We're not Alone.

4.8K 357 20
                                    

We're not alone.

Nyatanya, kita memang tidak sendirian di dunia ini. Berbagai makhluk hidup dalam satu rumah bernama bumi, berjejal memenuhi permukaannya. Dan aku adalah salah satu orang yang menghuni diantara milyaran makhluk hidup, tapi merasa sendiri. Miris.
Oh entahlah, aku sudah mengatakan puluhan bahkan ribuan kali bahwa aku merasa sendiri. Aneh, bingung dan berdelusi macam orang tak waras yang selalu berteriak di setiap malamnya.

Pagi ini, Manendra berangkat lebih pagi dari biasanya. Memaksaku untuk bangun pagi juga dan memasak untuknya. Memberi kecupan selamat pagi, dan tak lupa senyuman serta ucapan 'Aku mencintaimu juga'.
Tapi dia bertingkah aneh saat sarapan tadi, hanya diam dan makan tanpa disuapi, juga matanya menyorot tajam ke segala arah. Mungkin karena semalam. Mungkin juga karena malam-malam sebelumnya. Entahlah.

Hilang ingatan ternyata membuatku susah setiap malamnya, mimpi buruk, dan delusi berlebihan. Aku mengalaminya hampir setiap hari, hampir.

Bayangan tentang orang mati bersimbah darah dengan muka mengerikan silih berganti datang di siang bolong. Aku tidak takut, tidak merasa takut untuk bayang-bayang itu. Lagi-lagi aku tidak tahu kenapa, tapi kadang aku juga merasa panik juga. Kenapa itu sering terjadi padaku.

Beberapa waktu lalu, kami (Aku dan Manendra) pergi ke dokter, memeriksakan kondisiku yang makin parah tiap harinya. Dan diagnosa dokter mengatakan aku hanya stress dan mengalami depresi pikiran.

Dan malam tadi yang paling parah, aku mencekik suamiku sendiri dalam tidurku. Bukan tidur, aku sadar aku mencekik lehernya keras dengan amarah yang tanpa alasan. Dan membiarkan dia mencengkram lenganku tak kalah eratnya. Lalu setelah itu, aku sadar bahwa dia suamiku. Apa yang merasukiku? Setan kah? Aku bukan penganut aliran sesat maaf saja.

Alhasil, pagi tadi Manendra memasang wajah datar. Lehernya membiru saat aku memasangkan dasi untuknya, dan pergelangan tanganku juga sama birunya.

Kutatap taman mawar di belakang rumah dari arah gazebo, kegiatan rutin yang kujalani setiap harinya tanpa ketinggalan. Itu lebih karena aku merasa tidak ada yang bisa kulakukan selain menatap ratusan mawar berbau harum itu. Payah.

Aku menggoyangkan kakiku, membuat gerakan berayun dengan sendal rumahan berbulu halus yang kusuka. Bersenandung nada tak terarah lirih dengan mata terus mengamati kerumunan bunga. Langkah kaki terdengar dari arah kananku, tapi aku tidak menoleh. Tahu bahwa itu bukan dia. Maksudku Manendra.

"Tuan Nawasena ingin anda pergi ke kantornya, Nyonya."

Perkataan Herman, pelayan tua itu membuatku menoleh. Aku langsung memicing ke arahnya untuk memastikan apa dia main-main dengan ucapannya atau tidak. Selama lebih dari enam bulan aku menjadi istri Manendra Nawasena, aku belum pernah pergi ke kantor suamiku sendiri. Manendra mengatakan kalau kantornya tidak lebih penting dari dia sendiri.

"Apa kau benar-benar yakin dia memerintahkanku untuk ke kantornya?" tanyaku memastikan.

Herman tersenyum kecil, mengangguk pelan. Sudut bibirku naik dengan sendirinya, aku langsung bangkit berdiri. Berlari menuju kamar dengan semangat, bahkan sesekali tersandung kakiku sendiri.

Tapi lariku berhenti, aku berhenti di depan ruang tengah dengan sebuah lukisan besar yang membuatku terdiam. Lukisan pernikahanku sendiri yang bahkan tak kuingat sama sekali. Dengan aku yang memakai gaun bridal indah berwarna broken white dan Manendra yang merangkulku mesra dengan jas putih khas pengantin pria. Kami berdua tersenyum lebar dan saling menatap, memancarkan pancaran cinta yang menurutku terlalu berlebih-lebihan.

Aku menggeleng pelan, lalu berlari kecil lagi menuju kamarku dan Manendra di lantai dua.

Berganti baju dengan dress sopan, memakai sedikit polesan make up. Dan aku turun kembali ke bawah, menemui Richard si supir serba guna yang merangkap jadi penjaga bagiku. Dia sudah siap di halaman depan dengan mobil Range Rover yang Manendra beli khusus untukku. Dia suami yang royal.

SOLITUDE [Move To Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang