"Ibu, kami pulang!" Terdengar suara bersamaan yang membuat sang ibu menyahutnya dari dapur.
Jeno Galang Samudra melemparkan tas nya dan kemudian dengan keadaan yang lelah ia menduduki salah satu kursi yang ada di meja makan sambil menumpu kepalanya pada lipatan tangan yang ia taruh di meja.
Sedangkan sang adik kembarnya, Eric Gilang Samudra segera ke kamarnya dan menaruh barangnya dengan rapih, tak lupa ia segera mandi akibat aktivitas di sekolah yang menguras tenaganya.
Sang ibu hanya tersenyum melihat tingkah kedua anak kembarnya yang berbeda itu, Jeno cenderung lebih banyak diam. Ah, tidak lebih tepatnya ia adalah seseorang yang kaku, sulit di ajak berbicara karena Jeno adalah orang yang tidak bisa bercanda yang terkadang membuat keadaan seru menjadi awkward karenanya.
Maka dari itu Jeno lebih banyak diam dan bicara apabila memang ia perlu berbicara atau memang bisa ia ceritakan.
"Ibu masak apa?! Eric udah wangi loh!" Eric turun dari lantai atas dengan suara yang berisik membuat Jeno yang hampir tertidur di meja makan itu mengusap telinganya kasar.
"Berisik banget sih?" Jeno protes sambil memandang Eric dengan alis yang ia tukikan, sedangkan Eric menyilangkan kedua tangannya di dada sambil menatap Jeno kesal.
"Biarin! Daripada Jeno, diem terus wle!" Eric memeletkan lidahnya mengejek Jeno.
"Panggil aku Kak, aku Kakak mu!"
"Tidak mau! Kita kan hanya berbeda 7 menit,"
Jeno yang mendengarnya pun segera mengapit leher Eric dengan lengannya sedangkan Eric memukul-mukul paha Jeno dengan keras.
"Kau belum mandi! Kau bau sana pergi jauh dariku, Ibuuu~" Eric meronta sambil merengek di apitan Jeno sedangkan Jeno hanya tertawa melihat sang adik yang ia kerjai.
"Sudahlah kalian, cepat makan dan ibu ingin berbicara." Ucap Sang Ibu sambil tersenyum tipis, Jeno dan Eric pun menyudahi berantem ala mereka dengan menyendokan nasi dan lauk pauk yang mereka suka.
Setelah mereka selesai makan sang ibu pun mulai membenahi makanan mereka dan mencucinya, membiarkan kedua anak kembarnya beristirahat sebentar sebelum kemudian akan memulai perjalanan yang terbilang cukup panjang.
Sesudahnya sang ibu dari pekerjaannya ia mulai mengambil sebuah surat lusuh dari bawah taplak di atas kulkas dan menghampiri sang anak yang tengah bermain di ruang keluarga.
"Jeno, Eric. Ini pesan dari ayah kuharap kalian mengerti," sang ibu mendudukan dirinya bersamaan dengan kedua anaknya yang dengan ragu mengambil surat tersebut dari tangan ibunya dan membuka suratnya dengan bergetar.
Serangkaian kata yang tersusun dalam tulisan di kertas tersebut dengan tinta yang hampir menembus, Jeno dan Eric baca dengan teliti tak ingin satu kalimatpun salah dengan apa yang mereka baca. Namun tetap saja mereka tak mengerti dengan surat ini, apa maksudnya? Dan apa tujuannya?
"Apa maksud dari ketika 19 itu datang?" Jeno bertanya pada sang ibu sambil menutup surat yang telah ia baca.
"Dan apa maksud dari pinus yang dirangkai itu menunggu?" Eric kembali bertanya.
Sang ibu pun menghela nafasnya kemudian mendekatkan dirinya pada Jeno dan Eric, ia akan memulai kisah yang kemungkinan akan membuat Jeno dan Eric tidak percaya.
"Kalian tau? Kalian adalah anak yang istimewa, kecerdasan kalian menurun dari ayah kalian. Sesungguhnya aku tidak mengerti harus menyebut kalian apa, tetapi kalian tidak sepenuhnya manusia." Ucap sang ibu yang membuat Jeno dan Eric membelalakan matanya.
"Apa maksud ibu? Lalu kita ini apa?!" Jeno mengguncang bahu sang ibu sedangkan Eric mencoba menenangkan Jeno dengan kekhawatirannya.
"Aku menikahi seorang ksatria dari dunia lain, dan mereka bukan manusia pada umumnya. Ayah kalian tidak kesini saat kalian lahir karena ia bertugas di dunianya, sekarang kalian sudah 19 tahun dan ini waktunya kalian mengikuti ayah kalian, disana ada sedikit masalah dan ia membutuhkan keturunannya. Tolong mengerti, sebenarnya akupun tak ingin kalian pergi meninggalkanku hiks-"
Sang ibu menangis, menutupi wajahnya yang berlinang air mata itu dengan kedua tangannya sedangkan Eric yang melihat itu memeluk sang ibu mengusap punggung sang ibu dengan lembut sambil berupaya untuk tak meneteskan air matanya yang bisa kapan saja jatuh.
Jeno pun masih dengan keterdiamannya, meskipun ia masih terkejut dengan siapa dirinya sekarang tapi bukan berarti ia jatuh begitu saja. Maka dari itu Jeno pun berdiri dan menuju kamarnya.
Membereskan baju-baju dan juga beberapa peralatan yang kemungkinan akan berpengaruh penting disana.
Ia menggeret tas kopernya membuat suara berisik yang dapat mengalihkan kedua pandangan saudara dan ibunya itu.
"Kemana kita harus pergi?" Ucap Jeno berdiri di depan mereka yang masih berpelukan.
Eric melihat saudara kembarnya dengan wajah yang kesal, kemudian ia ikut berdiri dan mendorong pelan bahu Jenod dengan tangannya.
"Apa yang kau lakukan?" Ucap Eric dengan intonasi yang marah.
"Apa lagi? Ayah menginginkan kita pergi ke sana!" Jeno membalas dengan nada tinggi.
"Lalu bagaimana dengan Ibu? Kau tega meninggalkannya sendirian?!" Eric marah, ia cukup kecewa dengan keputusan saudaranya itu.
"Ibu yang meminta kita untuk pergi!"
"Kalau begitu kau saja yang pergi, aku akan tinggal!" Eric memutuskan perdebatan mereka sedangkan Jeno menghela nafas kasar.
"Tidak nak, kalian berdua harus pergi. Ibu tidak apa bila sendiri," lalu sang ibu bersuara membuat Eric melunak.
"Tapi ibu-"
"Tidak, kau harus pergi. Kumohon," ucap sang Ibu sehingga pada akhirnya Eric mengangguk dan kembali ke kamarnya untuk mengemas beberapa pakaian dan barang yang perlu.
"Oke, aku tidak tau ini akan bagaimana tapi aku minta kalian untuk berhenti berdebat, ayo bekerjasama sebagai tim. Tidak, sebagai saudara. Kalian dilahirkan untuk memiliki pikiran dan juga hati yang berkesinambungan, jadi ibu mohon. Percayalah pada diri masing-masing.
Jeno dan Eric menatap satu sama lain kemudian mengangguk, sedangkan sang ibu hanya tersenyum senang dan mulai menuntun mereka ke rooftop dimana tempat itu adalah tempat yang biasanya mereka kunjungi ketika letih.
Sang Ibu menuntun mereka untuk ke pojok dari rooftop itu dan berhadapan dengan rak yang berisi piala mereka berdua, mereka hanya mengamati sang ibu yang kini mulai mengangkat masing-masih tangan kiri mereka dan menempelkannya pada tempat yang dulu ia kira hanyalah pajangan telapak tangan.
Setelah tangan mereka menyentuh, rak tersebut mulai bergeser dan memperlihatkan tempat yang gelap, sedangkan sang ibu kini mulai menatap kedua anaknya kembali.
"Nak, masuklah kesitu dan temui ayahmu. Semoga berhasil, aku menyayangi kalian." Ucap ibu sambil mengelus kedua pipi anaknya masing-masing.
"Heum, Eric menyayangi ibu," Eric tersenyum sedangkan Jeno hanya menatap ibunya kemudian tersenyum.
"Aku juga," lalu mereka mulai memasuki rak tersebut dan menghilang.
Sedangkan sang ibu hanya tersenyum sedih, sambil mengingat ucapan Jeno yang hanya membalas sayangnya dengan singkat.
Anak itu begitu tsundere.
•••
Kembali lagi dengan cerita Juric, dan dengan cast Nomin juga wkwkwk. Btw kayanya aku gak bikin ini jafi 5 chapters. Mungkin bisa lebih karena perchapter aku cuman pakai 1k word aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sour Story [Juric and Nomin]
FantasyJeno dan Eric adalah saudara kembar dengan sifat yang berbeda, suatu hari ia mendapatkan pesan dari sang Ibu untuk pergi dan bertemu sang Ayah yang bahkan dari kecil pun mereka tak pernah bertemu dengannya terkecuali melihatnya dalam potret. Sesampa...