Kelam

8 1 0
                                    



KELAM
(Maret 2019)

LAMPU taman seakan redup ketika Aku dan Anjani mulai memasuki area yang seharusnya sebagai tempat untuk bersenang-senang, bukan tempat untuk mengusut sejarah kelam dalam hidup ini. Tetapi langit malam ini cukup bersahabat, gugusan bintang malam ini tak malu-malu untuk menampakkan dirinya, walaupun itu tidak sampai sejuta jumlahnya mungkin.

Dua puluh tahun lalu.
Brakkk!” suara itu terdengar keras dari dalam kamar Adipati.
Aku yang saat itu baru saja menginjak kelas satu SD yang tak tahu ada masalah itu sebenarnya. Bapakku memukul meja yang ada di depannya ketika secangkir kopi yang dibawakan Ibu datang padanya.
“Ah, mungkin itu hanya karena kopinya terlalu pahit. Tapi apakah hanya masalah seperti itu sampai membuat Bapak marah.” Aku mengiranya hanya seperti itu. Sependek itu pikiranku saat itu.
“Ah masa bodoh”Aku langsung pergi ke lapangan depan rumah untuk bermain gasing yang sedang tenar pada masa itu.

Hal seperti itu yang masih terbayang-bayang sampai usiaku berkepala dua ini. Betapa kasihannya Ibu yang akan berangkat kerja ke kafe tempatnya mengadu nasib. Ibu terpaksa bekerja di kafe tersebut karena desakan ekonomi kala itu. Sebenarnya Bapak juga tidak mengijinkan Ibu untuk bekerja di tempat semurka itu, mungkin karena Bapak tidak ingin Ibu ada apa-apa. Suara elok dan rupawan wajahnya yang bersinar dapat membawa Ibu bekerja sebagai penyanyi di situ. Walaupun Ibu bekerja di tempat sekeras itu, tetapi Ibu masih menanamkan sifat setia dan kasih sayang di dalam hatinya. Ibu tetaplah orang yang menomorsatukan keluarga, Ibu adalah orang yang setia pada Bapak, dan Ibu adalah orang yang sayang padaku, bahkan sangat sayang, mungkin bisa juga karena aku anak tunggal.

Usut punya usut ternyata saat itu Bapak marah karena Ibu meminta izin untuk pulang lebih malam, bahkan bisa sampai sang mentari menampakkan rupanya dari ufuk timur. Karena jadwal manggung yang dimulai hampir tengah malam itu. Bapak terpaksa tidak mengijinkan dengan rasa marah dalam hatinya. Dalam pikiran yang mengutari otaknya, Bapak berpikir jika Ibu akan melakukan hal-hal yang di luar etika. Saat itu juga ternyata Ibu juga menyatakan berhenti dari pekerjaannya, uang ganti rugi kontrak itulah resikonya, untung saat bekerja Ibu selalu menyisihkan uangnya, tetapi itupun hanya dapat menutupi sedikit uang ganti ruginya. Sejak itulah Aku merasakan pahit kerasnya kehidupan. Nasi dan garam hampir menjadi makanan pokok setiap hari.

“Ternyata, bukan aku saja ya, yang memiliki masalah keluarga serumit itu” ucap Anjani dengan suara merendah.
“Kita buat pelajaran saja, Ni. Aku percaya bahwa Tuhan akan menggantinya dengan anugerah  yang terbaik untuk kita, mungkin saja Kamulah anugrah yang terbaik dari Tuhan yang didatangkan padaku” ucap Adipati dengan sedikit harapan di hatinya.
“Ahh, gombal kamu, Di” dalam hati Anjani juga sedikit menaruh harapan berharap Adipati adalah bagian dari hatinya yang hilang.
“Sudah yuk pulang!, sudah malam ini, udara malam tidak baik untuk kamu”
“Iya, ayo!’ ucap Anjani, dalam hati berharap lebih lama ingin bersama Adipati.

AndipatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang