Panggil saja be

15 5 2
                                    

Aku duduk di pesisir pantai, menikmati matahari yang mulai tenggelam. Angin terus bernyanyi membuat ombak terlihat menari-nari. Langit terlihat berwarna jingga, 1 lagi lukisan alam yang aku suka.
   "Sedang apa kau di sini dik? Bukankah sebentar lagi senja akan berlalu? Lalu untuk apa kau tidak beranjak untuk pergi?"
Seseorang duduk di sebelah ku.
   "Aku tak ingin berpaling walau sedetik-"
   "Hahahaha-" Tawanya memotong jawaban ku
   "...menyedihkan sekali hidup mu dik, dengan siapa kau kemari?"
Aku tak menjawab pertanyaannya, aku tak mengerti apa yang dia maksud 'menyedihkan?', ah, dasar orang aneh.
Akhirnya kami memutuskan menikmati sisa senja yang perlahan mulai tenggelam, tak ada yang membuka suara, kami sibuk pada pikiran masing-masing.
   "Ayo dik, kita pulang, senja telah berlalu"
Orang itu bangkit, membersihkan pasir yang menempel di celananya, namun aku tetap duduk, tak menggubris ajakannya.
   "Dik.." dia memanggil ku, lembut sekali, tangannya mengelus rambut ku. Aku menengok, memandangnya, tatapannya tajam, kantong matanya terlihat jelas, seperti tidak tidur berhari-hari, bibirnya mungil, dagunya terlihat belah saat tersenyum. Dia memang tidak cantik, tapi dia adalah orang dengan senyuman yang menyenangkan. Itulah kesan pertama aku melihatnya.
   "...ayo kita pulang" aku berdiri tak membantahnya, berjalan dengan pasir yang masih menempel di celana, menggenggam tangan kasarnya.
Kami sudah berada di depan rumah kayu, ada seorang wanita tua dengan dandanan yang mencolok sudah menunggu di depan, namun kami melewatinya begitu saja, seperti ada yang ganjil.
   "Silahkan duduk dik, di manapun kau suka, di sini tidak ada kursi formal, saya hendak ke belakang sebentar" Dia meninggalkan ku yang masih canggung, penghuninya tak ada yang menyapaku meski sejak tadi bercengkrama atau bermain-main di depan ku, hanya bertukar senyum saat mata kami tak sengaja bertemu. Aku duduk di tempat ku berdiri tadi, orang itu kembali membawa nampan. 2 air putih dan 1 mangkuk yang entah isinya apa.
   "Ini namanya singkong rebus, bisa sebagai pengganti nasi, atau untuk cemilan, silahkan Dik, kami hanya punya itu, beras di rumah kami sudah habis 1 minggu yang lalu, jadi selama seminggu terakhir ini kami hanya makan itu"  dia menjelaskan tanpa beban, seperti hal yang lumrah. Aku ikut mengambil singkong rebus lalu mencampurnya dengan gula, mengikuti cara dia.
   "Siapa nama kakak?" Aku akhirnya berbicara, bertanya hal yang ingin aku tanyakan sejak pertemuan pertama.
   "Panggil saja be, tidak usah kau bumbuhi dengan embel-embel 'kaka', 'mba' atau apalah, karna penghuni di sini memanggil ku demikian"
   "Tapi, bukankah itu tidak sopan?, memanggil seseorang hanya dengan sebutan nama" aku membantah
   "Kau lucu sekali Dik, akan aku jelaskan setelah tahu siapa namamu, dan berjanjilah kau akan pulang setelah ini"
   "Tapi-"
   "Kau selalu boleh menemui ku kapan pun kau mau"
   "Baiklah, Nama ku Zia" aku mengalah, hal yang jarang sekali aku lakukan.
   "Mereka semua bukan adik ku" be menatap orang-orang di depannya, tatapan yang berbeda.
   "Kami di pertemukan hanya karna 1 kata 'Luka', jika kau bertanya siapa paling tua di sini, aku tak bisa menjawabnya, karna aku sendiri tidak tahu, tapi yang aku tahu, aku lah di sini yang di Tua kan"
   "Lalu kenapa tidak memanggil dengan panggilan 'kakak'? Bukankah itu tidak sopan" Aku semakin penasaran
   "Zia..Ziaa, berapa IQ mu?" Dia bertanya dengan nada meremehkan.
   "Embel-embel kakak, mba atau apalah hanya sebagai tanda bahwa orang itu lebih tua dari kita, bukan untuk mengukur tingkat kesopanan seseorang, coba kau perhatikan, banyak orang-orang memanggil dengan panggilan demikian, namun tetap saja intonasi di tinggikan,  di belakang saling membicarakan. Bermuka dua. Tapi tak sedikit juga orang yang memanggil hanya dengan sebutan nama namun tetap bisa menghargai" aku diam, mencerna apa yang dia ucapkan.
   "Pulanglah Zia, pertanyaan mu sudah terjawab"
   "Tapi kenapa aku harus pulang?, bukankah Kau bilang mereka di pertemukan karna 1 kata 'luka', aku juga termasuk orang yang sedang terluka" aku mengelak, meminta penjelasan, aku tak ingin pulang, pergi meninggalkan orang dengan senyuman paling menyenangkan.
   "Luka kita tak sama" hanya itu yang keluar dari mulutnya
   "Apa yang harus aku lakukan agar luka kita sama?"
   "Pulang Zia! Pulang!" be membentak ku hingga penghuni rumah menatap kami, salah satu ada yang ketakutan, entah apa maksudnya memaksa ku pulang.
   "Aku tak akan pulang, sekalipun kau mengusir ku"
   "Baiklah Zia, coba katakan apa yang membuat mu tak  ingin pulang?" be meredakan amarahnya.
   "...Aku merasa di sini lah rumah ku, di sini lah seharusnya aku menetap" aku berkata lirih.
   "Bohong!, aku tahu kau hanya mencari pelarian atas patah hati mu, seseorang yang kau tunggu selama 3 tahun lebih memilih sahabat mu!" be membentak ku lagi, menjawab atas pertanyaannya.
   "Kau benar, lalu untuk apa kau bertanya jika sudah tahu jawabannya?" Aku menutup muka, menahan sesak dalam dada.
   "Aku pernah di posisi mu, pria yang ku sukai lebih memilih sahabat ku, sahabat yang dengannya ku ceritakan perihal pria itu, kau tahu apa yang aku lakukan?-" dia berhenti, bertanya pada ku, aku hanya menggelengkan kepala, dia menatap ku sejenak lalu kembali menatap kedepan, seperti menerawang masa lalu
   "...aku hanya tersenyum, seakan memang tak pernah terjadi apa-apa dan aku masih tetap menjalin hubungan persahabatan dengan dia, bukan karna hati ku tak terluka, tapi karna persahabatan di atas segalanya"
   "Tapi dia adalah segalanya, saat keluarga ku sedang berantakan"
   "Berapa usia mu Dik?" Dia bertanya di luar pembahasan. Membuat ku bingung.
   "15 tahun" Dia tak memperhatikan jawaban ku, memanggil seseorang dengan gerakan tangan 'kemari'.
   "Namanya Dito, usianya genap sepuluh tahun, Dia anak hasil perselingkuhan, Ayahnya tidak mau mengakui karna ibu nya memang jalang, ibu nya benci atas sikap ayahnya dan akhirnya menelantarkan Dito saat usianya 5 tahun, tidak ada sanak saudara yang mengetahui siapa Dito selain kedua orang tua nya, karna ayah dan ibu dito memang tak pernah menikah."
   "...kembali nak" anak laki-laki itu memberikan senyuman ikhlas, penerimaan, sebelum memutuskan pergi, menuruti perintah be, meski aku tahu, tatapannya tetap kosong.
   "Apa lagi yang kau keluhkan dalam hidupmu?" be bertanya padaku, penuh tantangan.
   "Bukankah memang wajar, kedua orang tua nya malu mengakui dia" aku membuka suara, takut-takut salah atas ucapan ku.
   "Di mana letak wajarnya? Yang melakukan kedua orang tuanya, yang salah kedua orang tuanya, yang berdosa juga kedua orang tuanya, bukan karna dia hadir dari benih sperma yang tak terikat tali pernihakan kita bisa mengklaim dia juga layak menerima penghinaan yang sama. Setiap bayi yang terlahir di muka bumi ini masih suci tak berdosa" Be menjelaskan tegas, membuatku diam, merasa bersalah atas pertanyaan ku.
   "Baiklah-" Be menghela napas
   "Kemari nak" lalu memanggil seorang anak kecil yang mungkin usianya di bawah Dito
   "Namanya Angela, usianya 2 atau 3 tahun di bawah Dito, Ibunya telah meninggal karna muntaber, Bapaknya nikah lagi, ibu tirinya jahat. Memukul, membentak adalah hal yang lumrah di lakukan kepada Anggel dan ningrum. Kakaknya. Sesekali di siram air panas, bahkan berani mengusir angel dan kakanya. 6 bulan terlunta-lunta di jalanan, makan 1 hari, 6 hari nya puasa, tidur di emper toko. Genap 1 tahun, Ningrum, menyusul ibunya. Meninggal karna kelaparan, menahan lapar agar adik nya tetap bisa makan, padahal nasi sisa atau roti yang sudah berjamur tapi tetap harus di bagi 2" be menghentikan ceritanya, memandang aku yang sedang menyeka ujung mata.
   "Kembali nak" Angela memberikan senyuman pada ku, senyuman yang sama dengan dito, senyuman ikhlas penerimaan, dan akhirnya pergi meninggalkan aku dan be
   "Aku tahu kau mempunyai luka yang teramat perih, membuatmu datang menemui 'dunia ilusi', mengkonsumsi obat-obatan dan minum-minuman yang justru badan kau saja menolaknya. Dik, coba kau pikirkan, di luar sana banyak orang-orang yang bahkan tidak seberuntung kau, tapi mereka memilih untuk menerima. 2 anak kecil tadi adalah bukti nyata, latar belakang keluarganya teramat buruk, status sosialnya menengah ke bawah, bahkan jika ingin, mereka lebih dulu mengenal 'dunia ilusi' dari pada kau, hidup di jalanan keras, hukum rimba berlaku di sana, tapi hidup di jalanan bukanlah suatu pilihan melainkan takdir. 'Lalu kenapa mereka tak bergerak merubah takdir?' Jika itu pertanyaan kau, maka hari ini aku akan bertanya 'lalu kenapa kau hanya diam saja?, menonton tanpa menjulurkan tangan memberi bantuan'. Jangan pernah merasa langit tak adil, membuat mu seolah-olah orang paling menderita, tapi kau lah yang membuat berbelit-belit jalan hidup mu sendiri. Pulanglah Dik, ibu mu sedang menangis di sana, Ayah mu berkali-kali menenangkankannya, padahal dirinya saja tak tenang"
   "Tidak!, mereka tak akan seperti itu, mereka tak akan peduli, siang malam pergi, sesekali bertengkar yang kadang aku tak tahu duduk permasalahannya, atau tiba-tiba memarahi ku yang sedang tertidur lelap"
   "Hahaha, 1 lagi kebodohan yang kau pelihara" Be menertawakan ceritaku, menganggap enteng semuanya.
   "Apakah mereka masih bertahan di atas pernikahannya?" Aku hanya mengangguk, menjawab pertanyaan be.
   "Kau tahu kenapa mereka masih bertahan?, karna mereka menghargai akan hadirnya kau, berharap agar kau menjadi anak yang membanggakan, tak egois dengan perasaannya, pernah kah kau lihat, diam-diam ibumu menangis karna bingung dengan keadaan, ada dirimu yang harus bahagia, namun ada perasaannya yang harus di selamatkan, tapi rupanya dia memilih mengabaikan perasaannya bukan?. Atau pernah kah kau mendengar ayahmu mengeluh tentang pekerjaannya? Kadang di marahi atasan, tak jarang juga di ancam hendak di pecat, tapi beliau hanya duduk, menyeka peluh di dahi lalu menyuruh 'bikinkan bapak kopi, nak'. Sama halnya dengan diri mu, kadang mereka tak baik-baik saja, tapi meninggalkan bukanlah jalan keluarnya, pulang malam hanya untuk mencari uang lebih, kadang bertengkar di depan mu bukan karna ingin menunjukannya pada mu, tapi karna tak sempat berdiskusi hendak bertengkar di mana, kadang memarahimu bukan karna benci pada mu, tapi karna rasa lelahnya, sehingga membuat nada suaranya jadi agak tinggi. Tak bisa kah kau mengerti itu semua?"
   Aku merunduk dalam, memikirkan hal yang tak pernah aku pikirkan, mencerna semuanya, mataku terasa perih, mulai berkaca-kaca, tinggal menunggu kapan tangisku akan pecah.
   "Kau menyukai senja yang bahkan semua orang bisa melihatnya, bilang 'tak ingin melewatkan walau sedetik', namun kau tak menyukai keadaan rumah mu, dengan Ayah dan ibu di dalamnya dengan cara lari, menjauh dari mereka, tanpa kau tau apa kabar anak-anak di luar sana" be melanjutkan.
   "Pulang lah Dik, menyesal saja tak cukup, berhentilah setelah ini, jika sempat, temui adik kandung ku, namanya Diar, seumuran dengan mu, dia ada di pertigaan lampu merah" Aku bingung, kenapa dia menyuruhku untuk menemui adiknya.
   Tiba-tiba kepalaku pusing, dunia seakan berputar, pandangan ku kabur, penghuni rumah itu melambaikan tangan, tersenyum dengan tatapan yang kosong, Dan dia hanya merunduk, sesekali mengusap air di sudut matanya, tak melepasku dengan lambaian tangan, atau senyumannya, seperti tak ingin aku pergi, tapi selalu mendesak ku untuk pulang.
Aku kembali membuka mata, kata dokter, aku tersadar dari koma selama seminggu, dan semalam adalah masa kritisku, ya, tepat dengan percakapan dengan be si pemilik senyum paling menyenangkan. Setelah 1 bulan masa pemulihan, akhirnya aku bertemu dengan Diar, adik kandung be, persis di tempat yang ia sebutkan dulu. Aku mulai sadar setelah mendengar ceritanya, cerita yang bahkan tak ia ceritakan saat malam itu. Boleh jadi, jika ia ceritakan bisa membuatku tersadar lebih cepat, tapi be memutuskan bungkam, membuatku memahaminya sendiri.
   Aku menaburkan bunga di atas pemakaman seseorang yang amat aku inginkan keberadaannya, motifatorku, semangat hidupku
   "Terimakasih, karna mu aku tahu, orang baik itu benar-benar ada" aku mencium nisan dengan nama 'be'.
Dia dan ibunya telah meninggal 6 bulan yang lalu, salah 1 korban pembantaian. Hanya adiknya yang selamat karna waktu itu sedang pergi berkunjung ke penjara hendak memberitahu ayahnya bahwa ginjal ibu nya akan di operasi dan be sendiri adalah pendonornya, padahal waktu itu ibunya berpropesi sebagai wanita malam. 1 bulan kemudian Ayahnya menyusul.
Jasad be baru di temukan saat aku dan Diar berjalan di pesisir pantai, menikmati senja. Persis di rumah kayu. Terdapat puluhan tubuh yang mulai membusuk di dalamnya, 1 2 wajahnya masih ku kenali, anak yang pernah be ceritakan pada malam itu dan hanya be lah yang paling mencolok, meski tubuhnya sudah tak berbentuk, ada darah yang sudah mengering di mana-mana, bahkan organ tubuhnya sebagian hilang, mungkin di ambil oleh si pembantai sehingga menyisakan rongga di bagian-bagian tertentu, tapi tetap tidak bisa di pungkiri, bagiku, be adalah pemilik senyum paling menyenangkan.

---------------------Selesai----------------------

Panggil Saja BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang