Kalau tadi aku ditemani oleh senyum hangatnya, kali ini aku bertatap langsung dengannya. Dengan sang pemberi kehangatan, matahari. Didampingi oleh tegapnya tiang bendera dan tentunya kibaran kuat sang merah putih, aku berdiri dengan sedikit lesuh dengan tangan di samping kening dan wajah mengarah melihat arah sang merah putih. Ya, sekarang aku sedang dihukum di tengah lapangan megah GLOSI dengan keadaan hormat karena tindakan konyol seseorang.
Flashback On
Seseorang mengetuk pintu kelas X IPS 1, dan tiba-tiba muncullah sosok vampir ganteng Edward Cullen. Ga ding, becanda. Kalo dia disamakan sama edward cullen mah tanda-tanda kiamat sudah dekat. Baru saja 10 menit kedatanganku di kelas ini, dan 5 menit bokongku duduk dikursi dengan nyaman, eh tiba-tiba Si jelmaan mimi peri datang. Kedatangannya sontak membuat seisi kelas berbisik kesana kemari, jangan tanya bagaimana ekspresifnya cabe-cabean di kelasku ini, karena sekarang mereka sedang ria bersorak seakan-akan sedang menjadi suporter sepak bola untuk mendukung kubuh kesayangannya masing-masing."Sumpah Jevano ganteng banget, asli." Ucap Nayla, cewek dengan baju ketat dan make up menor yang bisa dikata sudah menjadi santapan hari-harinya.
"Gilasehh ganteng banget Si Jevano." Sahut Nanda, gadis yang setiap waktu memegang cermin tanpa pernah terlepas dari tangannya.
"Aduh ini mah namanya nikmat dunia." Sambung Nadia, perempuan yang selalu menghabiskan waktunya dengan bergonta-ganti pasangan.
"So, maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?" Teriak Nabila, yang sontak membuat seluruh kelas terdiam.
Dan saat itu pulalah Bu Sri memukul meja dan berkata "Harap tenang anak-anak." Sembari melanjutkan omongannya bersama Si Mahat-mahat itu.
Sedari tadi aku masih memperhatikan keadaan kelas, dan dengan bosannya aku kembali melihat raut wajah cewek-cewek yang kurang kasih sayang itu memuja Jevano. Sedangkan jika aku memperhatikan sorot mata para lelaki disini, bukannya men-judge yah tapi hanya berspekulasi bahwa ada sorot mata tak suka akan kedatangan Ozil ke kelas kami. Entah itu karena mereka merasa tersaingi, atau mungkin ada dendam pribadi dengan Jevano.
Tiba-tiba Bu Sri memanggil nama seseorang yang aku yakini bahwa itu adalah aku, walaupun penyebutannya salah. Aneh sih, setiap namaku dipanggil oleh bapak atau ibu guru pasti selalu aja gak bener. Ada yang bilang "Kianra" lah, ada yang bilang "Sea" lah, dalam hati aku berucap, "Sea-Sea, memangnya Aku laut."
Yah seperti sekarang ini, Bu Sri memanggilku dengan berucap "Kianra Sea, kemari, Ibu mau bicara."
Dalam hati, kembali aku berkata, "kalo saja Bu Sri bukan termasuk guru killer di sekolah ini, mungkin aku sudah menceramahinya karena salah menyebutkan namaku. Andai Bu Sri itu Bi Neneng, Bibi kantinku yang sangat lembut dan baik hati itu, mungkin sudah aku semprot dengan kata-kataku yang menusuk. Dan andai Bu Sri itu adalah Tya, gadis kutu buku dengan kacamata yang selalu bertengger rapi di matanya, mungkin ia sudah ku buat lelah karena mendengarkan ke-bacot-anku yang lamanya seperti menulis tulisan setebal novel Harry Potter 5 atau panjangnya bisa seperti jalan dari Anyer sampai Panarukang."
Lihatlah betapa penting sebuah nama bagiku, sampai-sampai aku memperjuangkannya dengan begitu keras. Tapi yah itu tadi, kembali lagi bahwa ia adalah Bu Sri, sosok yang jika sudah berhadapan dengannya, mulutku seketika tertutup rapat seolah terjahit persis seperti film Oija 2.
"Kianra, Kamu dengar Ibu tidak, sih?" Ucapnya dengan emosi yang rupanya agak sedikit terguncang.
"Eh maaf Bu, bisa diulang? Tadi pikiran Jea agak terganggu." Jawabku dengan hati yang sedikit berdebar-debar. Aku setengah milirik ke samping kiriku karena mendengar tawa seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Jevano Peri.
"Dasar Kamu ini. Berapa kali Kamu gagal fokus kalau sedang berhadapan dengan Ibu, hah?"
"Maaf Bu, lain kali Jea janji akan fokus dengan ucapan Ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
JELMA
Teen FictionKarena aku adalah jelma, Yang berharap bisa jadi purnama. Mungkin agar kau bisa terkesima, Atau setidaknya agar kita bisa bercengkrama. -Jlm Cek aja dulu🙏🏻❤️