01° 特 異 性

1.4K 191 292
                                    

°singularity :::

Is everything still visible?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Is everything
still visible?

Dia memiliki korenah yang sedikit eksentrik, selalu tidak terbaca. Adapun sebagaimana orang yakini, bahwa mata adalah peranti untuk merekah sebuah titik otentik dari rasa, hingga hayatnya telah mencapai delapan belas dengan seragam nyaris lusuh tak tersetrika, tidak seorang pun yang pernah paham akan dirinya. Yang lebih suka hujan daripada air; pembenci terang tetapi pecinta matahari.

Jeon Jungkook hanyalah secercah seni dari satu di antara partikel semesta.

Waktu itu, ketika baskara menarik langit, memberai pendar lebih-lebih demi segumpal terang kemudian mengagungkan diri selayak mahkota di atas kepala---itu barangkali sedikit mengelupasi kulit, kalau saja lupa tidak mengolesi sunblock karena bangun terlambat---robekan kisah ini akan dimulai. Jungkook menutup tirainya selepas menangkap sebilah lengkung senyum dari sang surya, sempat tergegau melihat pria bermata empat, bening sepasang, mencekal badan sabuk, diputar dua inchi ke belakang lalu berdeham sok muda di depannya.

"Jeon, kau mendapat nilai delapan pada ujian bahasa inggrismu," tuturnya menyerahkan selembar kertas putih bercoret-coret merah dan hitam. "Delapan dari seratus."

Jungkook tersenyum. Berbinar-binar, senang sekali ketika menerimanya.

"Mr, kenapa dia tidak remedi? Nilainya yang paling jelek di seluruh sekolah."

Jungkook masih tersenyum. Menekuri lembar jawaban lumayan kusutnya, sedikit koyak pada ujung kiri, tapi itu tidak apa-apa. Ada banyak garis merah di atas angka deret kiri. 5, 6, 7, 9,...42, 46, yeay benar empat.

"Tidak perlu, kalaupun remedi, dia akan tetap benar tiga atau empat."

Jungkook tetap tersenyum, semakin tumpah ruah, dan, manis sekali.

"Dasar sinting, punya nilai jelek masih bisa tersenyum!"

Tetapi, Jungkook masih tersenyum. Memeluk lembar jawabannya seolah ditenggelamkan dalam lautan afeksi. Jungkook suka sekali. Suka sekali dengan warna merah yang gurunya berikan begitu banyak. Jungkook suka merah, dia suka sekali.

Dia bukan siswa cerdas. Bahkan seringkali dipanggil bodoh. Ingin sekali dia hirau, namun tidak bisa. Dia hanya terlalu putih. Mendapat sepuluh dari seratus di materi ekonomi adalah pencapaian tertingginya. Tak ada seorang pun yang ingin bertanya, tak ada seorang pun yang ingin tahu, tentang bagaimana dia? Tentang mengapa dia? Tentang siapa dia? Sejujurnya, Jungkook ingin mengetahui mengapa wajah-wajah teman sekelasnya tidak pernah terlihat ramah?

Maka memotong langkah mengubah simetri arah tubuh, sembilan puluh derajat sejajar tebing yang memakan refleksi laut, Jungkook dalam harmoni sepulang sekolah seraya menggendong ransel hitam yang sebenarnya sudah mirip sampah daur ulang. Warnanya pudar, jahitan benang yang hendak melarikan diri, dan lubang sebesar pipa paralon di dudukannya---paling sering dicurangi teman kalau-kalau alat tulisnya jatuh. Bodohnya, Jungkook tahu itu, tetapi dia tidak mengerti harus bagaimana.

Siang itu bagi Jungkook terang sekali. Sorotnya sungguh mencakar iris, meremas-remas retina sampai terluka. Dia akan menyipit. Jungkook tidak suka lantaran tidak bisa melihat, sakit sekali kalau kelopak dibuka. Dia tidak lagi hidup nantinya.

Membuat payung tangan agar tetap bisa melihat, Jungkook terus berjalan menampar arah eksemplar ombak, menaiki tanjakan jalan sembari menjaga agar sol sepatu tidak lepas, sedikit banyak mendesis sebab peluh mengintip minta sejuk. Tiada angin, Jungkook jadi berhenti, merotasikan tungkai menatap laut lalu bergilir ke bawah---limpitan pasir putih luas yang pernah dirinya hitung, ada kelompok voli pantai di sana, sedang bermain bersama-sama, terlihat bahagia dan menyenangkan.

Kelompok? Bersama-sama? Bahagia dan menyenangkan?

Berarti harus ada teman.

Teman.

Teman itu bagaimana? Tidak terlihat ramah seperti temannya di sekolah?

Teman. Di sekolah? Itu teman?

Jungkook bahkan tidak tahu semua nama teman-temannya. Nama guru-gurunya. Jungkook hanya tahu, kalau Jeon Jungkook adalah namanya.

"Hei! Jungkook! mau main bersama, tidak?"

"Bung! Dia tidak akan mendengarmu, bodoh."

"Kau menghitung pasir saja, ya, idiot!"

Jungkook hanya tahu kalau salah satu dari mereka melambaikan tangan ke arahnya, kemudian didorong oleh pemuda satunya.

Apa kalian memanggilku?

Mendekat selangkah, nyaris tepat pada ambang-ambang jalan dari atas tebing. Pemuda manis itu barangkali akan menjadi sibiran daging dengan darah yang merantau ke laut. Bebatuan karang di bawah tebing bukan sesuatu yang eksak untuk dimain-mainkan, sebab Jungkook manusia normal, dia kembali menarik langkah. Netranya menancap pada permainan di bawah, irasnya diinklusif hasrat ingin bergabung, meletup-letup hingga akan meledak.

Dia sudah berkali-kali menggulung hatinya supaya mengerti, bahwa selamanya dia tidak akan mempunyai teman.

Teman?

Jungkook tidak bisa berkenalan. Tidak bisa bersosialisai. Teman? Teman? Teman?

Namun, tatkala ujung hatinya mulai untuk teriris, di mana dia sedang dihujani oleh harapan, telinganya berkedut, membangkitkan tempo debaran dada, dan sesuatu terdengar begitu nyata.

"Aku temanmu, Jungkook."

Sehabis suara itu mendadak merembes ke koklea, Jungkook merasa dia direngkuh. Itu hangat. Hangat sekali. Lembut. Teman? Jungkook punya teman.

Semenjak dulu, Dia memang selalu mengikutinya, kemanapun, dimanapun, dan kapanpun. Sesungguhnya, Jungkook mengetahuinya, tetapi tidak bisa bertanya, dan enggan untuk memikirkannya. Yang Jungkook tahu, Dia berbeda, teman barunya ini berbeda (atau barangkali pertamanya). Menjangkau kosong indah di atas sana, mengilap semirip mutiara-mutiara laut, menguar semerbak yang lebih sempurna dari parfum termahal, sehangat megahnya musim panas, selembut gelendong salju yang meruah. Indah sekali. Manalagi ketika Dia membentang membingkai dirgantara, menyibak udara, untuk membawanya menikmati ketenangan.

Mereka di bawah sana tidak tahu. Teman-teman di sekolahnya tidak tahu.

Jungkook bisa mendengar apa yang tidak mereka dengar. Namun, Jungkook tidak bisa mendengar apa yang mereka dengar. Uniknya, Jungkook juga bisa melihat apa yang tidak bisa mereka lihat.

Hanya ingatlah satu hal, Jeon Jungkook tidak pernah berfantasi. []

LILYANGEL ©2019, MONZAEVTjjk ver

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

LILYANGEL ©2019, MONZAEVT
jjk ver.
Kalea

LILYANGEL°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang