2036
"...telah menyelesaikan misinya menuju stasiun antariksa internasional .... Untuk .... selama tiga belas bulan tanpa kendala ... adalah astronot pertama Korea yang berhasil menginjakkan kaki di bulan. Dua minggu pasca kepulangan.. setuju...wawancara.."
Aku tidak bisa mendengar suara berita dengan jelas. Di luar hujan deras, dan kedai kopi ini cukup ramai. Tapi setidaknya mataku bisa menangkap dengan jelas siapa yang sedang disorot oleh kamera itu. Untuk beberapa saat aku takjub, kemudian aku tersenyum, dia berhasil menggapai cita-citanya.
Aku masih ingat semua hal yang dia ucapkan saat masih sekolah dulu. Sial sudah berapa lama sejak terakhir aku mendengarkan celotehannya? Tujuh belas tahun? Ah tidak kurasa delapan belas.. iya delapan belas tahun. Wow, sudah selama itu. Dan wow, aku tua. Tapi dia tidak menua sama sekali, apa penuaan tidak terjadi di luar angkasa sana? Hei, itu curang.
.
.
.
2018
"Kau tahu, Carl Sagan itu tidak bisa digantikan." Ujarnya saat kami berada di atap sekolah untuk menikmati makan siang. Sejak aku mengenalnya, dia memang suka mengatakan hal yang tiba-tiba seperti ini. Bukan berarti aku tidak suka atau apa, aku malah menyukainya.
"Kar apa?"
"Carl Sagan."
"Ah...," aku mengangguk seolah paham, "siapa tadi?"
"Lupakan."
"Aku serius, dia siapa?"
"Dia astronom dan orang pertama yang memanfaatkan media untuk mengenalkan sains pada khalayak umum," matanya mulai berbinar. Setelah beberapa bulan mengenalnya, aku jadi sadar bahwa matanya akan berbinar jika sudah membicarakan tentang langit dan isinya. "Aku tidak pernah bosan membaca bukunya yang Pale Blue Dot, memang tidak sepopuler Cosmos, tapi dengan membaca Pale Blue Dot, aku jadi banyak bersyukur."
"Titik biru muda?" Tanyaku saat itu untuk memastikan. Aku tidak mengerti kenapa ada manusia yang mau menulis buku tentang titik, tapi aku lebih tidak mengerti lagi kenapa dia mau membaca buku tentang titik. Apa dia tidak punya hal lain untuk dikerjakan?
Kau juga sepaham denganku kan? Ayolah, itu hanya titik. Tapi karena pada saat itu aku adalah pelajar yang kritis, secara cepat aku mencari tahu tentang titik di dalam otakku, mana tahu ada sesuatu yang terlewatkan olehku. Tapi nyatanya tidak, di dalam otakku, aku hanya menganggap titik sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak bisa dihadirkan dalam kehidupan nyata. Tidak lebih, tidak kurang.
"Sagan sangat bagus dalam membuat narasi. Semua kalimatnya sederhana, romantis dan meninggalkan bekas bagi para penikmat sains. Kau ingin mendengar salah satu narasi Sagan yang terkenal? Aku mendengarnya berulang kali sehingga aku hapal." Dia tersenyum saat mengatakan hal itu. Kedua lesung pipinya muncul, dan jujur saja, itu manis sekali. Senyumnya mampu menghilangkan rasa kesalku yang tadi pagi sempat muncul karena aku di hukum oleh Pak Song karena terlambat.
Namun, meski aku menyukai senyumnya, saat itu aku ingin mengatakan tidak. Tapi aku tidak mau kehilangan matanya yang berbinar, maka dari itu aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum, "oke."
Dia menarik napasnya, dan aku mempersiapkan diri untuk mendengar celotehannya lagi hari ini.
"Dari sudut pandang sejauh ini, bumi tampak tidak memiliki hal menarik. Tapi bagi kita, ini berbeda. Memikirkan ulang bahwa titik itu adalah rumah, itu adalah kita. Di sana ada semua orang yang kamu cintai, semua orang yang kamu ketahui, semua orang yang pernah kamu dengar keberadaannya, setiap manusia yang pernah hidup. Keseluruhan dari kebahagiaan dan penderitaan kita. Tempat untuk berbagai agama, kepercayaan, ilmu ekonomi. Setiap pemburu dan penjelajah, setiap pahlawan dan penjahat, setiap pencipta dan penghancur peradaban. Setiap raja, setiap pasangan muda yang jatuh cinta-" dia menghentikan kalimatnya, matanya menatap tepat di mataku. Mata itu tampak lembut namun juga tajam di saat yang sama. Sering kali aku mendapati diriku gugup jika dia menatapku seperti itu, termasuk kali ini. Dia kembali tersenyum kecil karena menyadari aku yang gugup kemudian melanjukan kalimatnya. "Setiap ayah, ibu, dan anak yang penuh dengan harapan, serta guru dari berbagai moral sosial. Setiap politisi, setiap koruptor, setiap superstar. Semuanya hidup di sana, di dalam debu itu. Dia berhenti kemudian menggaruk kepalanya, aku hanya ingat sampai sana, pokoknya itu adalah Pale Blue Dot."

KAMU SEDANG MEMBACA
Quasar & Pulsar
FanfictionNAMGI - Namjoon × Yoongi Tidak ada yang membuat kisah mereka berdua terdengar spesial. Ini hanya tentang Min Yoongi yang bersedia menunggu Kim Namjoon sampai kapanpun. Kim Namjoon hanya perlu meminta, dan Min Yoongi akan mengabulkannya. Kim Namjoon...