Pancaran redup senja hampir sirna di ufuk barat. Hangatnya menyembilu tusukkan raga, sengatkan jiwa.
Waktu begitu baik. Detiknya ulurkan secercah suka cita. Setidaknya bukan cukup perihal Hendra, namun ini tentang kakaknyaーSurya.
Tepi mulut Hendra gariskan senyum. Menyusun untaian rasa haru paling diam. Sepasang biji mata itu tak henti memandang gestur kenaifan sang kakak. Sebaik mungkin meruncingkan rungu atas berbilah-bilah bahasa lugu.
"Wah, lihat, Dra, yang berkicau itu burung? Mereka bergerombol, keren."
"Ya, itu burung gereja, Kak."
"Kalau gumpalan putih yang agak gelap itu?"
Bibir sang adik menghempaskan tawa paling halus dan sesejuk senja. "Itu yang disebut awan."
Sorot menyatakan gairah beralih menerpa ujung yang berbeda. "Yang bergerak tenang di sana? Apakah itu yang namanya pohon?"
"Benar, itu pohon, Kak. Warna daunnya yang berwarna hijau kekuningan di sana. Batangnya yang besar itu berwarna hitam kecoklatan."
Binar membias dalam manik Surya. Manik yang kini menganyam warna. Lega rasanya dapatkan sahutan sempurna akan ketenangan hati dari kerabat terikat DNA yang dipanggilnya adik, Hendra. "Woah, mereka benar-benar indah."
Puk!
Tercabut pana Surya ketika sentuhan zat terlembut meremat indera. Sejulur tangan mungil yang mendarat di lutut Surya mencuri atensi dua laki-laki di bangku taman. Tidak merespon, namun sinar mata Surya menggambarkan kesima. Dahinya mengerut rancu.
"Om, mau main tiup gelembung sama aku, nggak?" Air muka pancarkan kepolosan tersemat di wajah mungilnya ketika bertanya pada Surya.
"Waktu masih kanak-kanak, kita seperti dia, lho, Kak." Hendra tiba-tiba mencampuri percakapan. Sedikit menegaskan akal Surya yang sementara kusut.
Tidak lama, senyum mengembang pada wajah bak lukisan di antara senja. Kekaguman Surya lingkupi sosok mungil di sana yang senantiasa mengharap balas. "Tidak kusangka, saya pernah semungil kamu. Ayo, kita main."
Lantas dua tangan saling tertambat. Seruas jari kokoh itu mencengkeram moleknya ruas jari yang lain. Tubuh Surya terjaga dari bangku taman dan menjadi pendamping paling elok bagi si bocah. Turut menjelma jadi sesama di bawah naungan senja.
Masih menyimpan pemandangan indah di ujung sana milik kakak dan satu anak kecil dalam pelupuk mata Hendra. Bahagianya bak hangat hati keluarga.
"Tolong maafkan anak saya yang sembarangan mengajak main. Dia sangat suka sekali bertemu orang baru." Rupa wanita muda hampiri Hendra sama lancangnya saat anak kecil tadi mengemis pandang.
"Oh, dia anak mbak?"
Wanita muda yang bersama Hendra mengambil alih singgahan Surya di bangku sana beberapa waktu lalu seraya kepala yang mengangguk sekali.
Perhatian wanita yang menetap pada sosok Surya tersirat ragu. "Saya dengar tadi dia begitu banyak bicara dan seakan bergurau dia itu anak kecil. Apa dia kakakmu?"
Hendra mengiyakan.
"Berapa umurnya?"
"Dua puluh enam tahun," sahut Hendra kerap merakit senyum.
Seolah tergemap, wanita itu mengerutkan kening. Tak yakin benar.
Namun, Hendra menambahkan diksi. "Kak Surya baru menjalankan operasi transplantasi mata kemarin, Mbak. Dan ini menjadi hari pertama matanya terbuka melihat dunia selama dua puluh enam tahun."
Wanita di sana menengok ke arah Hendra yang tak rampung ulumkan senyum. Ekspresinya merajut rasa sesal atas stigma terpa figur di sana yang menyongsong senja gembira.
"Maafkan...,"
"Om yang di sana!" teriak anak kecil berlari menuju Hendra. Gerakan helai bajunya melambai-lambai melawan desir angin. Tangan mungil yang tidak berhasil terkepal sepenuhnya kala memeluk botol gelembung cair terulur mantap. "Ayo, tiupkan gelembung untuk kami!"
"Aku baru tahu, gelembung cair itu bundar. Selama ini aku selalu bertugas meletuskannya." Surya melanjutkan, terkekeh.
Memutuskan percakapan dengan wanita di sampingnya, Hendra menerima uluran tangan itu tanpa gumam hati. Sejenak menaik-turunkan tangkai media pembentuk gelembung, kemudian meniupnya lembut. Upaya Hendra mendatangkan berpuluh-puluh gelembung tipis besar dan kecil hiasi langit oranye yang terlukis redup.
Ada dua orang yang bersemangat menusuk-nusuk gelembung cair di sana dengan jemarinya. Jari-jari milik Surya dan bocah sembilan tahun bermata sipit. Sedikit demi sedikit gelembung-gelembung di udara meletup-letup samar seiring pecah.
Pemandangan mengharu biru sesakkan dada seorang wanita di sana. Tepi mulutnya ulaskan senyum sendu. Terlalu takjub.
Ingatlah wanita muda kala senja itu merupakan sesosok ibu yang kini panjatkan syukur atas kehadiran malaikat kecil yang menatap dunia tanpa mengecapnya dari hantaran dongeng orang lain. Pun ingatlah Hendra yang layak tuk lantunkan simfoni bangga atas akhir pergumulan sang kakak menentang hitam hidup terpoles nelangsa.
- - -
Tamat.
Note :
Kisah ini terinspirasi dari video motivasi instagram yang pernah author temuin dengan tema "don't judge book by it's cover".
Jangan lupa tinggalkan jejak vote atau comment. Terima kasih 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Euforia Senja
Short StoryEuforia terindah berada dalam hangatnya keluguan senja