Jeno meletakkan violin casenya di lantai dengan hati-hati, tangannya terampil membersihkan violin dari debu, matanya menatap grand piano di sudut ruangan, Haechan sudah duduk di sana, melambai heboh padanya yang dia acuhkan.
Suara pelatih membuat mereka bersiap melakukan latihan terakhir. Dia bergabung dengan barisan violinist di depan dua orang harpist, bersiap mendengarkan intruksi dari konduktor yang memimpin. Kalimat ibunya diabaikan, dia hanya ingin fokus. Kalaupun ini konser terakhir, biarkan dia mengeluarkan seluruh kemampuan terbaiknya agar tidak ada penyesalan yang tersisa.
Jemari Haechan dengan lembut menekan tuts hitam putih. Memulai latihan dengan aura suram, petikan harpa menyusul. Mata Jeno terpejam, menikmati alunan magis yang menyusup dalam dadanya.
Mahler Symphony No. 9 in D Major.
Dia bisa merasakan kemarahan, ketergantungan, penolakan, depresi dan kepasrahan yang dialami Mahler saat menulis simfoni ini. Karena percayalah, dia pun mengalaminya sekarang.
Tangannya bergerak menggesek bow pada senar, jemarinya berpindah dengan lentik, menikmati kesedihan Mahler saat merasa kematian sebentar lagi menjemputnya.
Jeno mendesah, kematiannya pun sedang dipersiapkan.
***
Hujan yang turun selepas latihan terakhir membuat Renjun menggerutu, adidas primeknit putihnya sudah bercampur dengan noda kecoklatan yang memercik saat dirinya berlari menuju halte tadi. Begitu pula kemeja biru yang sudah basah terkena air mata langit, helaan napas lagi-lagi terdengar saat rintik semakin menderas. Terjebak sendirian dalam keadaan lapar dan lelah adalah hal yang paling dia benci.
Kepalanya menoleh saat seorang laki-laki lain berlari dengan violin case di tangannya, jaket abu-abu yang dia kenakan sudah kuyup, air menetes dari ujung rambut hitamnya.
Renjun sedikit bergeser saat lelaki itu meletakkan casenya di bangku besi yang dingin, dia bisa membaca ukiran hangul berwarna emas dengan tulisan Jung Jeno di sisi kiri case itu.
"Ah sial sekali!"
Renjun melirik lelaki yang sudah berdiri di sisinya.
"Ya, benar-benar sial."
Suara tawa renyah membuat Renjun menoleh, "Kenapa?"
"Tidak, hanya sedikit lucu karena aku tidak terjebak sendirian."
Bahu Renjun mengedik, selera humor lelaki ini rendah sekali.
"Namaku Jeno, siapa tahu kita bertemu lagi?"
Tangannya bersambut, "Renjun."
"Kau baru pulang sekolah?" tanya Jeno saat tidak ada tanda Renjun akan memulai percakapan.
"Pulang latihan."
"Latihan apa?"
"Menari." Tubuh Jeno merapat saat beberapa pekerja kantoran ikut berteduh di bawah atap yang sempit.
"Kau violinist?"
Kepala Jeno terangguk, "Untuk yang terakhir kalinya."
Kata terakhir yang diucapkan Jeno dengan penuh penekanan membuat Renjun menatapnya heran.
"Kenapa?"
"Orang tuaku tidak suka aku bermusik, mereka ingin aku melanjutkan usaha mereka ya semacam itu." Nada suara itu penuh putus asa dan amarah, Renjun bisa mendengarnya dengan baik karena dia pun ada di posisi lelaki bernama Jeno itu.
"Kau tidak sendiri, kawan." Bahunya ditepuk, "Kita senasib."
Jeno tertawa lagi, kedua matanya menyipit dengan indah, membuat bibir Renjun ikut melengkung.
"Nah, kalau begitu kau mau melihat pertunjukan terakhirku, Renjun?"
Kali ini Renjun yang tertawa kecil, "Dengan senang hati."
Keduanya berpisah saat bus ke arah rumah Jeno tiba lebih dulu, lelaki itu melambai dari balik kaca jendela, Renjun membalas dengan senyum kecil.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
convivencia
Fanfictionkenapa kita harus terjebak di lingkaran bernama kesalahpahaman? [Jeno x Renjun] NCT (c) SMTOWN