Tikus

30 6 6
                                    

Manusia, mahluk paling serakah dan egois di muka bumi ini. Aku tidak mengerti, mengapa Tuhan mau menciptakan mahluk seperti mereka, kebanyakan dari mereka hanya bisa merusak. Tapi, anehnya mereka justru menyalahkan mahluk lain atas kelakukannya sendiri. Salah satu mahluk yang selalu mereka salahkan adalah kaumku. Mereka bilang kaumku adalah sumber penyakit tipes, hama tanaman padi, dan perusak barang pribadi, sekaligus pencuri makanan.

Sebenarnya itu tidak salah, tapi kami tidak pernah berniat untuk melakukannya. Itu naluri alami kami sebagai seekor binatang pengerat yang berbulu, berkaki empat dan berekor panjang. Ya, kalian benar aku adalah seekor tikus, begitu juga dengan keluargaku. Jujur, aku sangat membenci manusia atas perlakuan mereka. Tapi, aku juga membenci diriku yang terlahir sebagai seekor tikus. Karena hal itu lah, kini, aku berada di sebuah perjalanan panjang untuk merubah diriku menjadi seorang manusia.

Kakekku pernah bercerita mengenai sebuah batu luar biasa yang mampu mengabulkan seluruh permintaan. Tapi, karena suatu hal batu itu dipecahkan menjadi empat bagian. Lalu, disembunyikan di tempat-tempat yang berbeda sesuai dengan empat arah mata angin. Seluruh keluargaku tidak mempercayai cerita itu, sebab sebenarnya kakek itu sudah gila! Tapi, aku mempercayainya, karena dia memberikanku sebuah peta yang menunjukkan lokasi keempat batu itu.

Kini, aku sedang berada di perjalanan menuju tempat batu yang pertama, melewati hutan yang dipenuhi pepohonan tinggi dan rindang. Menurut peta, batu pertama berada di sebelah Timur, di sebuah tempat bernama Goa sakti, nama yang cukup menjanjikan. Kuharap batu itu memang benar ada disana.

"Huft, apa masih jauh, ya?" Keluhku. "Kenapa gak sampai-sampai, sih? Bahkan, matahari sudah mau tenggelam lagi." Sambungku, ketika menyadari bahwa hari sudah sore. Akupun mempercepat langkahku dengan harapan bisa sampai di Goa itu, sebelum senja mulai terselimuti awan gelap gulita, atau setidaknya bisa sampai di sebuah tempat yang nyaman untuk bermalam.

"Oh, sial! Kenapa waktu berlalu sangat cepat? Aku bahkan belum menemukan tempat bermalam," ucapku, ketika menyadari hari sudah malam.

Akupun mengganti prioritas untuk mencari tempat bermalam yang nyaman terlebih dahulu. Karena, seperti yang kalian tahu kami para tikus memiliki predator alami terutama di alam liar seperti ini. Aku harap tidak akan bertemu dengan predator-predator itu selama perjalanan.

"Hahahaha. Akhirnya, ketemukan juga dirimu!" ucapku, pada sebuah pohon tumbang yang spertinya sudah cukup tua. Aku pun berjalan mendekati pohon itu, mencari-cari adakah sebuah lubang yang bisa kujadikan sebagai pintu masuk ke bagian dalam. Tidak lama aku mencari, akhirnya menemukan sebuah lubang yang cukup besar. Tanpa pikir panjang, akupun segera masuk untuk beristirahat. 'Gelap' itulah kata yang pertama kali muncul di benakku saat masuk ke dalam pohon tumbang ini, di sini juga sedikit lembap sama seperti di rumah. Tapi, di sini lebih luas dan bagusnya lagi aku tidak perlu berbagi tempat dengan keluargaku.

****
Sinar matahari menembus masuk melalui lubang pohon yang kujadikan tempat bermalam.

"Ternyata sudah pagi, aku harus melanjutkan perjalanan," ucapku, sembari keluar dari lubang pohon itu.

Dengan penuh semangat, aku menelusuri perjalanan menuju Goa Sakti. Setelah sekian lama berjalan, akhirnya kutemukan sebuh Goa yang tertutup oleh semak belukar dan rumput-rumput liar. Karena penasaran, segera kuputuskan masuk ke dalam Goa itu. Dengan susah payah, aku menerobos semak belukar dan rumput-rumput liar akhirnya berhasil masuk di dalamnya. Aku terkejut melihat pecahan batu yang lumayan besar tepat di depan mata.

"Ini pasti batu yang aku cari," ucapku sambil mengangkat batu itu keluar dari dalam Goa.

Kali ini, aku berjalan ke arah barat, menuju Sungai Ajaib. Menurut peta, batu kedua terletak di sana. Aku kelelahan di tengah-tengah hutan, lalu memutuskan beristirahat sejenak.

"Batu ini lumayan berat, perjalanan menuju Sungai Ajaib masih panjang, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku kebingungan.

Tiba-tiba saja sebuah ide berlian muncul di dalam benakku.
"Aku akan mengumpulkan semua pecahan batu di sini. Jadi, aku akan meletakkan batu ini, agar perjalananku menjadi ringan," ucapku, kemudian melanjutkan perjalanan.

Cukup lama berjalan, akhirnya aku menemukan Sungai Ajaib. Setelah sampai di sana, aku segera minum, mengisi kembali tenaga yang sudah banyak terkuras dan membawa pecahan batu yang kutemukan di Sungai Ajaib itu.

Perjalananku menuju tempat pengumpulan batu kali ini terhambat oleh hujan lebat. Kuhentikan langkah, berteduh di dalam pohon jati yang sudah tumbang, namun masih layak untuk di tempati.

"Kau dari mana, Tikus?" tanya binatang kecil yang bernama Semut. Aku kira hanya ada diriku di sini.

"Aku mencoba mengumpulkan pecahan batu," ucapku.

"Untuk apa?" tanya Semut.

"Aku benci dengan manusia, manusia selalu saja menyalahkan kaumku. Aku ingin menjadi manusia dan pecahan batu itu bisa membantuku," ucapku.

"Tidak semua apa yang dikatakan oleh manusia itu benar," ucap Semut.

"Aku tetap ingin menjadi manusia," ucapku yakin.

Hujan mulai reda, aku memutuskan melanjutkan perjalanan. Hujan dalam waktu yang cukup lama membuat jalan semakin licin dan hampir saja membuatku terjatuh.

"Tikus tunggu aku," ucap Semut berusaha mengejarku.

"Ada apa lagi?" ucapku.

Kami pun saling berbincang-bincang di sepanjang perjalanan.

"Kau akan mengumpulkan pecahan batu itu? Untuk mengabulkan permintaanmu?" tanya Semut.

"Ohh, tidak ...." Aku terpeleset dan pecahan batu yang kubawa berhasil menindihiku.

"Kau tak apa-apa, Tikus?" tanya Semut cemas.

"Sudahlah jangan banyak tanya," bentakku sambil menahan rasa sakit.

Sekarang tanganku terluka dan aku memutuskan istrahat sejenak.

"Apa yang dikatakan manusia tidak semuanya benar, terima saja takdirmu sebagai tikus." Semut pergi meninggalkanku.

Kuabaikan dia. Tapi, memang benar ucapannya. Ah, mengapa aku harus mendengarkannya? Biarkan saja. Mungkin, dia iri padaku. Lalu, aku kembali bangkit dengan niat awalku. Melanjutkan perjalanan berbalik ke Goa Sakti untuk mengambil batu yang kutemuka pertama kali.

****
5 jam perjalanan. Kini, matahari tampak jelas, cuacanya panas, tubuhku seperti terbakar.

"Akhirnya, sampai juga di tempat ini," ucapku lega. Langsung saja aku meletakkan batu yang ku bawa.

Oh, tidak! Batu itu hilang. Siapa yang mengambilnya? Aku sudah susa payah mengumpulkan batu-batu itu. Tapi, sekarang aku harus menelan kekecewaan. Ini takdir Tuhan, tak dapat diubah dengan batu yang kukumpulkan. Aku sangat egois. Kini, aku hanya bisa menangis, menyesali berbuatanku. Benar apa kata semut, terima saja takdirku sebagai tikus, dan tidak semua manusia bersifat buruk. Dulu, aku mengartikan sifat mereka dengan pandangan kebencianku.

Takdirku menjadi seekor tikus dan selamanya akan tetap begitu. Kumulai kembali hidup ini, akan kuubah kebiasaan burukku, agar manusia tak lagi menyalahkan kami kaum tikus.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Keinginan Tikus Menjadi ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang