"T-tolong menjauhlah dariku..."
Kau berjalan agak cepat, jantungmu berdebar, berusaha menghindari sosok yang terus saja mengejarmu dari kemarin.
Sosok itu adalah orang yang kau kenal dan kau pun sudah meminta dengan baik-baik untuk tidak mengikuti dirimu kemanapun kau pergi. Tapi nihil, ia tidak mengikuti instruksimu dan malah semakin membuatmu ketakutan.
Yah, kalau dibilang ketakutan sih... lebih tepatnya kesal.
"Sekali lagi, aku bilang, tolong menjauhlah dariku―"
Pria itu menatapmu dengan datar, menggelengkan kepalanya seraya berucap, "―tidak mau."
Perempatan imaginer terlihat di pelipismu, wajahmu memerah dengan kepalan tangan yang sudah siap untuk menghantamnya.
"Kalau begini terus... Aku mana bisa tenang pergi kemana-mana, Uduki Arata!"
Arata, pria bersurai hitam yang sedari kemarin meneror penuh kehidupanmu. Padahal hanya karena kau membelikannya susu strawberry saat dirinya lupa membawa uang, pria itu mulai mengikutimu kemanapun kau pergi.
Wajahnya masih sama, datar seperti tripleks. Apalagi sorot matanya yang tak berubah dari pertama bertemu, membuatmu semakin kesal.
"Aku hanya ingin membalas budi padamu soal yang kemarin, apa itu tidak boleh?" tanyanya datar.
Kau mengerang, memikirkan sesuatu, wajahmu berkerut, alismu tertaut. "Kalau balas budinya bukan hal yang aneh, aku ijinkan."
Arata mengangguk cepat, memperlihatkan ibu jempolnya kepadamu.
"Tenang saja, bukan hal yang aneh, kok."
Dalam hati, Arata bersorak ria, memuji dewi fortuna yang kali ini tengah berpihak padanya sembari membatin.
Yes! Aku tidak bakal dimarahi oleh Hajime-san plus bisa pdkt dengan [Name]!
Bucin, memang.
Kembali, Arata mengajakmu ke sebuah Cafe, mempersilahkan dirimu untuk duduk di meja bar kecilnya. Kau mengambil tempat sesuai dengan yang diarahkan Arata.
Irismu terpaku, menatap betapa memukaunya ornamen-ornamen yang berada pada Cafe itu. Tsukino Cafe, namanya.
Perhatianmu buyar ketika Arata menepuk pundakmu pelan, memberikan daftar menu. Begitu banyak makanan dan minuman yang menarik perhatianmu.
"Ini aku pesan terserah 'kan?" tanyamu sembari meliriknya melalui ekor mata.
Arata mengangguk dengan rasa kebingungan, "Tentu saja. 'kan kau yang bayar...?"
Perempatan imaginer sekali lagi muncul, menghiasi pelipismu. Tanganmu sedikit menggebrak meja, beruntunglah walaupun melakukannya, kau tidak menarik perhatian para pengunjung yang lain.
"Terus balas budi yang mana kau ingin berikan padaku, Uduki Arata?"
Kesabaranmu habis, irismu memicing menatapnya. Memanggilnya dengan nama lengkap. Arata menegak ludahnya kemudian mengibaskan tangan kanannya.
"Maaf maaf, aku bercanda. Aku traktir kok―"
Hawa berat mulai berkurang, senyum manis terulas baik di wajahmu. Menggantikan amarah yang tadinya singgah sejenak.
Tawa kecil keluar, "Baiklah. Kau baik sekali, Arata. Soal pesanan, Blooming Tea saja."
"Baik, tunggu pesanannya, [Name]-ojou."
Bolehkah Arata bertanya pada dirinya sendiri, mengapa bisa ia menyukai gadis sepertimu? Apakah hanya karena pandangan pertama saat dirimu menolongnya di konbini, lalu?
Arata menggelengkan kepalanya. Berusaha mengalihkan pikirannya, ia pun mulai membuat Blooming Tea di bar kecil yang kau tempati.
Beruntunglah, karena Arata sudah belajar dengan baik membuat teh-teh ini, dirinya tidak kesusahan lagi.
"Uh? Kau tidak membuatnya di dalam?" tanyamu sedikit penasaran.
Gelengan kecil yang disertai dengan wajah datar menjadi responnya.
"Keunikan teh ini, kau bisa menikmati proses penyeduhannya yang artistik―"
"―hee... begitu yah."
Setelah beberapa menit menyeduhnya, Arata memberikan tehnya langsung kepadamu. Toh, kalian berdua hanya dipisahkan oleh meja bar saja.
Kau mengerjapkan mata ketika melihat bunga yang di taruh di atas teh. Beberapa detik setelah itu, bunga tersebut mekar.
"Hm, jadi namanya Blooming Tea karena ini, yah?" Kau bertanya yang dibalas dengan gumaman pelan Arata.
Kau terkekeh pelan lalu menikmati teh yang ditraktir―secara paksa―oleh Arata. Rasa hangat juga senang memenuhi relung dadamu. Sedangkan Arata, memperhatikan datar dirimu dengan iris hitamnya.
"Mungkin kapan-kapan aku harus kesini lagi untuk membeli Blooming Tea ini."
"Tentu saja, kau harus datang kesini. Dan bilang, bahwa kau adalah pelanggan tetap yang dibawa oleh Arata kepada Hajime-san," celetuk Arata.
Hoo, jadi anak ini berusaha mengekoriku agar dia tidak dihukum senpai-nya karena tidak membawa pelanggan yah. Kau membatin.
Di dapur, Mutsuki Hajime, sosok yang tengah dibicarakan, bersin.
"Yah baiklah, akan kubilang seperti itu pada Hajime-san―orang yang kau sebut tadi."
Kau menaruh cangkir tehmu, memperhatikan jam tangan yang setia terpasang di tangan kirimu sedari pagi. Tersentak pelan, kau berdiri.
"Maaf Arata. Jangan mengikutiku lagi, aku ada janji dengan Oneesan-ku. Tapi aku akan datang kapan-kapan soalnya aku suka caramu menyeduh tehnya, hehe."
Kau tertawa, melambaikan tangan lalu pergi meninggalkan Tsukino Cafe. Arata terdiam kaku, wajahnya dipenuhi dengan rona merah.
"Arata?" Aoi menyadarkannya.
Kepalan tangan ia acungkan ke udara seraya berucap masih setia dengan wajah datarnya. "Aku berhasil mendekatinya, yes."
Aoi mengerjapkan mata, menggelengkan kepalanya pasrah melihat partner-nya yang tengah dibutakan oleh cinta itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tsukino Cafe! [✓]
Fanfiction"Irrashaimase ojou-sama, apa yang ingin kau pesan hari ini?" Apa jadinya, kalau misalnya karakter Tsukiuta bekerja di cafe dan bukan sebagai idol? Ingin memesan sebuah menu di cafe tersebut―atau hanya melihat mereka? Masing-masing akan disajikan dal...