Prolog

63 11 12
                                    

Seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda tersebut berjalan memasuki halaman rumahnya. Terlihat seperti rumah kosong yang tidak berpenghuni. Namun memiliki ukuran yang besar ditambah air mancur yang terletak didepannya.

Kedua kakinya menuntunnya untuk memasuki rumah bercat putih tersebut. Tangan kanannya terulur meraih gagang pintu kayu besar didepannya kemudian bergerak untuk membukanya. Tatapan matanya kosong menatap ruangan luas yang sedang ia lihat. Ia menutup kembali pintu dibelakangnya lalu menjadikan pintu tersebut sebagai sandaran pada punggungnya.

Gadis itu menghela napas berat. Sudah biasa ia merasakan hal ini. Kesepian. Hal itulah yang selama ini ia rasakan. Kesepian didalam rumah besar yang hanya ia tinggali seorang diri. Tidak. Ia tidak seorang diri. Masih ada kedua kedua orang tuanya. Hanya saja ia menganggapnya begitu. Tidak ada yang bisa ia harapkan. Keluarganya hancur. Hanya sebuah kenangan yang bisa ia kenang.

Maudy memejamkan matanya. Tubuhnya lemas. Kedua tangannya mengepal menutupi wajahnya. Ia menunduk, hingga pada akhirnya ia terduduk di atas lantai yang dingin dengan kedua kaki tertekuk didepan tubuhnya.

Senyap. Tidak ada suara yang terdengar. Perlahan, bahu Maudy berguncang. Air matanya turun membasahi pipinya dan meninggalkan jejak disana. Gadis itu menangis.

Menangis dalam diam.

***

Kedua kaki Maudy bergerak lincah menuruni tangga. Ia sempat berhenti sejenak. Menatap nanar meja makan yang setiap pagi selalu saja kosong. Tidak ada sarapan. Hanya sebuah amplop putih yang biasa kedua orangtuanya letakkan di sana.

Maudy menghela napas berat. Ia sudah bosan hidup dalam keluarga tanpa keharmonisan didalamnya. Tidak ada canda tawa. Hanya ada jarak yang memisahkan anak dengan kedua orangtuanya.

Maudy tak habis pikir. Sampai begitukah kedua orangtuanya bekerja sampai-sampai tidak ada waktu sedikitpun untuk bertemu anaknya. Walaupun disatu atap yang sama? Maudy membuang pandangan ke samping. Lelah. Itu yang ia rasakan saat ini.

Kedua kakinya berjalan menuruni anak tangga yang tadi sempat terhenti. Ia berhenti tepat disamping meja makan. Mengambil amplop yang tergeletak diatasnya kemudian mengambil isinya. Benda itu lagi. Ia tidak perlu repot-repot hidup hanya karena di dibayar oleh orangtuanya. Ia menutup lagi amplop tersebut. Kemudian memasukkannya ke dalam tas.

Ia melanjutkan langkahnya menuju halaman. Sudah ada sepeda pancal yang biasa ia gunakan untuk pergi ke sekolah. Ia menaikinya. Mengayuh dengan cepat menuju sekolah. Nyaman. Hal itulah yang ia harapkan didalam rumahnya. Nyaman tinggal bersama keluarga yang harmonis. Sudahlah, lupakan saja. Hal itu tidak akan terjadi. Kecuali ada seseorang yang membuatnya terjadi.

Angin pagi sempat menerpa kulit wajahnya. Belum sampai ia berjalan jauh, seseorang dengan motor besarnya sempat menabraknya sehingga membuat Maudy terjatuh.

"E e aduh!" Ucap Maudy terkejut karena ia baru saja terjatuh. Ia memejamkan matanya. Sedikit meringis kesakitan.

"Aduh.." ringis Maudy kesakitan. Ia mengusap lututnya. Ada sedikit luka disana. Tapi cukup untuk membuatnya kesakitan.

"Lo gimana sih? Udah jelas jalanan masih lebar, masih aja nabrak orang. Ga bisa lihat Lo ya?" Tanya Maudy marah kepada orang yang baru saja menabraknya. Sedangkan orang tersebut menghentikan motornya. Melepas helm full facenya kemudian menatap Maudy yang sedang meringis kesakitan.

"Sorry, gue ga sengaja." Ucap pria tersebut. Ada sedikit rasa bersalah dalam dirinya.

Kedua mata Maudy membulat sempurna ketika tahu siapa yang baru saja menabraknya. Moodnya jadi semakin buruk hari ini.

"Enak aja maen minta maaf. Sini, tolongin gue." Pinta Maudy yang membuat pria tersebut mengangguk kemudian turun dari motor dan berjalan menuju Maudy. Ia mengulurkan tangannya, berniat menolong.

Maudy meringis kesakitan. Ia memejamkan matanya untuk menahan sakit yang sedang ia rasakan, tak memperdulikan uluran tangan didepannya. Padahal ia sendiri yang meminta orang tersebut untuk menolongnya.

Merasa uluran tangannya tak dihiraukan oleh Maudy, pria tersebut menghela napas jengah, dan tanpa meminta izin pria tersebut membopong tubuh layaknya membawa sebuah karung beras yang ia letakkan di bahunya. Hal tersebut tentu saja membuat Maudy refleks membuka matanya terkejut.

"Eh! Lo apa-apaan sih?! Turunin gue!" Teriak Maudy. Ia meronta-ronta, kedua tangannya tak henti-hentinya memukuli punggung pria bertubuh jangkung tersebut, berharap ia segera diturunkan.

"Al, turunin gue!"

Alvan tersenyum. Tak mengindahkan teriakan Maudy dan terus berjalan ke depan. Rupanya, Alvan  membawa Maudy ke sebuah halte yang tak jauh dari posisi Maudy ketika terjatuh tadi. Alvan mendudukkan Maudy perlahan-lahan di bangku panjang yang ada di halte tersebut.

"Lo gila ya?! Sakit bego." Mata Maudy menatap tajam ke arah Alvan yang kini sedang menatapnya dengan pandangan yang bersalah.

"Gue bawa Lo ke sekolah aja ya? Terus gue anterin ke UKS, sekalian gue obatin." Ucap Alvan kepada Maudy.

"Lo ga liat? Gimana gue jalannya?" Matanya menatap sedih ke arah lututnya yang kini sedang berdarah.

Helaan napas berat keluar dari mulut Alvan. Sedetik kemudian, ia berjalan mendekat ke arah Maudy dan berjongkok memunggungi Maudy. Alvan menepuk-nepuk punggungnya, menyuruh Maudy untuk naik ke atas punggungnya. Maudy menatap heran ke arah Alvan. Dia ngapain sih?  Batin Maudy keheranan.

"Buruan naik, pegel nih gue." Suruh Alvan karena Maudy tak kunjung naik ke atas punggungnya.

---

Maaf ya, berhenti dulu bentar, lagi low bat😂😂

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ComfortableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang