Penunjuk dari Kegelapan

7 0 0
                                    

Oleh : Nurul Hafidoh

Azan isya telah berkumandang lima menit yang lalu. Langit semakin gelap. Bintang-bintang bertebaran di atas langit sana dengan begitu menawan. Pun bulan yang senantiasa menerangi kegelapan malam yang semakin pekat.

Terlihat seorang gadis berjalan sendirian di sekitar jalanan yang sangat sepi. Hari ini adalah hari yang sangat menyita kesibukannya. Dimulai pagi hari, ia berangkat bersama teman-temannya yang tergabung dalam sebuah komunitas kepedulian sosial untuk mengunjungi daerah yang tertimpa musibah minggu lalu. Di sana, mereka akan menyerahkan dana yang telah dikumpulkan untuk membantu para korban yang tertimpa musibah tersebut. Sampai pukul setengah sepuluh saja ia berada di sana, lalu setelahnya, ia pamit untuk pergi ke kampus. Setelah menyelesaikan mata kuliahnya, masih ada lagi kegiatan yang dilakukannya. Pergi ke restoran yang tak jauh dari kampusnya untuk bekerja paruh waktu. Dan malam ini, ia telah selesai bekerja. Pulang sendirian hanya dengan berjalan kaki. Lelah sudah pasti ia rasakan. Namun, ia diajarkan untuk tidak boleh mengeluh dan harus selalu bersyukur apapun yang Allah berikan padanya.

Seorang pemuda berjalan begitu lesu. Entah kemana ia akan pergi. Semua orang tak mempedulikannya. Ayah, Ibu, serta Kakak-kakaknya sibuk dengan segala urusannya masing-masing. Perhatian dan kasih sayang yang hanya ia butuhkan dari mereka. Ia sudah sangat putus asa dan berkeinginan untuk menyudahi hidupnya saja. Toh jika ia mati pun pasti tak akan ada yang menangisinya. Semuanya sibuk dengan urusan dunia dan melupakan si bungsu yang haus akan kasih sayang.

Jalanan sangat sepi, di sini ia akan mengakhiri hidupnya. Di sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir sungai yang sangat dalam dan berarus deras. Kakinya menaiki pembatas jembatan tersebut dan siap meluncur ke bawah. Inilah akhir dari si bungsu; mengakhiri hidup dengan cara yang tak pernah Allah ridhoi. Ia tak mengerti bahwasanya bunuh diri adalah dosa dan sangat dibenci-Nya. suatu tindakan yang bodoh dan pengecut.

"Hei kau, sedang apa kau berdiri di situ? Kau sudah gila ya?"

Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan. Ia pun menoleh dan mendapati di belakangnya ada seorang perempuan berhijab coklat tengah menarik kaosnya. Mata perempuan itu melotot seperti akan keluar dari tempatnya. Perempuan itu menarik-narik ujung bawah kaos yang dikenakan pemuda itu. Bibirnya terus saja mengucapkan kata 'dosa'. Si pemuda tetap pada pendiriannya, bunuh diri, dan wajahnya kembali di hadapkan lurus ke depan sembari tangannya direntangkan.

"Apa kau tak mempunyai cita-cita?" tanya perempuan tersebut. Si pemuda kembali menoleh ke belakang. Ia bingung kenapa perempuan tersebut malah menanyakan cita-cita? Sepertinya perempuan itu sedang mengajaknya bercanda.

"Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudah pasti saya memiliki cita-cita," jawabnya sarkastis.

"Menjadi penghuni neraka?" perempuan itu tak ada hentinya untuk bertanya.

"Maksudmu?" tanya si pemuda balik. Ia tak memahami apa maksud dari pertanyaan perempuan itu.

"Cita-citamu menjadi penghuni neraka?"

"Itu bukan cita-cita, Nona."

"Lantas? kenapa kau akan mengakhiri hidupmu dengan perbuatan dosa seperti ini?"

"Tahu apa kamu tentang dosa? saya hidup juga percuma! tidak ada yang peduli pada saya. Bahkan keluarga saya pun bersikap tak acuh pada saya."

"Dengan bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah. Justru kau akan mendapatkan masalah baru di akhirat. Kau akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang telah kaulakukan di dunia. Sudah berapa banyak amal yang kau kumpulkan untuk di akhirat kelak? Kau sombong sekali ingin mengakhiri hidup hanya karena berputus asa pada hidupmu."

Si pemuda diam. Ia baru menyadari bahwa yang akan ia lakukan adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Tuhannya. Si perempuan itu ternyata benar. Amal apa sajakah yang ia dapatkan selama dua puluh tahun hidupnya? Sebuah tamparan keras untuknya. Hidup tak selamanya tentang kesenangan dan kemewahan saja. Kita diberikan hidup oleh-Nya adalah untuk beribadah, menebar kebaikan, serta melaksanakan segala perintah-Nya.

"Kenapa kau diam saja? Kau baru menyadarinya? kemana saja selama ini." Si perempuan lagi-lagi bertanya dengan sangat menusuk.

"Tolong ajari saya agama." pinta si pemuda pada akhirnya. Ini satu keputusan yang sangat tepat. Ia akan berubah menuju arah yang lebih baik. Ia ingin hidup yang sebenarnya hidup.

"Maaf. Bukannya saya menolak. Tapi, alangkah lebih baiknya jika kamu belajar agama pada seseorang yang sangat mengerti agama. Seperti kiai ataupun ulama-ulama yang paham betul pada agama."

"Di mana saya bisa belajar pada seorang kiai?"

"Di pondok pesantren. Saya akan membawa kau untuk bertemu kiai di pondok pesantren tempat saya belajar mengaji. Besok temuilah saya di depan kampus saya, di ujung jalan sana. Setelah mata kuliah saya selesai. Saya akan mengantarkanmu ke sana." perintahnya.

"Baiklah."

Perempuan itu mengangguk sebagai isyarat persetujuan. Karena hari yang semakin larut. Dia memutuskan untuk pamit pulang. Setelah mengucapkan salam, dilangkahkan kakinya menjauh dari si pemuda.

"Hei, Nona. Siapakah namamu?" tanya si pemuda dari kejauhan.

"Annisa Kasturi Naim." sahut si perempuan yang diketahui bernama Annisa itu.

***

Tepat di taman yang berada di depan salah satu kampus swasta yang bernamakan salah satu ormas Islam di Indonesia, Kevin menunggu Annisa. Terlihat gedung kampus yang bercatkan warna hijau tua. Di sekililing taman terdapat banyak tumbuhan hijau. Semua yang dilihat Kevin di sekitar kampus ini berdominasi warna hijau. Entah karena memang lambang dari organisasi itu hijau atau karena apa. Yang jelas sejauh mata memandang, yang banyak ditemukan hanyalah warna hijau.

Hari ini, Kevin akan diantar oleh Annisa ke salah satu pondok pesantren. Di sana ia akan merubah kebiasaan buruknya menjadi seorang manusia yang lebih baik. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu Annisa. Namun, gadis itu tak kunjung terlihat. Mungkin Annisa masih memiliki jadwal mata kuliah yang harus diikutinya, pikir Kevin.

Sembari menunggu Annisa, sesekali kevin membuka smartphonenya. Tak ada pesan masuk satu pun dari salah satu keluarganya. Mereka benar-benar sudah tidak memedulikan Kevin. Kevin muak.

Dari arah pintu masuk gedung besar itu, seorang perempuan bergamis hijau muda yang dipadukan dengan khimar berwarna pink, keluar. Khimarnya melambai-lambai tertiup angin. Senyum lebar mengembang dari bibir tipisnya.

"Assalamu'alaikum. Maaf menunggu lama ya, tadi dosennya ngambil jam lebih lama. Jadi, agak lama selesainya. Maaf ya--"

"Kevin. Kevin Al Syarif Rizki."

"Oh, iya maaf ya Kevin." ucapnya. Napasnya tersengal-sengal akibat tadi berlari-larian.

"Iya tak apa. Jadi, sekarang kau mau mengantarkanku?" tanyanya to the point.

"Oke, tapi tunggu saya mau minum dulu." Dikeluarkannya sebotol minuman dari dalam tasnya. Annisa mulai meneguk minuman yang selalu ia bawa dari rumahnya.

Setiap hal yang Annisa lakukan menjadi perhatian Kevin. Sebelum mengambil minuman, Annisa mendudukan dirinya di tempat yang tadi di duduki oleh Kevin. Setelah itu, ia melihat Annisa merapalkan sesuatu dari mulutnya sebelum bibir botol itu menempel pada bibir Annisa. Setaat itu kah Annisa pada ajaran agamanya? sampai-sampai hal remeh saja ia jalankan sunnahnya. Sosok perempuan yang jarang ditemui pada zaman sekarang.

"Ayo, Vin!" ajak Annisa yang kini sudah berdiri dari duduknya.

Kevin hanya mengangguk. Kedua anak manusia itu mulai melangkahkan kakinya menuju tempat yang dipenuhi berkah para kiai. Mereka berdua pergi ke pondok dengan mengendarai mobil milik Kevin. Dalam perjalanan, yang tercipta hanya keheningan. Tidak ada percakapan apapun. Sekadar basa-basi perkenalan saja tak dilakukan oleh Annisa ataupun Kevin. Annisa hanya diam. Matanya tertuju pada pemandangan di luar mobil. Sedangkan Kevin, ia sibuk dengan kemudinya.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama. Akhirnya Annisa dan Kevin sampai di pondok pesantren tempat biasa Annisa mengaji. Di sana, tepatnya di masjid yang terletak di depan asrama putra, terdapat banyak santri yang telah selesai melaksanakan sholat dzuhur. Semua santri yang ada di pondok ini, tidak ada yang hanya berdiam diri. Semuanya melakukan aktivitas.

"Abah Kiai sudah menunggu kedatangan kalian berdua. Silakan masuk." ucap salah seorang santri yang tiba-tiba sudah berada di depan Annisa dan Kevin. Santri itu ditugaskan oleh Abah Kiai untuk menyambut kedatangan Kevin dan Annisa.

"Oh iya, terima kasih."

"Apa kau memberitahukan kedatanganku pada Abah Kiai?" tanya Kevin. Pasalnya ia heran karena telah disambut layaknya tamu penting saja.

"Saya memberitahu Ibu Nyai. Sepertinya Ibu menyampaikannya pada Abah."

"Oh seperti itu."

Kini Kevin dan Annisa sudah berada di ruangan tempat Abah biasanya menerima tamu. Ruangan itu bercat hijau. Banyak sekali kaligrafi terpajang pada ruangan itu. Juga ada rak kitab-kitab dan buku-buku. Nuansa ruangannya sangat islami sekali.

"Maaf, Abah. Ini teman saya. Dia mau belajar memperdalam agama Islam di sini. Mohon bimbingannya, Abah." ucap Annisa sopan.

"Njeh, Annisa. Kamu sekarang silakan pergi ke ndalem. Teruskan hafalanmu pada Ibu." Perintah Abah Kiai. Annisa menurut. Ia segera pergi ke ndalem untuk melanjutkan hafalan Al-Qur'annya kepada Ibu Nyai.

Setelah kepergian Annisa. Kini di ruangan itu hanya ada Abah Kiai dan Kevin saja. Kevin hanya menunduk. Ia tidak biasa berada di tempat seperti ini.

"Nak, Kevin. Ayah, Ibu sehat?" tanya Abah mengawali keheningan yang mendera.

"Saya tidak tahu, Bah. Saya sudah tidak ada komunikasi sama mereka."

Abah kiai tersenyum mendengar jawaban Kevin. Beliau sudah mengetahui masalah yang dihadapi Kevin dari istrinya. Tentu saja dari Annisa.

"Cobalah buang egomu, Nak. Carilah kabar berita mereka. Bagaimanapun juga mereka itu orang tuamu."

"Maaf, Abah. Saya ke sini mau belajar agama. Tolong, jangan sebut mereka lagi."

Masalah keluarga kevin begitu pelik sekali. Hidupnya dipenuhi dengan kesemuan duniawi. Harta, harta, dan harta yang selalu dinomor satukan keluarganya. Ibunya, selalu sibuk pada bisnisnya. Ayahnya, rajin sekali pergi ke luar negeri untuk menemui klien-kliennya. Dan Kakak-kakaknya, sibuk pada keluarganya masing-masing. Tinggal Kevin seorang diri, terlantar tanpa pernah mendapatkan kasih sayang. Sedari kecil, ia dirawat  oleh pengasuhnya. Sungguh miris sekali kehidupan seorang Kevin Al Syarif Rizki.

"Saya mengerti. Baiklah. Kamu silakan tinggal di sini selama yang kamu mau. Di sini kamu akan mendapatkan ketenangan jiwa. Perbaikilah semuanya sekarang. Allah masih menyayangimu. Dia mengirimkan Annisa untuk menggagalkannya."

"Abah mengetahuinya?"

Abah Kiai hanya tersenyum. Senyum yang sangat meneduhkan siapapun yang melihatnya.

***

Hari-hari yang dijalani Kevin di pesantren begitu padat. Di mulai dini hari, ia sudah bangun untuk menunaikan ibadah sholat tahajjud. Setelah itu, Kevin bermuroja'ah sampai azan subuh berkumandang. Saat matahari telah menampakkan cahayanya, kegiatan yang dilakukan Kevin adalah membersihkan sekitaran area pesantren. Di waktu luangnya, ia menghafal hafalan kitab yang akan disetorkan pada Abah Kiai. Semua yang dilakukan benar-benar bermanfaat untuk dirinya. Untuk perubahannya hidupnya.

Semua masalah yang berada di rumah, hilang seketika tak berbekas. Yang diingatnya selalu adalah hafalan. Sikapnya perlahan berubah menjadi sangat sopan dari yang dulu slengekan. Allah benar-benar memudahkan siapapun yang bersungguh-sungguh.

"Aku senang melihat perubahanmu sekarang, Kevin." ujar Annisa. Mereka berdua tengah duduk pada bangku kosong yang terletak di area dekat asrama putri.

"Alhamdulillah. Terima kasih, Annisa." Tak bisa dipungkiri, Annisa lah yang membawanya menjadi pribadi yang seperti sekarang ini. Annisa berperan penting dalam proses perubahan Kevin.

"Kamu, tidak mau mencoba berdamai dengan keluargamu? Pulanglah Kevin. Ajak mereka seperti dirimu." Annisa mencoba membujuk Kevin, lagi. Sudah beberapa kali Annisa membujuk Kevin namun hasilnya selalu saja sama; Kevin menolaknya. Entah kali ini Kevin akan tergerak hatinya atau justru masih saja sekeras batu.

"Aku belum siap, Annisa. Aku takut mereka menolakku."

"Kamu belum pernah mencobanya, Kevin. Sudah hampir 6 tahun kamu berada di sini. Ilmu Agama kamu pun kurasa sudah matang. Cobalah, Kevin. Mereka membutuhkanmu. Mereka membutuhkan cahaya untuk kembali pada-Nya."

Kevin diam memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika ia benar-benar memutuskan untuk pulang ke rumah. Kejadian masa lalu berkelibat pada otaknya. Tidak ada yang mengetahui selain ia dan Tuhannya. Setiap di dalam doanya ia selalu menyelipkan harapan-harapannya. Harapannya adalah ingin keluarganya menjadi seperti keluarga teman-temannya. Hidup sederhana tetapi limpah akan kasih sayang dan cinta. Meskipun di luar, orang-orang mengiranya ia sangat membenci keluarganya, akan tetapi, di setiap sujudnya buliran bening itu selalu jatuh dari sudut matanya. Di luar terlihat kuat, nyatanya di hadapan Tuhannya ia sangat lemah.

***

Setelah berperang dengan batinnya. Kini Kevin berada di depan rumah yang sangat besar dan luas. Gerbang menjulang menutupi rumah bercat abu-abu di hadapannya. Setelah mendapatkan segala bujuk rayuan dari Annisa, akhirnya Kevin memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
Sepi sekali daerah di sekitar rumahnya. Semua tak memiliki jiwa sosial yang tinggi seperti di pesantren tempatnya belajar.

Teett . . . Teett . . . Teett . . .

Suara tombol itu menggema membuat satpam penjaga rumahnya terperanjat kaget. Ia membuka pintu gerbang itu dan melihat seseorang yang datang adalah anak dari tuannya yang sudah menghilang hampir 6 tahun. Antara percaya dan tidak percaya mata Kusno - satpam di rumah Kevin- melihat Kevin berada di hadapannya. Ada yang berubah dengan penampilan Kevin, membuatnya melongo. Pasalnya, sebelum menghilang, Kevin selalu mengenakan pakaian yang kekinian. Namun kini, tuan mudanya itu mengenakan pakaian yang menurutnya seperti bapak-bapak desa. Koko putih, sarung hijau serta peci songkok yang terdapat logo ormas Islam.

"Assalamu'alaikum, Pak Kusno." sapa salam Kevin pada Kusno. Bibirnya menampilkan senyum terbaiknya.

"Wa wa wa'alaikumussalam, ini Mas Kevin?" tanya Kusno.

"Iya, Pak." sahut Kevin singkat. "Oh iya, Ayah sama Ibu ada di rumah, Pak?"

"Ada, Mas. Kebetulan mereka hari ini tidak ada kegiatan apapun di kantor. Mas Saka dan Mba Saras juga ada di sini." jelas Kusno.

Entah suatu kebetulan atau memang sudah rencana-Nya. Semua anggota keluarganya sedang berkumpul di rumah megah nan mewah ini. Kevin segera melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu setelah sebelumnya meminta izin terlebih dahulu kepada Kusno untuk masuk ke dalam rumah.

Kakinya bergetar hebat. Telapak tangannya sudah dipenuhi dengan keringat. Semua mata menatap Kevin. Kevin kini berada di ruang tengah tempat semua anggota keluarganya berkumpul.

"Sudah bosan tinggal di pesantrennya, Vin?" Saka memulai pembicaraan.

"Tidak, Mas. Kevin tidak pernah merasa bosan selama berada di sana. Justru Kevin sangat nyaman berada di sana-"

"Lantas kenapa kamu pulang?" Bima memotong ucapan Kevin. Dia adalah Ayah kandung Kevin.

"Allah yang membawaku untuk pulang, Yah." jawab Kevin sesopan mungkin.

Dari samping Bima duduk, Lastri - Ibu Kevin- menatap Kevin dengan mata penuh kerinduan. Selama Kevin tak ada di rumah, ialah satu-satunya yang cepat menyadari ketidak hadiran Kevin di rumah.

"Ayah, Ibu, apa kabar? Kevin sangat merindukan kalian berdua. Terimalah Kevin kembali berada di tengah keluarga ini. Kevin sekarang bukan anak nakal lagi, Bu. Kevin sudah berubah. Ibu lihat kan penampilan Kevin sekarang?" ucapnya agak terbata. Buliran bening itu sudah memenuhi kelopak matanya.

Lastri menatap Kevin lama. Air matanya sudah jatuh karena tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar merindukan si bungsunya itu.
Saras yang melihat sang Ibu menangis, tak tega dan langsung memeluk malaikatnya.

"Ada yang berbeda?!" gumam Kevin pada dirinya sendiri.

"Iya kamu benar, Vin. Sekarang sudah berbeda dari 6 tahun yang lalu. Saat Ayah tahu kamu mondok, kami menyadarinya, Nak. Ayah menyesal karena telah mengabaikanmu. Ayah menyesal karena telah jauh dari-Nya."

Tidak ada yang mengetahuinya. Bahwa selama Kevin berada di pesantren, Keluarganya pun bersusah payah mengubah kehidupannya. Mendalami ajaran-Nya. Mencoba perlahan menjadi ke arah yang lebih baik. Mengurangi sedikit demi sedikit segala kefanaan duniawi yang dulu sempay menguasai hawa napsu.

"Dengan bantuan Kiai Aqil, kami mengubah segala kebiasaan-kebiasaan buruk itu."

"Kiai Aqil?" tanyanya spontan. Ia semakin bingung kenapa Kiai Aqil - Gurunya di pesantren- disebut oleh Ayahnya.

"Guru kamu di pesantren, kan? Beliau juga guru kami, Nak. Teman Ayah yang mengenalkannya pada beliau." terang Bima.

"Jadi, Ayah juga mengetahui kalau hari ini Kevin pulang?"

"Betul sekali. Kiai Aqil yang memberitahukannya pada Ayah. Oleh sebab itu, kami sengaja meniadakan kegiatan hari ini untuk menyambut kedatanganmu." ucap Kusno tersenyum.

Kevin langsung menghambur ke pelukan Bima. Ia ingin mencurahkan semua kerinduan yang telah lama tertunda dengan memeluk pria yang mulai renta ini. Tangis bahagia memenuhi ruang bernuansa warna putih gading itu. Lastri, masih dengan sesenggukan, mencoba menghampiri suami dan putra bungsunya. Saka, tersenyum melihat si bungsu akhirnya kembali dengan perubahan yang tak pernah disangka-sangka. Pun dengan Saras, ia tak bisa menyembunyikan senyumnya. Serta ipar Kevin pun turut bahagia dengan kedatangan si bungsu.

Maha baik Allah pada setiap makhluknya. Nikmat Tuhan yang mana lagi yang kau dustakan. Kevin sangat-sangat bersyukur sekembalinya dari pesantren, keluarganya menyambut kehadirannya begitu hangat. Harapan itu terealisasi di hadapan matanya kini. Harapannya yang ingin keluarganya menjadi keluarga harmonis menjadi nyata tersaji. Tidak ada siapapun yang bisa menebak takdir Allah. Sekalipun peramal ulung yang begitu hebat tak akan mampu mengetahui segala bentuk rencana-Nya. Dzat pembuat skenario terindah.

"Annisa, Terima kasih. Kini mimpi sederhanaku terpampang jelas di depan mataku. Terima kasih kau telah menjadi penujuk dari kegelapanku." Guman Kevin dalam hatinya. Wajahnya tak berhenti mengeluarkan lengkungan tipis.

Tamat

Cirebon, 21 Februari 2019

HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang