Part 10

9.6K 488 24
                                    

"Bang...Bang Reka...!!!"

Anne mengguncang-guncang tubuh Reka yang sedang tertidur pulas. Menggeliat, Reka akhirnya terbangun.

"Kenapa Ne? " Suara serak khas orang bangun tidur yang menjawab Anne.

"Ica Bang! Demamnya tinggi!" Anne berteriak panik. Ia membawa termometer ditangannya. Angka 39.5 derajat Celsius tertulis disana.

"Ya Allah...kok bisa?!" Reka langsung bangkit dengan tergesa dan berlari ke kamar Rafisha, disusul Anne di belakangnya.

Ica terlihat tidur. Tapi nafasnya tersengal,  seperti orang yang habis berlari kencang. Reka langsung menggendong anak itu dan berlari menuju garasi.

" Ne, ambil konci mobil. Kita langsung ke Rumah Sakit. "

Drap,Drap,Drap.

Kedua orangtua muda itu berlarian. Panik luar biasa. Terutama Anne. Sejak Rafisha diasuhnya, baru kali ini anak itu demam tinggi.
***
Dokter bilang Rafisha hanya kelelahan.

Mungkin karena sejak pesta ulangtahunnya itu, ponakan-ponakan Reka bergantian datang ke rumah mengajak Rafisha main.

Anne mulai terlihat lega. Namun tak sedetikpun ia beranjak dari sisi ranjang Rafisha. Gadis kecilnya itu terlihat seperti malaikat saat tertidur lelap seperti ini. Menatapnya yang tak berdaya membuat Anne merasa bersalah.

Anne selalu merasa jika Rafisha merindukan Naina. Sementara Anne berusaha sekeras mungkin untuk bisa menjadi ibu yang baik bagi Rafisha. Tapi Anne tak pernah merasa dirinya cukup baik.

Tanpa pengalaman menjadi seorang ibu sedikitpun, jelas bukan hal mudah bagi Anne untuk mengasuh dan mengurus Rafisha. Walau Naina sudah menulis dengan jelas dan rinci tentang semua kebiasaan Rafisha, tapi Anne merasa belum benar-benar bisa memahami Rafisha.

Anak itu sangat menyayangi Naina. Beberapa kali saat Anne sedang bermain dengan Rafisha, gadis kecilnya memanggil Anne dengan sebutan 'Ummah', panggilan yang biasanya diberikan untuk Naina.

Ditambah kondisinya saat ini, Anne yakin, Rafisha merindukan Naina, dan anaknya itu membutuhkan Naina saat ini.

Bulir airmata mengalir tanpa bisa dihentikan oleh Anne. Tatapan matanya pun tak lepas dari Rafisha yang terlihat tenang dalam tidurnya, sementara di lengan kanan anak itu terpasang infus.

Anne sampai tidak sadar jika Reka sudah berdiri di sampingnya.

"Ne..."

Anne tersentak. Padahal sentuhan itu begitu lembut.

"Bang...." Anne buru-buru menghapus airmatanya.

"Kata dokter, Ica gapapa kok. Kamu jangan kuatir ya. " Reka mengusap - usap bahu Anne dengan lembut.

Anne berbalik dan memandang Reka penuh arti.

"Bang, sepertinya Ica butuh Naina. " Anne mengalihkan pandangannya ke Rafisha kembali.

"Kamu bilang apa, Ne?kenapa kamu mikir gitu?" Reka terlihat tidak suka.

"Bang...tolong jangan bohongi hati abang sendiri. Abang juga pasti merasa kalau Rafisha merindukan Naina kan? " Anne mulai tersedu, tapi ia berusaha menahannya agar Rafisha tidak terbangun.

Reka masih diam.

"Bang...beberapa kali Ica salah manggil aku dengan sebutan Ummah. Ica juga pernah ngigau dalam tidurnya dan memanggil Ummah. " Desakan emosi sepertinya begitu besar, hingga membuat Anne bergetar.

"Ne...abang ga mau ada orang lain dalam rumah tangga kita. Sekalipun Nai tidak ingin pergi, abang akan tetap memintanya pergi. Karena begitulah perjanjiannya..."

IstanakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang