Raini

54 4 0
                                    

    "Kalau aku mati, bagaimana ya?" ucapnya dengan enteng sekali. Ingin sekali aku ketuk kepala gadis mungil ini, tapi sekarang bukan waktunya.

    "Ya kamu dikuburkan, lah!" balasku sedikit kecut.

    Bibirnya tersenyum meski matanya berkaca-kaca. Rambut panjang sebahunya daritadi acak-acakan. Tidak seperti biasanya, membuatku ingin bertanya 'kamu kenapa?' tapi, ini bukan saatnya.

     "Bagus, kalau sesimpel itu." Raini lalu berdiri. Ia melangkah pergi dari bangku taman yang sedari tadi kami duduki.

    Tentu aku mengikutinya. Jawabannya membuatku bertanya-tanya. Apa yang akan dia lakukan, apa yang terjadi padanya, apa yang harus kulakukan. Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku.

    Dia mulai keluar dari areal taman. Diam di pinggir jalan, hendak menyebrang. Aneh, padahal jalanan sedang kosong, kenapa tidak langsung menyebrang saja?

    Hingga sebuah bus muncul di ujung jalan. Bus itu melaju cukup kencang. Saat itu pula aku melihat Raini mengambil ancang-ancang.

Dia akan menabrakan dirinya pada bus itu …

    Itu lah yang ada di pikiran ku saat itu. Sontak aku berlari ke arahnya. Dengan sigap, kutarik tangan kurusnya hingga ia terjatuh ke belakang, tepat di depan tubuhku.

    "Kamu gila ya?!" Teriakku padanya.

    Raini kini duduk. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Ia terisak cukup kencang.

    Beberapa orang yang tadi sedang beraktifitas di taman kini berdatangan menghampiriku. Kami menjadi pusat perhatian saat ini. Kebanyakan mereka bertanya "apa yang terjadi?"

    Tidak mungkin bila kujawab gadis cantik namun bodoh itu akan menabrakan dirinya, jadi kujawab saja "tadi hampir ke-serempet bus, kang, bu."

    "Di, tolong, antar aku pulang."

-

    Kulihat dari jendela, hujan semakin deras saja. Kamarku bahkan semakin dingin. Untung saja aku sempat sampai sebelum hujan turun. Jadi tidak kehujanan, tidak harus basah-basahan.

    "Raini sedang apa ya?"

    Setelah mengantar pulangnya tadi, aku langsung terus-terusan memikirkannya. Hanya satu yang masih aku ingin tahu, dia itu kenapa?

    Memang kadang dia tiba-tiba menangis, atau kadang aku pergoki dia sedang melamun. Tapi tadi siang dia berniat menabrakan dirinya sendiri, apa dia gila?

    Pertanyaan itu hanya bisa berputar di kepalaku tanpa aku tahu penyebabnya.

    Hingga di tengah derasnya hujan, ku lihat Raini berlari masuk ke warung makan Bi Anih yang tepat berada di depan rumahku, di depan kamarku.

    Raini masih memakai baju seragam, bahkan sepatunya. Hanya saja, raut wajahnya kali ini lebih kusut dari tadi siang. Oh Raini, kamu kenapa?

    Aku lalu keluar dari kamarku. Kuraih sebuah payung yang disimpan di ember tepat di sebelah pintu rumah. Aku bergegas mengikuti gadis itu ke warung Bi Anih.

    "Raini yang keluar rumah saat cuaca sedang Rainy," ucapku. Sengaja aku sedikit berguyon receh, setidaknya menghiburnya. Tapi dia sama sekali tidak menghiraukannya.

    Raini menunduk, menaruh kepalanya di meja ujung warung makan ini. Badannya bergetar, ia sedang menangis, sepertinya.

    Aku mendekat sementara Bi Anih melihat padaku dengan tatapan bertanya, "Den, itu non Rai kenapa?" yang jelas membuatku bergeleng seakan menjawab, "seandainya aku tau, Bi."

Raini's RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang