BAB 21

21 4 0
                                    

Beberapa pasang mata saling mengintimidasi yang lainnya. Pagi ini sejak di gerbang sekolah hingga lorong-lorong kelas suasana SMA Karya Bhakti tampak seperti kumpulan para detektif. Rumor mengenai kebocoran kunci jawaban sewaktu ujian kemarin semakin santer terdengar, terlebih saat kabar terbaru muncul dan menyoroti kelas sebelas, semua yang berada di sana fokus mengintai siapa saja yang memasuki kelas.

Hal itu terasa juga bagi Fara dan Gandhi datang bersamaan pagi ini. Sejak papanya masih dinas di luar kota, ia selalu berangkat bersama Gandhi. Fara mulai berbisik pada Gandhi saat mereka baru melewati lorong-lorong kelas.

"Kamu lihat ada yang aneh nggak?" Gandhi memerhatikan sekelilingnya.

"Iya, mereka kenapa pagi-pagi gini?" kata Gandhi, "kamu buka grup chat semalam?"

Fara menggeleng. "Jangan-jangan ..."

Mereka berdua langsung membuka grup chat kelas, dan benar sudah banyak pesan yang belum mereka baca. Mulai dari sebuah _screenshoot_ entah dari siapa yang intinya pelaku tersebut berasal dari kelas sebelas. Berbagai komentar muncul di sana, mulai menyalahkan dan saling curiga ternyata telah terjadi sejak semalam. Kini mereka mengerti kenapa semua orang memiliki tatapan itu.

"Wah parah nih," ucap Fara setelah membaca semuanya.

"Siapa yang nggak punya malu ngelakuin kayak gini?" kata Gandhi kemudian duduk di salah satu kursi panjang di depan ruang kelas sepuluh.

"Aku yakin nih, Gan, nanti kalau nilai ujian tengah semester kita keluar bakalan lebih sadis daripada sekarang."

Tidak lama kemudian bel tanda masuk berbunyi tepat di pukul tujuh pagi. Semua murid yang awalnya duduk di gazebo, berlalu-lalang di lorong kelas, dan yang bermain basket berhenti meninggalkan lapangan.

Saat memasuki kelas pun kegiatan itu berlanjut, ada beberapa kelompok siswi yang memandang dengan pandangan tak enak pada siswa lain. Dalam hal ini semuanta perlu di curigai termasuk yang paling pintar sekalipun.

***

"Ra," panggil Gandhi.

Fara merunduk sejak guru memberikan tugas untuk dikerjakan, sedangkan buku tulisnya masih kosong tak tertulis apapun.

"Fara, hei," Gandhi menggoyangkan bahunya.

"Iya," Fara terperanjat membuat suaranya terdengar hingga satu kelas karena mengira dirinya sedang di panggil oleh guru. Seisi kelas menoleh padanya, Fara terdiam sejenak, lalu membungkukkan tubuhnya dan meminta maaf.

"Kerjain, malah tidur," kata Gandhi berbisik.

"Ini pulang masih lama, ya? Ngantuk," Fara menutupi mulutnya yang menguap.

"Baru jam satu siang, Ra."

Dengan menahan kantuk kembali datang, Fara mencoba mengerjakan satu soal. Baru membaca soalnya saja sudah membuatnya ingin merebahkan diri di kasur. Waktu terasa lama berlalu saat pelajaran yang tak di sukai masih berlangsung. Untuk membunuh kebosanan ini Fara memerhatikan sekelilingnya. Menatap langit-langit kelas yang jauh dari jangkauan tangannya, seperti ... seseorang di sampingnya saat ini. Begitu dekat tapi jauh.

Tangan Fara menopang dagunya tapi tetap menjaga posisi duduknya agar tak terlalu miring ke kanan, supaya ia bisa melihat Gandhi dengan leluasa tanpa rasa canggung. Kedua alisnya yang menyatu karena di pakai untul berpikir, tangan kanannya yang sibuk menuliskan apa yang tergambar dalam pikirannya. Serta mulut yang berkomat-kamit membaca dan menghitung apapun yang tertulis dalam buku di hadapannya. Sangat dekat, tapi jauh.

Bel berbunyi tanda pelajaran telah berakhir. Dengan terdengarnya bunyi bel itu terhenti pula kegiatan Fara untuk menghilankan kebosanannya. Semua siswa bersorak riang mendengarnya, dan segera mengemasi semua buku.

"Woi, nilai UTS udah keluar," teriak salah satu siswa dari arah pintu.

Semua yang ada di kelas berseru dan bergegas menuju papan pengumuman. Sementara Fara dan Gandhi masih membereskan buku-bukunya dengan tenang.

"Siap-siap nih, Gan, kuping kita bakal penuh sama prasangka-prasang."

"Tinggal tutup telinga aja dan cari bukti sebanyaknya," ujar Gandhi yang menutup tasnya.

Mereka berdua lalu keluar menyusul siswa lain yang sudah memenuhi papan pengumuman. Deretan nama telah terjejer di sana, yang menjadi fokus utamanya adalah siswa yang masuk sepuluh besar karena menurut mereka yang menduduki sepuluh besar adalah kandidat terkuat siapa yang melakukan kecurangan itu.

Fara sedikit bernapas lega karena dirinya hanya bisa menembus dua puluh besar yang bukan termasuk target. Tetapi lain halnya dengan Gandhi meskipun ia tetap masuk sepuluh besar dan menempati peringkat pertama, ia masih tetap akan menjadi sasaran empuk untuk di pergunjingkan.

"Gandhi, kamu lihat sendiri kan, mereka ini bukan nama-nama baru dari kalangan dua puluh besar, pasti akan sulit buaf cari pelakunya."

"Kamu nggak curiga kalau aku pelakunya?" ujar Gandhi.

"Ih, ya enggaklah, mana mungkin kamu curang."

"Semua bisa terjadi, Ra, aku juga manusia bisa khilaf," ujar Gandhi.

"Udah deh, ngomong apa sih, kamu gak  ada tampang mencurigakan kok."

"Justru itu, Ra, biasanya pembunuh akan terlihat sama dengan korbannya, nggak mungkin tampil mencolok."

"Ya serumit itulah kira-kira kedepannya. Sebagai calon, ketua OSIS untuk satu tahun ke depan, kamu harus semangat dan optimis buat cari semua buktinya. Jangan sampai kendor semangatnya sampai lulus gitu.

"Siap komandan, semua dukungan penuh ini akan sangat berati bagiku."

Fara tertawa kecil. "Emang lagi latihan baca dialog drama?"

"Iyalah, masa lagi latihan senam."

Mereka saling menertawakan hal-hal yang bisa di sebut tak lucu bahkan aneh sekalipun.

Tak jauh dari mereka berdiri, seorang siswa sedang memerhatikan mereka dari jauh. Melihat situasi yang ada, sambil berharap permainan ini masih berlanjut.

***

TBC. ❤

Simple Past #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang