Bagian satu

66 7 3
                                    

Fajar

Kursi kayu itu bergoyang dengan sendirinya sesaat ketika seorang wanita merebahkan tubuhnya seratus dua puluh derajat diatas permukaan alas kursi ini.

Punggung serta rambutnya yang tergerai lurus telah sepenuhnya menutupi ukiran khas yang timbul pada kursi ini.

Ia tepat menghadap jendela kamarnya yang terlihat buram, mungkin karena hujan yang turun sejak pagi tadi. Membasahi seluruh penjuru sudut kota ini.

Hawa dingin membungkus suasana sore ini, menusuk tulang-tulang, merasuk ke dalam hati. Merusak pendirian.

Wanita itu persis seperti Mama ku saat aku masih belia bahkan bisa dibilang kanak-kanak. Bedanya usia Mama ku saat itu lebih tua dibanding dengan wanita yang aku lihat sekarang ini.

Sore ini aku menikmati setiap lamunanku bak buku novel yang tertulis per segmen cerita.

Aku sedang mengenang tentang diriku beberapa tahun lalu termasuk kehilangan Mama untuk selamanya meninggalkan kami, Aku dan adik perempuanku Nadia.

Hal yang paling menyesakkan ku adalah ketika Mama tidak dapat lagi terbangun dari pingsannya untuk selamanya, tidak dapat juga melihat kesuksesanku kelak. Kebahagiaanku juga.

Wanita usia dua puluh tahunan-an sudah cukup mengerti betapa dalamnya kesedihan yang tertuang kala itu.

Hujan turun, semesta pun bersedih. Mengkhidmatkan suasana.

Membiarkan kami berdua terpaku di depan tempat istirahat Mama untuk selamanya.

Bulir air berkali-kali jatuh menghantam tanah membuat sepatu kami kotor. Itu tak seberapa dibanding dengan duka yang kami hadapi. Duka mendalam bagi siapapun yang mengetahuinya.

Bagaimanapun juga, Mama adalah seseorang terbaik dalam hidup kami. Selalu menemani setiap langkah kami.

Ia menjadi sosok figur seorang ibu yang patut ku contoh. Kelak aku akan seperti Mama, mengasuh anak-anak ku.

Ia juga akan selalu aku kenang kapanpun,

Aku belum terbiasa hidup tanpa orang tua. Hanya tersisa kami berdua di keluarga ini, tak ada lagi kerabat yang tinggal di kota ini. Semuanya berbeda pulau.

Isak tangis ku tak terbendung, air mata membasahi pipi bak lautan samudera. Begitu pula dengan adikku.

Semenjak itu kami yatim piatu, setelah ditinggalkan Papa ku ketika aku masih kanak-kanak, untuk selama-lamanya.

Ditinggalkan seseorang tercinta.

Ingatanku bak sedang diramu, tajam meruncing mengingat masa lalu.

Akan ku ceritakan bagaimana tentang kehidupan ku ketika dulu, ketika semua terasa baik-baik saja. Ketika semua terasa riang gembira.

Namun dalam hitungan waktu bahkan secepat mata berkedip, semuanya berubah. Bukan sebuah ilusi. Ini kenyataan.

Semuanya bermulai dari sini, halaman buku yang seharusnya ku lipat. Sebagai tanda awal cerita tentangku.

**********************

Fajar menyingsing memancar ke seluruh penjuru kota, menembus rindangnya pepohonan kampung ini.

Rumah yang berhadapan langsung dengan sorot mentari membuatnya seolah sebuah rumah yang istimewa.

Hening syahdu mendekatinya bagai rumah tak berpenghuni.

Siapa sangka, disanalah kehidupan kami bertiga. Papa, Mama dan Aku.

Keluarga kecil yang nantinya seseorang diantara kami tumbuh tersohor ke berbagai antero raya. Mengubah seratus delapan puluh derajat kehidupan kami.

SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang