2 Memulai....

1 1 0
                                    

Seperti biasa, di pagi hari semua orang biasa sibuk untuk mengawali harinya dan melakukan rutinitas hidup masing-masing, sedangkan Ji A pagi ini ia mencoba memupuk kembali semangat hidupnya yang sempat kehilangan harapan. Ji A berjalan menuju ruang kerjanya sebagai manager lembaga privat Basmallah center, ia perlahan membuka pintu dan menatap ke dalam, Ji A tersenyum untuk dirinya sendiri "Bismillah.." ucapnya dalam hati, ia melangkah ke arah tempat duduk yang setia menunggunya, namun, begitu ia duduk ia baru menyadari ada sepucuk amplop putih besar berlisensi IISO (Islamic International Saver Organization), Ji A mengerutkan alisnya, ia baru ingat tiga bulan yang lalu ia mengikuti serangkaian tes IISO agar dapat ikut menjadi relawan di Xinjiang.
Ji A membuka amplop dengan hati-hati, di dalamnya Ji A menemukan surat yang menyatakan dirinya diterima, Ji A benar-benar tak percaya dirinya diterima, apa yang harus ia lakukan sekarang?, Ji A dahulu mengikuti test itu dengan semangat menggebu ia terus bertanya apakah dirinya masih bisa pergi ke negri bambu untuk membantu saudara-saudari seiman muslim uygur yang saat ini tertindas extremisme, Ji A berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, tiba-tiba Rani dan Emma membuka pintu dan langsung berhambur ke arahnya tanpa permisi, kebiasaan kedua sahabat ini sudah dimengerti Ji A
"Ji A, bagaimana kamu sudah membaca suratnya kan?" Tanya Rani tak sabar, diiringi anggukan  Emma.
"Iya.. baru saja."
"Terus gimana hasilnya?" Tanya keduanya bertambah penasaran
"Aku di terima... tapi..."
"Tapi kenapa Jihan Azizah Salsabila?" Sahut Emma dengan menyebut nama panjang Ji A yang berarti ia benar-benar penasaran
"Apa menurut kalian aku masih mampu?"
"Tentu saja, kamu diterima itu bukti kalau kamu mampu Ji A, ada apa?, kami selalu mendukungmu, iyakan Emma?"
"Tentu... kami selalu mendukungmu.. justru mungkin bisa jadi ini jalan terbaik untukmu sayang."
Ji A menatap kedua sahabatnya keduanya memiliki ketulusan dalam persahabatan ini, Ji A tersenyum kemudian.
"Baiklah, kalau kalian begitu yakin padaku, aku percaya kalian"
Ji A terkaget karna keduanya langsung memeluknya dengan erat secara bersamaan
"Uuuh, kalian mengapa selalu saja seperti ini.."
"Tak mengapakan Ji A, selama tak ada yang memelukmu lebih romantis dari pada aku dan Emma, maka kita akan selalu seperti ini.."
"Iyyuuupz, yang dikatakan Rani itu benar sekali."
"Okay... terserah kalian sahabat-sahabat terbaikku, aku akan menelepon pihak ISSO untuk melakukan konfirmasi."
"Iya cepat lakukanlah Ji A, selagi kami masih di sini"
Ujar Emma seraya melirik Rani dan Rani mengangguk, Ji A mengambil handphone dari dalam tas, mengetikkan nomor dalam surat untuk melakukan konfirmasi, suara panggilan terhubung dari seberang.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ji A masih begitu sibuk dengan koper besar di hadapannya, bagaimana tidak? Ia akan pergi ketempat yang sangat jauh, tempat yang sangat asing bagi Ji A, dan dia pergi kesana bukan untuk liburan, melainkan ada petualangan nyata disana, peperangan antar etnis, extremisme, dan tiada orang yang Ji A kenal disana, yang ada hanyalah perjuangan, perjuangan yang melibatkan nyawa, dan mengapa Ji A kembali bersemangat untuk pergi?
Itu karna Ji A ingin belajar cara untuk berjuang dengan sungguh-sungguh dalam hidup dan bukan untuk dirinya, melainkan orang lain yang tidak ia kenal, dan dengan begitu Ji A juga merasa akan benar-benar belajar mengikhlaskan...

"Ji A, jangan tidur terlalu larut sayang, besok kau akan embarkasi jam delapan pagi kan?" Suara lembut ayah memecah keheningan, Ji A tersenyum kepada ayahnya.
"Iya ayah, Ji A sebentar lagi selesai, lalu akan segera tidur."
"Oke, bagaimana kalau ayah membantumu berkemas?"
Ayah Ji A duduk di samping Ji A sebelum Ji A menjawab.
"Terima kasih ayah, Ji A banggaaa punya ayah seperti ayah, dan ayah adalah ayah terbaik di dunia." Ji A sambil tersenyum manis
"Sudahlah, ayah juga bangga punya anak perempuan yang manis, cantik seperti ibunya, dan pintar, seperti ayahnya dan berhati baik seperti keduanya."
"Haha, ayah.."
Canda tawa Ji A dan ayahnya yang menyelingi pekerjaan mereka, di hadapan ayahnya Ji A hanya ingin selalu terlihat bahagia meski sesakit apapun rasanya, mengapa? Itu karena cara sederhana Ji A membuat ayahnya bahagia, Ji A selalu merasa ayahnya adalah yang terbaik, dan mengapa? Dan karena ayahnya selalu bisa menjadi ayah yang baik meski tidak pernah merasakan dan diajari menjadi ayah yang baik, kakek Ji A meninggal sejak ayahnya masih dalam kandungan nenek, betapa luar biasa bukan???
Naluri kasih sayang memang takkan pernah salah melangkah meski tiada yang mengajarinya melangkah.
___                __________

Ji A merasa gugup bukan main, dirinya benar-benar akan memulai perjuangannya sendiri saat ini ia telah berada dalam pesawat yang membawanya terbang ke Xinjiang, Beijing.

cahaya di atas cahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang