Karena Sebuah Foto (ONESHOOT)

58 15 4
                                    

Versi Revisi


Author POV

"Sudah ah! Aku nggak mau dengar penjelasan bodohmu itu! Aku tutup teleponnya. Dan jangan menghubungiku lagi! Bye!"

Seorang perempuan berparas cantik menutup sambungan teleponnya dengan raut wajah kesal. Ia menyimpan handphone miliknya itu di tas selempang kecilnya. Kemudian, perempuan itu menekan tombol lift dan masuk ke dalamnya.

"Dasar tak tahu terima kasih! Masih untung aku kasi perhatian. Cih! Bisanya memanfaatkan orang lain saja! Pokoknya, aku nggak mau berhubungan dengannya lagi," perempuan itu mengomel tanpa peduli dengan tatapan orang lain di dalam lift.

Yah, yang tadi diteleponnya itu adalah kekasihnya, lebih tepatnya mantan kekasihnya yang baru saja ia putuskan. Mantannya itu memang orang yang brengsek. Selama ini, mantannya itu memiliki kekasih lain. Bukan hanya seorang, melainkan tiga orang. Bayangkan saja! Siapa sih, perempuan yang tidak marah jika kekasihnya menyimpan tiga perempuan di belakangnya?

"Nak Miraya, wajahnya kok kesal begitu? Ada masalah, ya?" seorang wanita paruh baya tiba-tiba bertanya ke perempuan itu. Wanita paruh baya itu menenteng sebuah kantong belanja di tangannya.

Miraya, perempuan berparas cantik itu, hanya bisa menghela napas mendengar pertanyaan tetangganya. "Nggak ada masalah yang serius, kok. Ibu jangan khawatir, ini cuma masalah sepele. Sudah aku selesaikan tadi."

Wanita paruh baya itu manggut-manggut. Kemudian, lift berhenti di lantai 12. Setelah pintu terbuka, tetangga Miraya itu keluar sambil melemparkan senyum singkat. Tinggallah Miraya di dalam lift dengan seorang laki-laki misterius.

Sekilas, laki-laki itu seperti kebanyakan orang, tapi lama-kelamaan, Miraya merasa ada yang aneh dari laki-laki itu. Mulai dari auranya, pakaiannya, suaranya, bahkan wajahnya pun belum dilihat Miraya. Suara anehnya itu lebih mirip suara hantu-hantu di film horor yang pernah ditontonnya daripada suara manusia normal.

Lift kembali berhenti. Kali ini berhenti di lantai 13. Miraya tetap di dalam lift karena apartemennya berada di lantai 14. Berbeda dengan laki-laki itu. Ia melangkah keluar dari lift meninggalkan Miraya sendiri di dalamnya.

Miraya memerhatikan laki-laki itu saksama hingga ia masuk ke apartemennya yang hanya berjarak dua pintu dari lift. Tanpa sadar, Miraya menghela napas lega. Aura laki-laki itu masih terasa di dalam lift dan itu membuatnya sesak.

Pintu lift tertutup. Miraya hendak menekan tombol angka 14, tapi tangannya berhenti dan menggantung di udara. Saat itulah, Miraya melihat kantong kain hitam tergeletak di lantai. Dengan ragu, ia mengambil kantong itu dan melihat-lihatnya.

Perasaan ... kantong ini tadi nggak ada di sini. Kok ...? Hei, apa jangan-jangan, benda ini milik laki-laki misterius tadi?

Sontak tangan Miraya menyentuh tombol pembuka lift. Dirinya menyuruhnya untuk segera mengembalikan kantong ini ke laki-laki itu. Firasatnya mengatakan kalau sesuatu yang buruk akan terjadi jika benda ini tetap padanya.

Ting tong ... ting tong ...

"Permisi! Mas! Eh salah, Om! Om! Buka pintunya!" Miraya mengetuk pintu nomor tiga di lantai itu. Dengan sabar, ia menunggu si pemilik apartemen membukanya.

Satu menit.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Lima belas--

"OM! BUKA PINTUNYA!" Miraya menggedor-gedor pintu itu dengan keras. Ia panik. Ayolah, perasaannya semakin tidak enak. Apa susahnya buka pintu saja?

"KALAU OM NGGAK BUKA PINTUNYA, NANTI SAYA DOBRAK, LHO!" ancam Miraya. Tetap tidak ada jawaban, membuat Miraya semakin kesal.

Tanpa pikir lama, Miraya mendobrak pintu  itu dengan sekuat tenaga. Ternyata, pintu terbuka dengan mudah. Pemandangan gelap dan mencekam menyambutnya.

"Serius, nih? Kok angker sekali, ya, rasanya?"

Miraya mengelus bulu kuduknya yang berdiri. Lehernya meremang, seperti ada yang memegangnya dari belakang.

Dengan langkah perlahan, Miraya berjalan menyusuri ruang tamu yang terlihat berdebu.

Karena Sebuah Foto #ShortStoryEventPSWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang