✧ Chapter VIII

596 125 20
                                    

Sorry for typo(s)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sorry for typo(s)

.

.

.

Pada awal kedatangan, Hendery sama sekali tidak memiliki niat untuk datang menghampiri. Ia hanya berdiri di depan pertokoan, dengan memakai mantel hitam. Mengamati dalam diam, memperhatikan dalam diam.

Semula, ia menikmati apa yang tengah dilakukannya. Mengamati setiap gerak-gerik pemuda di seberang, dengan senyuman tipis yang kadang kala terpatri di wajahnya. Ia juga sesekali terkekeh ketika melihat pemuda itu tersenyum menyapa pelanggannya.

Semula. Sebelum seorang lelaki lainnya datang dengan membawa bunga daisy. Hendery terdiam di tempatnya. Rahangnya mengeras ketika melihat Xiaojun—pemuda yang ia perhatikan sedari tadi—terlihat terkejut. Jelas Hendery paham kenapa. Itu karena lelaki itu yang datang dengan membawa bunga daisy.

Hendery masih enggan untuk menghampiri, karena, belum saatnya untuk mengeluarkan taring. Ia bergeming sembari terus memperhatikan. Toko itu berjendela kaca, dan Hendery bisa dengan sangat jelas memperhatikan.

Xiaojun yang terlihat gugup, Hendery melihatnya.

Hendery tidak tahu mengapa hatinya terasa terbakar ketika melihat cuplikan yang tengah terjadi di seberang jalan itu. Hendery tidak paham mengapa emosinya spontan tersulut ketika Xiaojun memandang lelaki lain dengan tatapan memuja. Jangan lupakan rona merah yang menghiasi pipi tirusnya, juga senyuman tipis—namun itu sangat jelas sekali, sarat akan perasaan yang senang.

Semua juga tahu, apa yang Hendery rasakan.

Musim gugur hanya memiliki waktu yang sebentar untuk tetap bertahan. Udara dingin masih tetap menyelimuti kota. Prediksi cuaca tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Sebab, tadi pagi langit terlihat biru walau hanya terdapat sedikit awan—terlihat cerah. Dan kini, kelembapan udara menurun dan hujan turun begitu saja.

Lelaki itu keluar dengan begitu tergesa-gesa. Meninggalkan Xiaojun duduk di kursinya dengan kebingungan.

Seringai tipis muncul di wajahnya. Hendery tentu tidak bodoh untuk menangkap gelagat aneh yang ditampilkan lelaki itu. Ia dapat dengan jelas membacanya. Maka dari itu, ia tidak mengalihkan fokusnya dan terus menatap mereka, hingga lelaki itu memutuskan untuk pergi.

Kun tidak tahu apakah pertemuan dengannya adalah sebuah ketidaksengajaan, tau mungkin sebuah kesengajaan yang telah tertulis di skenario Tuhan. Ia bahkan tidak mengira bahwa pertemuan itulah yang membuatnya merasa seperti dikejar oleh bayang-bayang kesialan.

Baginya, bertemu dengan anak itu—Yangyang—adalah sebuah kesialan. Bocah itu terus saja mengganggunya. Mengikutinya kemanapun ia pergi, dan menempelinya di tempat umum seperti anak kecil. Kun sangat risih, tentu saja.

DAISY // HENXIAOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang