Finally

2 0 0
                                    

Aku terpaku dalam hening sepi dan beku. Hanya suara playlist lagu yang berjajar siap menembus hening malam untuk menciptakan kembali kenangan. Sebenarnya tak seharusnya playlist itu diputar dan mengembalikan memori atas setiap kejadian bersamamu. Tapi jemariku sudah tidak bisa dihentikan untuk tidak menyentuh tombol play dan akhirnya deretan lagu itu kembali didengar dengan sendu.

Satu tahun dua bulan sudah lenyap dalam hitungan hari. Harap dan doa sudah pupus dan hancur. Tidak ada harapan yang mampu diucap lagi. Aku tersedu menepi dari keramaian gejolak jiwa yang meminta untuk terus bersama. Kata kita sudah berakhir. Semua lenyap tak tersisa kecuali satu hal, perasaan yang masih tumbuh di dalam hati pemiliknya. Kau meninggalkan itu, rasa yang masih baru saja tercipta dipaksa lenyap dari semesta.

Berita itu menghancurkan tembok pertahanan rasa dengan sangat menyiksa. Seolah waktu sudah menghancurkan dirinya tanpa ada aba-aba sebelummya. Tubuh tersungkur di lantai. Ingin sekali tidak mempercayai berita itu. Ingin sekali menutup mata bahkan telinga agar aku tak mendengar kenyataan paling menakutkan itu.

Jemari sudah sangat sigap menekan nomor mana saja yang harus ditelfon. Bertanya dari satu nomor ke nomor lain perihal kebenaran berita itu. Mulut tak bisa berbicara apapun lagi. Kebenaran itu akurat dan nyata. Hujan mengguyur basah kebingungan yang sedang melanda. Semesta kau sungguh tega dengan menjadikannya berbaring di sana setelah semalam ia baru saja berkata ingin bertemu. Aku belum sempat menemuinya. Kenapa engkau tega memintanya untuk kembali.

Dalam perjalanan menuju tempat dimana air mata menetes karena haru akan kehadiran dan menetes karena sedih akan kepergian, banyak dekap peluk datang. Langit seolah merasakan hal yang sama. Tak ada cahaya sedikitpun. Redup dan sesekali meneteskan airnya membasahi tangan yang menengadah dengan sejuta doa dengan harapan agar didengar oleh sang maha kuasa. Aku terus meminta semoga dia baik-baik saja.

Namun kehendak semesta lain ternyata. Ketika memasuki ruang itu, aku melihat dirinya terbaring diatas ranjang dengan slang oksigen dihidungnya. Dan banyak sekali luka di wajah, tangan dan kakinya. Bahkan aku nyaris tak mengenalinya. Tuhan, aku hanya ingin satu hal berikan ia kesembuhan dan semoga tidak terjadi apa-apa. Ada sejuta harap dan ketakutan yang disembunyikan oleh kedua pasang mata. Hari itulah aku berusaha menguatkan diriku sendiri dan meyakinkan hatiku bahwa kau akan baik-baik saja. Kau sesekali membuka mata tapi tak sadarkan diri. Kesakitan yang teramat sakit kau rasakan. Aku tau hanya dengan melihat keadaan dirimu dengan beberapa jahitan yang kau dapat di tanganmu.

Tangan itu terus ku dekap dengan penuh doa dan harapan. Aku sesekali berbisik di telinganya. Aku disini. Kepalanya mengalami benturan saat terjadi kecelakaan pagi tadi. Baru tadi malam ia mengetik sebuah pesan bertuliskan AKU INGIN BERTEMU DENGANMU. Kapan kita bisa bertemu. Aku belum sempat memenuhi keinginanmu itu. Lalu sekarang yang terjadi justru kau terbaring di sini. Aku ingin sekali menumpahkan apa yang seharusnya tumpah. Air mata. Namun aku meyakinkan diri sendiri untuk lebih kuat menghadapi takdir semesta.

Pukul tiga sore, sudah sekitar delapan jam tapi tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan kembali sadar. Dokter memanggil kedua orangtuanya dan berbicara kepada mereka. Aku tidak tau pasti pembicaraan diantara mereka. Setelah itu kau dibawa oleh mobil ambulan menuju tempat x-ray. Aku menunggu di ruang UGD.

Azdan ashar berkumandang. Salah satu temanku mengajak untuk melaksanakan sholat berjamaah dimushola rumah sakit yang letaknya tak jauh dari UGD. Lantai tempat aku bersujud sudah dipenuhi dengan derai air mata yang sudah tak bisa lagi ku bendung. Segalanya kutumpahkan pada tempat yang semestinya. Tempat sebaik-baiknya meminta. Entah nantinya akan dikabulkan atau tidak.

Sudah sekira satu jam aku menunggu. Tapi keadaan harus memaksaku untuk kembali ke rumah. Padahal jiwaku benar-benar ingin menunggu kepastian bahwa kau akan baik-baik saja. Tapi mau bagaimana lagi aku harus pulang agar tak ada yang resah mencari keberadaan diriku. Dengan hati yang sebenarnya ingin tinggal dan menemanimu melalui masa sulit itu, namun kaki terpaksa melangkah meninggalkanmu.

Jemari terus saja sibuk menggeser pesan. Mencari kabar terbaru darimu. Aku sungguh tak ingin pulang waktu itu. Aku menyesal sekali melangkahkan kakiku sendiri kala itu. Sedari pukul lima sore tidak ada ketenangan yang ku dapatkan. Air mata terus mengalir dengan derasnya sepanjang waktu berjalan.

Bahkan ketika malam mulai mengheningkan suasana saja mata tak bisa terpejam karena hati terlalu resah memikirkan keadaanmu. Sesekali mataku terpejam, kemudian kembali terjaga untuk mencari info terbaru akan dirimu. Tapi semuanya ambigu. Mereka bilang kau tetap tak sadarkan diri. Astaga semesta bagaimana bisa kau bersikap seperti ini pada cerita yang baru saja memasuki awal bab kisahnya.

Aku tertidur sejenak dan tiba-tiba tubuhku menggigil dan berkeringat ditambah dengan perasaan resah yang semakin kuat. Ada sebuah rasa yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. Ibu yang tidur disebelahku ikut terbangun dan mengambil termometer di laci lalu memeriksa suhu tubuhku. Tiga pulus sembilan koma tiga sedarat celcius. Demam tinggi malam itu aku tidak tau kenapa bisa terserang demam. Padahal pagi tadi tubuhku masih begitu sehat. Aku menelan pil penurun panas yang akhirnya bisa membuat mataku terpejam.

Tidak lama terpejam mataku kembali terbuka. Dengan sigap langsung jemariku menjelajahi media sosial mencari kabar terbaru akan dirimu.
Tuhan apa ini benar. Aku tak percaya dengan apa yang mereka tuliskan. Apa tidak ada satu doaku yang kau dengar. Bagaimana mungkin. Aku belum siap memulai kisah tanpa ada sosoknya dihidupku.

Aku berjalan menuju ruang dimana aku bisa dengan bebas menumpahkan segalanya tanpa diketahui siapapun. Segalanya sudah selesai. Lembar kisah kami sudah diakhiri paksa. Hanya aku yang tersisa bersama puing-puing memori bersama dengamu. Aku bahkan tidak pernah menyangka bahwa kali terakhir menggenggam erat tanganmu adalah saat itu.

Aku berusaha sekali lagi menguatkan diri untuk mengantarmu menuju tempat peristirahatan terakhirmu. Aku harus kuat bagaimanapun rapuhnya hati dan hancurnya perasaanku saat ini. Tapi ternyata tidak bisa justru aku terjatuh tak sadarkan diri. Tubuhku terlalu lemah untuk menerima kenyataan. Sempat ingin muncul keinginan untuk menyusul dirimu berpulang. Tapi seolah kau selalu menghentikan diriku dengan mengingatkan akan janjiku bahwa akan ada mimpi yang harus diwujudkan.

Langit seakan berubah menjadi kelam dan menutup rapat semestaku hingga tak ada sekalipun cahaya yang mampu menembusnya. Gelap sekali kenyataan yang harus dihadapi. Sudah tidak ada yang bisa dibendung. Kesedihan yang semula ingin ditutupi rapat-rapat pecah. Memang benar kalimat ini "kita tidak akan pernah tau arti dari penyesalan sebelum kita merasakan kehilangan."

Mengikhlaskan kepergianmu adalah suatu keharusan. Tidak baik berlama-lama menangis dan menyiksa diri akan takdir yang tak mampu diterima. Hanya bisa berpasrah pada takdir. Pastilah kau akan lebih suka melihat diriku tersenyum bahagia dari atas sana. Aku selalu meminta agar kau diberi tempat paling indah disisi Tuhan. Selamat tinggal. Lelaki terbaik yang pernah Tuhan hadirkan untuk mengisi kisah dalam hati yang sempat lama kosong.

Sekarang playlist itulah yang menjadi teman setia untuk melepas rindu kepada kau yang hanya bisa ku temui dalam jejak-jejak kenangan kita bersama. Sembari ditemani secangkir teh panas aku menjelajah kembali kedalam memori lama itu.

Ketika kau dan aku bersama dalam satu kesibukan pemestasan drama Februari tahun lalu. Katika kau berusaha membantuku menangkap kodok kecil yang berlari gesit itu untuk eksperimen biologiku, dan ketika kita menghabiskan sepanjang malam untuk bercerita melalui pesan di sosial media, serta sederet kenangan lain yang semuanya memang tercipta penuh keindahan. Tidak ada satupun kenangan menyakitkan saat aku bersamamu. Kaulah kisah terindah yang pernah tuhan hadirkan. Namun ternyata tidak berlanjut lama.

Diary KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang