1. Mesin Laundry

44 4 0
                                    


Di depan sana terlihat kaki-kaki ribut yang berbalapan melangkah, melewati jalan kayu dengan pohon kersen di kanan kirinya. Membuatnya terlihat bagai lorong. Sneekers, sandal santai, bahkan heels tinggi tidak kalah bergerak cepat. Berlarian seperti berlomba dengan matahari tentang siapa yang lebih dahulu pulang. Walaupun langit biru masih cukup terang rasanya belum mampu menepis rasa ingin beristirahat di akhir pekan. Agaknya para zombie penghuni Universitas ini perlu enyah dari rutinitas mereka dari Senin hingga Sabtu.

Meski belum memasuki hari efektif semester baru, tapi Universitas dengan beasiswa pelit seperti Oxfree Korea sangat menuntut kepada sebagian penduduknya. Label 'diperuntukkan untuk elit saja' seharusnya dipasang tepat dibawah title-nya, karena demi apapun mencari beasiswa di sana sama dengan mencari jerami diatas tumpukan jarum.

Selain sangat susah, rasa sakitnya akan lebih mendominasi. Karena mendapat cap mahasiswa tunjangan sama saja mengumpankan diri untuk diolok dan di hujat apalagi cap itu terus menempel di dahi si penerima. Seperti jimat yang ditempel pada makhluk mitologi Cina -Vampir, merekapun akan bebas saat sudah melepaskan capnya. Untuk kemudian menjadi teman dari kalangan mahasiswa kaya, sementara ibu dan ayah mereka meremukkan tulang belulangnya untuk membayar UKT.

Atau pilihan lain adalah bertahan menjadi keset mereka, selalu diinjak dan hina. Berat tidak akan mewakili gambaranya karena kenyataanya lebih dari itu. Tapi untuk sebuah hasil besar, merengek dan mengeluh manja hanya akan semakin menghambat. Pola pikir seperti itulah yang dimiliki tidak lebih dari 2% mahasiswa Oxfree Korea.

Seperti gadis pirang yang termasuk dalam kaum minoritas 2%. Sedang membawa setumpuk buku dan beberapa lembar kertas yang ia dapat dari mengais di perpustakaan. Beberapa senior biasanya akan meninggalkan buku referensinya ketika semester telah usai. Jadi untuk menyelamatkan pundi uangnya gadis ini mengambilnya untuk bahan ajar di semester depan. Bagaimanapun meminimalisasi pengeluaran dari dompetnya adalah keharusan, dia bukan orang kaya yang berkedip saja menghasilkan harta.

Karena kesadaran yang seperti itu ia mencoba berbagai hal untuk bertahan kepada beasiswanya terlebih kepada hidupnya. Kata susah sudah menjadi marga dari hidupnya, selalu mengikuti dibelakang juga didepanya. Jadi dimanapun dia ingin hidup entah dari arah manapun susah sudah menjadi kawan setia, mengintili punggung sempitnya.

Bisa saja dia mengeluh dan meminta kepada Tuhan untuk tidak menjadi orang susah. Dia lelah untuk hidup susah tapi bila dipikir hidup kaya lebih memuakan. Seperti sebelumnya..

"Kapten! Oh Seriiiin! Hey Oh Serin berhenti"

Gadis pirang itu menoleh, membawa tubuhnya berputar ke arah suara. Oh Serin, nama kebanggaanya.

"Cepatlah kita semua sudah ditunggu Kak Mark!"

Kak Mark?
Batin Serin bertanya.

Tak butuh waktu lama kerutan di dahinya buyar, disusul tepukan kuat di sana.

"Sial! Dia akan mencincangku"

Langsung saja sepatunya bergerak cepat menyusul mahasiswi yang tadi memanggilnya. Tidak ia lihat jejak bayangan anak itu, kekalutanya memerintah otaknya untuk mengabaikan. Karena sekarang hidupnya sedang krisis. Ia melupakan latihan rutin klub basket fakultasnya, dan itu akan buruk saat ketua klub akan khotbah di depan telinganya. Sangat sial untuknya, ditambah mendekap buku yang ia yakin hampir menyentuh angka 5kg.

Serin akan mengimani susah dalam takdir hidupnya jika seperti ini. Terus menerus mendatanginya.

**

Cklek

Suara pintu terbuka membuat seisi penghuninya menoleh serentak. Wajah tegang tercetak di muka mereka. Namun sedetik setelah mengetahui siapa pelakunya, desahan kecewa terdengar. Seperti paduan suara saja.

Wild Wind ● Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang