Prolog.

22 1 0
                                    

Sunyi.

Mungkin, kata itu yang sekarang cukup menggambarkan suasana malam ditengah tengah kota Bandung malam ini, yang seperti biasa ditemani dengan cahaya remang remang lampu pinggiran jalan raya, juga suara jangkrik jangkrik bersautan yang datang selang seling tidak menentu waktu layaknya teman lama.

Kalau sudah begini, tidak heran, banyak manusia dengan isi kepala penuh yang masih terjaga. Mark, salah satu contohnya. Iya, Mark Lee. penyanyi sekaligus songwriter tampan kelahiran 1999 milik kota Bandung. Who don't know him? I mean, siapa anak Bandung yang ga mengenalnya? Lebay sih, mungkin cukup dibilang 'hanya terkenal didalam kota', kalau dari luar kota itu namanya, bonus. Tapi ga heran, terkenal satu kota Bandung aja penggemarnya seram minta ampun, udah kaya penari reog mau tawuran tau ga si. Ya gitulah, kalo kata Mark 'disemua pilihan yang kita ambil, bakal ada aja terus cobaannya.'

Well, mungkin cukup dari penjelasan diatas, orang orang gampang menyimpulkan kalau Mark adalah orang yang 'wow', dia punya banyak kelebihan dan hampir gabisa ditemuin kurangnya. Tapi siapa yang tau, jika lelaki yang digadang gadang kelewat sempurna itu, justru berbeda 360 derajat dari yang sebenarnya?

Drttt...

Drttt...

Suara nada dering tanda telepon masuk beberapa detik yang lalu, sukses membuyarkan lamunan lelaki yang sudah sedari tadi sibuk mendudukkan dirinya dikursi balkon kamar apartemen dengan damai. tanpa pikir panjang, ia meraih ponsel yang diletakkan tidak jauh dari dirinya berada sekarang. tertera nama penelpon yang tidak asing disana. Johnny, Managernya.

Alih-alih menjawab, Mark malah mendengus jengah, kembali meletakkan ponselnya ke tempat semula. malas, rasanya berbicara dengan seseorang hanya akan semakin membuatnya pusing. pasalnya, ia hanya perlu waktu sendiri sekarang. itu saja.

Mark memejamkan matanya, membiarkan udara dingin menjalar disetiap bagian permukaan kulit putih pucat miliknya dengan gratis. Tanpa sadar otaknya yang—selalu tidak mau berkompromi. kembali memutar kejadian tadi sore, tepat dicafe favoritnya, dipersimpangan jalan yang tidak jauh dari apartnya berada,

*flashback*

"Bun... Aku pikir, selama ini aku yang salah. Aku yang kurang baik buat bisa jadi anak, Bunda. Aku yang gapantes buat jadi anak, Bunda. Sampe sampe Bunda gapernah sedikitpun peduli ke aku dan juga Papa. Aku kira karna aku lahir jadinya ngerusak semua masa depan kalian, tapi ternyata aku salah—"

Seruan, dari ribuan pikiran yang melayang selama hampir tujuh tahun Mark tahan beberapa tahun lamanya, terhenti. Saat menyadari perempuan baya yang ia tadi sebut 'Bunda', juga berani membuka suara semenjak hampir setengah jam hanya diam, duduk dengan menundukkan kepala dalam, tidak berani melihat Mark.

"Mark.." Terdengar suara lirih yang sarat akan rasa bersalah. Netra matanya menangkap jelas sosok anak laki-laki didepannya, yang tumbuh dengan begitu baik. Ia tidak menemukan ada pancaran kerinduan, dari balasan mata sang anak, melainkan tatapan yang dirinya tahu betul, sangat menuntut begitu banyak jawaban dari sang ibu. Tatapan yang tadinya sendu, sontak berubah menjadi semakin menyedihkan.

"Maafin, Bunda."

Cukup hanya kalimat itu, yang mampu ibunya lontarkan. Dari banyaknya kalimat rindu, sayang, perhatian, yang harusnya ada ketika sudah lama tidak bertemu dengan anak semata wayang, ia justru meminta maaf seakan sadar penuh akan dosa dosanya.

Sudah tujuh tahun lamanya semenjak keluarga mereka hancur sehancur-hancurnya, mereka akhirnya kembali lagi untuk dipertemukan. Atmosfer canggung tidak dapat dibendung. Diantara kedua pihak, belum ada yang berniat untuk membuka suara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pacaran Sama Artis | MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang