Permulaan tiada batas

6 1 0
                                    

Ji A pandangannya yang tak pernah kosong menatap keluar jendela kamarnya, ia menatap hujan yang berjatuhan tanpa merasakan sakit. Ji A kembali memikirkan betapa menyedihkan dirinya, belum genap ia satu bulan  meninggalkan episode kehilangan sosok terkasih ibunya, kini ia harus menerima episode kehilangan orang yang mengisi hatinya.

"Aku tau... janji manusia sangat lebih lemah dari takdir..." Ji A terus mencoba menguatkan hatinya yang terlalu sering merasakan kerapuhan dan luka, ia telah banyak kehilangan orang-orang yang dicintainya, pertama satu tahun yang lalu neneknya, kemudian satu bulan yang lalu ibunya, dan kini... laki-laki yang telah berjanji untuk bersamanya.. sedang melakukan ijab qobul dengan wanita yang dijodohkan dengannya...

"Ji A, apakah kamu akan baik-baik saja sendirian di rumah?" Suara kakaknya Sarah dari balik pintu kamar Ji A.
"Iya kak, aku sudah terbiasa dengan kesendirianku.. tenanglah.." jawab Ji A seraya membuka pintu.
"Apa kamu yakin tidak mau ikut menghadiri walimahan Firman?, kami akan menunggu jika kamu berubah fikiran Ji A, jika tidak kamu mungkin akan sendirian di rumah selama lima hari.."
Ji A terdiam memikirkan rasa sakitnya, lebih baik sendirian di rumah selama lima hari dari pada harus melihat kenyataan pahit yang secara tiba-tiba ini, betapa tidak baru tiga hari yang lalu Firman mengungkapkan rasa rindunya ke Ji A yang disaat itu Ji A mendengarnya dengan di hiasi senyum penuh berbunga di bibirnya yang ranum buah delima.
"Tidak perlu kak, karenaku tidak akan berubah fikiran... pergilah aku akan menyibukkan diriku dengan pekerjaan dan hobiku, aku akan baik-baik saja.."
  Ji A kemudian berusaha menampakkan senyum pahitnya. Sarah terperanjat lalu memeluk adik satu-satunya dengan kehangatan.
"Kamu jangan tersenyum saat hatimu terluka Ji A, karna itu termasuk kebohongan, dan kebohongan tetaplah terasa pahit dimanapun ia berada.." bisik Sarah pada Ji A yang masih berada dalam pelukannya, lalu perlahan Ji A melepas pelukan kakaknya.
"Iya... kakak benar, sekarang pergilah bersama yang lainnya jangan sampai ketinggalan pesawat karnaku, aku hanya akan mendo'akannya dari sini.."
Sarah menatap Ji A mencari kepastian, dan akhirnya ia tersenyum.
"Yaa.. baiklah, kakak tau adik kakak yang cantik manis ini memang kuat, suatu hari nanti Firman pasti merasakan sebuah penyesalan karena telah membuang permata surga."

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ayah Ji A menatap Ji A untuk yang terakhir sebelum masuk ke dalam mobil
"Kau benar tak mengapa putriku?" Tanyanya kemudian, Ji A menyunggingkan senyumnya dan memeluk ayahnya
"Iya ayah, Ji A akan baik-baik di rumah."
Ayahnya membelai lembut kepala Ji A yang terlapis hijab panjangnya
"Baiklah putriku yang cantik, ayah pergi dulu, jaga diri baik-baik, jangan telat makan, jangan terlalu larut tidur, jika ada keperluan apapun datang ke rumah bibimu,ya sayang"
"Siap ayahku tercinta.." jawab JiA dengan mantap dan memperlihatkan sikap hormat.

Tak lama kemudian mobil melesat dan menghilang, kini tinggal ia sendiri di rumah ini, Ji A menutup pintu dan sayup-sayup suara adzan magrib terdengar, sesuai kebiasaannya Ji A selalu menyegerakan untuk mengambil air wudhu' begitu ia mendengar adzan.
Suara merdu nan lembut lantunan Ji A membaca Al Qur'an menggema menghidupkan rumahnya yang senyap, seakan energi positif telah mengalir di segala sisi rumah, setelah selesai membaca Al Qur'an, Ji A membenamkan dirinya dalam lautan muhasabah, tanpa sadar ia teringat akan belaian lembut ibunya, lalu beberapa kenangan manis saat ia masih kecil, hingga pada saat Firman berjanji bila tugas dakwahnya di Lampung telah selesai ia akan mengkhitbahnya dan meminta Ji A untuk menunggunya, air mata Ji A tanpa sadar telah mengalir membasahi pipi pualamnya, begitu banyak hal yang terjadi padanya dalam waktu singkat, dan semua itu terjadi tanpa menunggu apakah ia siap atau tidak, Ji A hanya percaya bahwa apa yang dialaminya saat ini adalah cara Allah untuk menambah tingkat kesabaran untuknya, dan kesabaran akan memberikan buah yang manis tanpa celah suatu hari nanti.
Ji A mengusap air matanya, ia melepas mukenah dan melipatnya dengan rapi lalu meletakkannya dalam laci meja riasnya, Ji A menatap pantulan wajahnya di cermin, ia melihat betapa menyedihkannya wajahnya saat ini, mata beningnya menyiratkan kesenduan, cahaya kebahagiaan semakin memudar darinya, Ji A meraih sisir di depannya dan mulai menyisir rambut panjangnya, yang telah menjadi kebiasaan Ji A menyisir rambut sebelum tidur, lalu memakai night cream diwajahnya, setelah itu barulah Ji A dapat berdo'a lalu berbaring untuk tidur, lalu sayup kesadaran mulai menghilang perlahan... tidur.

Ji A terbangun tepat saat jam alarmnya berbunyi menunjukkan pukul 03.00 am tepat, dengan menyadarkan dirinya Ji A berjalan perlahan ke kamar mandi untuk mengambil air whudu', menjalankan ibadah tahajud yang dimana di saat itu Allah turun ke langit dunia, dan di saat itu yang ingin Ji A lakukan adalah bersimpuh dan mengadu padaNya hingga hatinya merasa ketenangan yang mendamaikan.

cahaya di atas cahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang