Begin again.

9.2K 425 50
                                    

Solitude.

Tanganku menyapu rimbunan mawar beraroma segar dengan perlahan. Meraba dengan sentuhan lembut di telapak tanganku, kelopak-kelopak mawar saling bersinggungan dengan tanganku. Membawa sebuah kedamaian batin yang membuatku lebih baik.

Pagi seperti sebelumnya, yang entah kenapa membuatku bosan dengan kegiatan setiap hari yang monoton. Bangun, menyiapkan sarapan untuk Manendra, lalu berdiam diri di rumah saat suamiku itu pergi bekerja. Menunggunya pulang ke rumah, dan setelah dia pulang, aku akan menyambutnya hangat. Penuh senyuman dan cinta. Lalu semua itu berulang dari hari ke hari. Berbulan-bulan hingga aku merasa bosan di sini, tidak melakukan apapun dan tidak pernah keluar dari gerbang rumah ini. Terkekang dan merasa tidak nyaman.

Bangun dari koma karena kecelakaan sehari setelah menikah nyatanya membuatku merasakan sebuah perasaan aneh tentang tidak percaya dengan semuanya. Lalu ketidakpercayaan itu membuat pertanyaan-pertanyaan muncul begitu saja. Seperti, apa benar aku memang seharusnya berada dalam lingkup seperti ini? Apa benar aku ini yatim piatu terbuang yang secara tidak sengaja bertemu dengan si Direktur perusahaan tambang besar bernama Manendra Nawasena?
Dan mungkin puluhan pertanyaan lainnya yang sibuk terjalin di dalam otakku tanpa mau kukeluarkan untuk ditanyakan pada siapapun di rumah ini.

Kuhela nafasku keras, lalu berjalan kembali menuju gazebo di antara rimbunan mawar berduri itu. Menatap ke sekeliling dengan lekat dan menghela nafas lagi, kali ini lebih pelan.

Tiba-tiba hembusan nafas keras dari arah kananku membuat aku tersenyum samar. Entah sudah berapa kali dia melakukannya. Lalu tiba-tiba kecupan kecil mampir di pipiku hangat.

"Elaksi sayang."

Sudah kuduga, dia selalu menyapaku dengan sapaan yang sama setiap harinya. Aku menoleh dan langsung bertatapan dengan wajahnya yang hanya sejengkal dari wajahku. Merasakan bagaimana nafasnya yang berbau mint terhirup indera penciumanku.

"Hai." jawabku lirih.

Dia makin tersenyum lebar, dan merangkulku mesra masuk ke dalam pelukannya. Dia mengecup puncak kepalaku dan makin mengeratkan pelukannya.

Setiap siang, dia akan pulang ke rumah jika tidak ada rapat penting di perusahaan tempatnya bekerja. Makan bersamaku, mengobrol hingga dia pergi bekerja kembali.

Manendra Nawasena itu tampan, hot, seksi, pintar, perhatian, romantis. Tapi disamping itu, dia terlalu overprotektif padaku, tidak boleh melakukan ini itu tanpa pengawasan dari orang suruhannya, dan dia agak cukup menyeramkan sesekali waktu. Misalnya, saat aku menolak perintahnya. Dia akan berubah jadi Manendra yang membuatku tidak nyaman. Dari situlah aku mulai selalu menuruti segala perintahnya. Semua. Dan aku merasa seperti dikendalikan.
Ingatanku memang hilang, tapi tidak dengan perasaanku.

"Bagaimana kalau kita makan siang?"

Aku agak menjauh dari pelukannya, lalu menyunggingkan senyuman lebar dan mengangguk patuh.

"Apa aku harus memasak untukmu?" tanyaku.

Kami beranjak berdiri, dia menggandeng tanganku erat dan berjalan beriringan menuju dapur yang jaraknya cukup dekat dari taman belakang.

"Tentu, masakanmu yang terbaik. Elaksi sayang."

Dia selalu memintaku memasak untuknya, menyuapinya, merelakan jari-jariku selalu dikulum mulutnya hingga berliur.

Saat tiba di dapur, aku mulai mengeluarkan bahan-bahan masakan dari lemari pendingin. Memutuskan untuk memasak sayur ayam cincang dengan jamur. Membiarkan Manendra memperhatikan gerak-gerikku memasak, menopang dagunya dengan tangan dan melihatku lekat kemanapun aku bergerak.

SOLITUDE [Move To Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang