Melody

1K 49 2
                                    

"Damar." Lirih Melody sambil menatap nanar kearah Damar yang tengah membenamkan wajahnya di samping tubuh bundanya dengan air mata yang terus mengalir. Ia sadar, semua ini adalah salahnya.

Seandainya ia menolak permintaan bunda Damar untuk pergi ke pasar. Seandainya ia tidak bersikap sok jagoan dengan menyelamatkan anak kecil yang berlari menyeberangi jalan sedangkan di sisi lain ada truk yang melintas dengan kencangnya. Dan masih banyak seandainya yang menjadi penyesalannya.

"Dasar Pembunuh! Pembawa sial!" Teriak nenek Damar pada Melody yang masih menangis sesenggukan sambil menunjuk-nunjuk keningnya dengan kasar. "Masih kurang kamu membuat Ayah Damar mengorbankan nyawanya sepuluh tahun lalu hanya demi kamu, hah?! Masih kurang?!"

"Maaf nek. Maafin Mey. Mey nggak bermak--"

"Cukup! Saya bener-bener benci sama kamu! Pergi! Saya nggak sudi lihat pembunuh macam kamu disini! Pergi!"

"Pergi!" Teriak Nenek Damar sambil mendorongnya keluar kemudian menutup pintu kamar rumah sakit dengan bantingan.

"Nenek, maafin Mey, Nek. Maafin aku, Damar. Aku nggak bermaksud. Aku bener-bener nggak bermaksud buat bikin celaka bunda kamu. Maafin aku." Ucapnya di depan pintu masih dengan tangisan tanpa suara tanpa memperdulikan rasa perih luka akibat kecelakaan itu.

Melody menekan kuat-kuat dadanya yang begitu sesak. Dari semua rasa sakit luka-lukanya akibat kecelakaan itu, hatinya lah yang terasa begitu sakit. Lebih dari sakit, sampai ia mengharapkan ajal menjemputnya saat itu juga agar ia tidak dihantu-hantui rasa bersalah juga rasa sesak yang semakin menjadi-jadi.

Memang, apa yang dikatakan Nenek Damar memang benar. Bagi orang-orang terdekatnya, ia bukanlah anugrah seperti anak-anak kebanyakan. Bagi orang-orang terdekatnya, ia adalah pembawa sial. Dan ia sadar itu.

Mamanya, meninggal karena pendarahan saat melahirkannya. Papanya, meninggal karena mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju ke sekolahannya untuk melihat ia tampil di suatu konser amal yang di selenggarakan sekolahnya.

Sedangkan Ayah Damar meninggal sepuluh tahun lalu karena mendonorkan sumsum tulang belakangnya untuk dirinya yang saat itu di diagnosis terkena leukemia limfoblastik akut. Dan sekarang?

Tangisannya semakin deras saat mengetahui efek kehadirannya di dunia ini. Kalau memang dirinya pembawa nasib buruk untuk orang-orang di sekitarnya, kenapa ia harus dilahirkan di dunia ini sampai harus menanggung beban yang tidak mampu ia pikul sendirian.

Melody terduduk dan membenamkan wajahnya di kedua pahanya. Ia membungkuk dan menangis di depan pintu. Ia berdoa dengan seluruh perasaan yang ia punya. Ia berharap agar dirinyalah yang melewati masa ini sendirian. Dan biarkan nyawanya saja yang terambil agar ia bisa kembali berkumpul dengan kedua orang tuanya di alam lain tanpa harus mengorbankan lebih banyak orang terdekatnya.

--------------------*****--------------------

"Damar." Panggilnya pada sosok laki-laki yang dulunya sudi bermain dengan dirinya yang penyakitan, yang sudi menganggapnya adik disaat neneknya sama sekali tidak menganggapnya ada.

"Damar." Panggilnya lagi. "Maaf. Maafin aku, Mar." Ujarnya saat Damar melewatinya dan terus melangkah tanpa menoleh sedikitpun kepadanya kemudian menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

Mungkin, sudah saatnya ia pergi. Melepaskan semua usahanya untuk membuat Damar memaafkannya selama sepuluh tahun ini yang ternyata malah ia sendiri yang merusaknya.

Melody mengepalkan tangannya erat-erat menahan emosi yang membuncah ingin meledak di dalam dirinya sendiri. Haruskah ia pergi disaat dirinya telah berjanji untuk berada di sisi Damar kepada almarhumah bunda Damar tepat sesaat sebelum bunda Damar menghembuskan napas terakhirnya.

MELODYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang