"Wow, beruntung sekali." Balas Alma.
"Siapa?"
"Kamu dan gadis itu. Gadis itu beruntung bertemu denganmu, pun dengan
dirimu."
"Kamu tau? Seorang sastra, sangat sulit biasanya untuk memaparkan
perasaannya secara langsung kepada seseorang yang ia sukai. Biasanya ia akan
mengutarakannya pun secara tidak langsung, mungkin melalui sajak, mungkin berupa
sebuah cerita singkat atau lainnya. Namun tidak banyak yang mengutarakannya
secara langsung. Biasanya mereka hanya akan menahannya hingga menaun, atau hingga perasaanya benar-benar kandas. Kalaupun ada yang kamu temui itu dengan
mudahnya mengatakan perasaan pada orang lain, dia tidak pantas disebut sebagai
seorang sastrawan, dia hanya bisa disebut pecundang. Karena kenapa dengan mudah
mengutarakan tanpa memikiran terlebih dahulu dan... duh maaf, aku keceplosan."
Hening, suasana canggung tercipta. Lidahku kelu untuk menjawab, "ya, gadis
itu kamu" setelah mendengar jawabannya.
Aku tidak tahu kenapa Alma tiba-tiba berbicara seperti itu. Apakah Alma
sebenarnya sedang menyukai seseorang namun orang tersebut tidak membalas
perasaannya? Atau sebenarnya Alma dan orang itu saling suka namun harus kandas
karena tahu bahwa Alma tengah dekat denganku? Aku tidak tau, aku bahkan sampai
tidak bisa bertanya apapun kepada Alma, bahkan aku sempat takut untuk melanjutnya
rencana yang telah kususun selama ini.
"Ngomong-ngomong soal gadis itu... apakah kamu sudah memberitahukan
hal ini padanya?" Alma mencoba memecah suasana.
"Aku akan memberitahukannya. Ngomong-ngomong, sekarang pukul
berapa?" tanyaku. Aku tidak boleh menyerah. Selama janur kuning belum
melengkung, maka setiap orang masih punya kesempatan yang sama.
"Oh, sekarang pukul 23 lewat 59 menit."
"Kalau begitu, aku butuh jawaban singkat dari pertanyaanku ini. Kamu siap?"
tanyaku. Jantungku berdegup kencang karena inilah waktunya.
"Ada apa sih sebenarnya? Aku bingung karena kamu aneh banget daritadi."
"Alma." Tegurku. Alma menatapku heran.
Kuhembuskan napas perlahan, kupenjamkan mata, dan kuangkat kepalaku
sejenak. Tenanglah Zeva, baik atau buruknya jawaban yang didapatkan, akan lebih
baik daripada tidak mencoba sama sekali.
"Sebelumnya terima kasih. Hidupku tidak akan pernah berwarna seperti ini
sebelum bertemu denganmu. Terima kasih juga sudah menyelamatkanku hingga aku
bisa wisuda tepat waktu. Serta, terima kasih mau bertemu denganku setiap musim
semi. Kamu tau kenapa musim semi? Musim semi menandakan semua bunga akan
membuka kelopak indahnya menghiasi taman-taman perumahan, pun suatu kota.
Kamu pun sama, senyumanmu itu menghiasi hidupku. Ini bukan gombal ya Alma,
aku benar-benar mengalami ini pada hidupku sendiri, dan aku tidak pernah
menemuinya pada siapapun. Dan kamu tau kenapa aku menanyakan hal yang sama setiap kita bertemu? Karena aku takut bahwa ada saingan baru yang ingin berlaga
bersamaku, dan aku yakin aku kalah. Namun sejatinya aku tetap berusaha
memantaskan diri agar dilihat olehmu, Alma."
"Jadi, Alma... kamu mau nggak, menemani setiap hariku mulai saat ini,
sampai ajal memisahkan kita?"
"Eh, ma-maksudnya... itu... istri? Aku... jadi istri kamu...?" tangis Alma
pecah setelah kuanggukkan kepala. Aku belum yakin dengan tangisnya, apakah aku
ditolak? Apakah dia sudah punya seseorang yang akan melamarnya? Apakah aku
terlambat?
"Aku kira kamu tidak punya perasaan padaku. Sekian tahun dan sekian
pertanyaan sama yang kujawab dengan pertanyaan yang sama pula, selalu
kuharapkan pertanyaan itu menandakan bahwa kamu hendak melamarku. Aku kira
hanya aku yang berkhayal, aku kira, kamu hanya iseng seperti keisenganmu tiba-tiba
tersenyum ketika pertama kali bertemu, seperti keisenganmu yang tiba-tiba
menyapaku di gedung rektorat, berjanji selalu bertemu di setiap musim semi saat
sudah bekerja. Aku kira... aku kira hanya aku yang berjuang..." Alma terisak di
hadapanku.
Gadis itu, juga suka padaku. Gadis itu, gadis yang selalu tersenyum, tertawa
dengan manis itu, membalas perasaanku diam-diam. Diam-diam, atau memang
sebenarnya sudah terlihat, dan hanya aku yang bodoh tidak peka akan segala
perjuangan yang ia lakukan?
"Penantian ini akan terasa sangat manis setelah perjuangan pahit ini dilalui."
Alma mengulang kalimat yang kupaparkan sebelumnya. Matanya merah karena
menangis, dan aku mengusapkan mata yang basah dengan punggung tanganku. Ia
melihatku dan tersenyum. Wajahnya memerah dan bibirnya mengembang setelah
mata kami bertemu.
Beberapa pasangan yang menjadi pengunjung dalam menara ini bertepuk
tangan riuh. Ternyata, sejak aku melamar Alma, sudah banyak yang memerhatikan
kami, bahkan ada yang memotret serta merekam kami dalam handphone mereka.
Walaupun tidak mengerti bahasanya, namun mereka paham akan kondisi kami.
Menara Eiffel seolah-olah menjadi tempat pernikahan kami, karena para pengunjung
tersebut menyalami kami satu persatu, mengucapkan selamat dalam bahasa Perancis,
bahkan tidak sedikit yang meminta kami berfoto bersama. Terima kasih Perancis,
terima kasih menara Eiffel. Dan, terima kasih banyak, Alma.
"Zeva, terima kasih sudah percaya padaku untuk menemanimu hingga ajal
menjemput."

***


Sg🌇.

France, Eiffel, and YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang