Bagian ke tiga

1.8K 389 46
                                    

"Itu pertanyaannya Seungmin belom dijawab loh, Om." Kali ini Hyunjin yang membuat Chan ingin segera mengubur diri hidup-hidup. Padahal Chan sendiri sudah mati-matian menahan tawanya ketika melihat perawakannya pertama kali. Memang dari segi wajah sih Woojin termasuk yang good-looking, tapi satu bagian di dekat hidungnya itu loh yang agak ganggu.

"Kalian nggak perlu tau ini apa. Yang jelas kalian akan belajar lima hal dasar tentang tata krama bareng sama saya."

Ke tujuh anak laki-laki itu melempar tatapan aneh pada Woojin. Seolah berkata 'Apaan sih ini orang?'

"Senang bertemu dengan kalian, Minho, Changbin, Hyunjin, Felix, Jisung, Seungmin, dan si kecil Jeongin."

Terdengar suara garpu dan sendok yang jatuh setelah Woojin menyelesaikan kalimatnya—dramatis banget. Tapi serius, mereka semua kaget. Chan dan ke tujuh anaknya saling pandang.

Dari mana orang ini tau nama anak-anak gue, woy?! Nggak sadar Chan mikir sambil ngelamun.

"Apa ada yang harus saya tahu tentang keluarga ini, Tuan Bang?"

Suara lembut Woojin memecah suasana. Duh Chan jadi nggak fokus kan.

"Uhmya, oke, saya paling nggak bisa menjelaskan soalnya saya juga nggak paham sama anak-anak ini maunya gimana. Kamu tau sendiri anak-anak saya ada tujuh dan nggak cukup seharian buat kenalan satu-satu. Kalau harus dijelasin begini saya nggak bisa, tapi kalau ada apa-apa kamu bisa tanya mbok Ijah, atau japri aja ke saya."

"Uhm, baik."

Oke, first impression Chan ke Woojin ini selain bikin salah fokus—terutama di bagian tahi lalatnya di dekat hidung—ternyata pembawaan Woojin kalem banget, udah gitu tutur katanya lembut kayak putri Solo. Chan nggak yakin yang begini bakal bisa menghadapi kelakuan anak-anaknya yang sebelas dua belas sama suporter Persija. Kadang Chan sendiri bingung dari mana ke tujuh anaknya meniru sifat yang nano-nano seperti sekarang. Maksudnya, kalau dilihat dari sejarahnya keluarga Mr. Bang itu kalem tapi tegas, pembawannya juga berwibawa, itu menurun sekitar delapan puluh persen ke dalam darah Chan. Sisa dua puluh persennya dia mendapat sifat bobrok dan suka ngebanyol dari kakeknya. Ya, meski kadang Chan kalau bercanda suka nggak masuk sama lawan bicaranya. Jatohnya sih jayus abis.

Kalau dilihat dari sisi Chan yang tegas, kalem, berwibawa tapi bisa konyol juga, beda lagi dengan almarhumah istrinya yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. (Inget ya gengs, sekarang sepuluh, bukan delapan tahun lalu soalnya Jeongin umurnya udah sepuluh tahun. Tahun di awal bab itu murni kegoblogan penulis.)

Nah mendiang istrinya ini tuh lembut dan penyayang banget, pokoknya kalau ketawa tuh kayak semesta sama malaikat ikut bahagia. Wanita idaman banget. Itu yang bikin Chan jatuh cinta sama mendiang istrinya dulu waktu SMA. Iya, mereka pacaran dari SMA dan puji Tuhan nggak ada drama penolakan dari keluarga Chan dengan alasan tidak sekasta—Mr. Bang itu pengusaha dan duitnya ada di setiap sudut rumah sedangkan keluarga almarhumah istrinya Chan cuma keluarga PNS sederhana.

Saking lembutnya, Istrinya Chan nggak pernah yang namanya marah atau ngambek sampai berhari-hari. Paling lama ngambek itu dua jam, habis itu nggak kuat dan pasti dua-duanya bakal minta maaf bersamaan. Itu juga yang membuat Minho sama Changbin jadi sering manja. Pokoknya menurut Minho, ibunya itu nggak ada yang bisa menggantikan walau dua puluh tujuh orang pengasuh silih berganti. Makanya semenjak ibunya nggak ada karena melahirkan Jeongin ke dunia, Minho jadi depresi banget dan benci sama adeknya. Changbin juga jadi lebih pendiam dan suka memperhatikan orang baru yang ada di lingkungannya secara intens.

Woojin yang sadar dari tadi diliatin sama Changbin pun melempar senyum hangat. Changbin hampir muntah ngeliatnya.

Cih, sok ramah banget di depan bokap gue. Begitu Changbin membatin.

NANNY [WOOCHAN] [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang