Seseorang bilang, a home isn't just a place to live. Home is something that can give you warmness and happiness.
Rumah bukan hanya sebuah bangunan. Rumah mempunyai makna yang lebih dalam. Menurut gue sendiri, rumah adalah suatu hal yang bisa menciptakan rasa hangat dan kebahagiaan dalam hati gue.
Rumah juga bukan sekadar tempat untuk pulang ataupun tempat untuk melepas penat akibat beraktivitas seharian.
Jika demikian, bangunan semegah dan semewah apapun nggak bisa disebut dengan rumah apabila hati nggak merasa nyaman saat berada di sana.
Sebaliknya, sebuah gubuk yang mungkin kondisinya sudah tidak cocok untuk dikatakan layak, bisa menjadi rumah asalkan timbul rasa nyaman ketika di sana.
Ada juga yang bilang, bukan mewahnya rumah yang menciptakan nyaman dan bahagia, tapi orang-orang di dalamnya lah yang bisa melakukannya.
Jadi, rumah adalah orang yang ada di dalamnya. Merekalah yang berperan penting dalam menciptakan suasana nyaman saat berada di dalam rumah.
Ya, itu memang benar adanya. Sebanyak apapun kita menciptakan rumah, kalau nggak diciptakan dengan tulus, rumah hanyalah sebuah bangunan.
Sebuah unit apartemen di kota Seoul menjadi saksi bisu gue yang merasakan perubahan makna rumah itu sendiri. Tepatnya, semenjak Papa sama Mama gue memutuskan untuk berpisah. Menjalani kehidupan sehari-hari, seolah tidak pernah saling mengenal sebelumnya.Saat itu, gue masih duduk di bangku kelas akhir sekolah dasar. Gue bertanya-tanya, kenapa Papa gue memilih untuk menjadi sosok asing di hidup Mama, gue, dan adek gue, Jihoon?
Dan setelah itu, gue merasa, rumah gue nggak seperti dulu lagi.
Papa, yang memutuskan untuk menghilangkan jejaknya dari hidup gue.
Mama, yang semakin sibuk dengan pekerjaannya di luar kota. Sehingga, gue jarang berkomunikasi sama beliau. Bahkan chat kita hanya sebatas bukti transfer uang bulanan Mama ke rekening gue.
Maka dari itu gue sangat bersyukur Tuhan masih mengutus sosok Jihoon yang menjadi satu-satunya alasan gue untuk pulang ke rumah. Meskipun suasananya tidak sehangat ketika Papa dan Mama masih ada di rumah. Gue sangat hargai itu.
Namun pada akhirnya, gue jenuh.
Rutinitas sehari-hari gue nggak jauh-jauh dari kuliah, part time di kafe, makan kalo inget, nugas, ngurus Jihoon. Karena hipotesis di otak gue tertulis, jika sudah jenuh dengan rumah, kenapa nggak ditinggalkan saja?
Dan berakhir dengan gue yang sudah packing barang-barang gue di rumah itu, menaruh post it dan menempelkannya di dahi Jihoon saat pemuda yang lahir lima menit setelah gue lahir itu masih tertidur lelap.
Gue pergi. Jangan cari gue lagi. Kalau ada apa-apa telepon Kak Aron.
- PWJGue masih belum memutuskan untuk pindah, karena gue belum tahu harus tinggal dimana lagi. Rumah Papa? Gue aja nggak tahu sekarang Papa gue dimana. Ikut Mama ke luar kota? Dikutuk jadi batu karena meninggalkan Jihoon sendirian di rumah, mah, iya.
Berbekal tabungan dan uang bulanan Mama yang masih tersisa, rencananya gue bakal menyewa apartemen yang nggak jauh dari rumah gue. Setelah itu, gue langsung diserbu sama temen-temen gue.
"Kenapa mau pindah, Jin?"
"Mainnya udah nyewa apartemen, cuy! Gila!"
"Lo udah punya pacar Jin? Mau tinggal bareng pacar lo?"
Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sampai...
"Kenapa adik lo nggak ikut sama lo?"
"Suka-suka gue." jawab gue pendek, berusaha tenang. Padahal, di dalam hati, perasaan gue sudah jauh dari kata tenang.
Apalagi dengan sosok yang barusan melontarkan pertanyaannya ke gue.
Ahn Hyungseob merupakan sosok yang paling nggak suka ikut campur dengan urusan orang, meskipun ia berteman dengan sosok seperti Lee Daehwi. Pendiam, tetapi diam-diam memperhatikan.Gue bisa merasakan tatapan tajam dia dari kursi gue yang berada tepat di depannya. Tidak mempedulikan eksistensinya, gue melanjutkan game yang sempat terhenti karena rentetan pertanyaan temen-temen yang kepo sama kepindahan gue.
"Bodoh itu gratis tapi jangan lo embat semua! Demi Tuhan, he's deaf and mute. Kalau dia kenapa-napa, gimana?" tanyanya lagi dengan suara pelan, mengingat bahwa ini adalah perpustakaan.
Gue baru tersadar jika diantara teman-teman kuliah gue, hanya Hyungseob yang mengetahui eksistensi Jihoon. Dan reaksi gue yang pertama sebelum menjawab pertanyaan Hyungseob adalah menghela nafas.
"Denger, ya.
Gue sudah mempertimbangkan semuanya, tindakan gue ini, ya, it's nothing to do with you.
Lo nggak ngerti gimana gue berusaha struggle dengan kondisi keluarga gue yang sekarang, so please get away out of my face, will you?
Oh iya. Lo ngurus Jihoon aja nggak, gimana mau ngerti rasanya, ya?"
Tutur gue kemudian, final. Gue rasa cukup untuk membungkam pemuda yang sialnya, selalu menempuh ilmu di tempat yang sama dengan gue sejak sekolah dasar.
Dari belakang, gue mendengar ada suara decitan bangku, habis ditendang oleh seseorang. Hyungseob keluar dari perpustakaan lima detik setelahnya, diikuti dengan teriakan penjaga perpustakaan yang memintanya untuk tetap tenang.
Reaksi dia memang sesuai ekspektasi gue. Dari dulu, setiap kali gue mengungkapkan sesuatu dan menurut dia tidak sesuai pikirannya, ia akan terus bertanya dan gue tetap keukeuh memberikan jawaban yang sama, sampai ia jengah.
Kebetulan sekali, barusan dia nggak menginterogasi gue. Mungkin lelah dengan rutinitas yang kayanya nggak afdol kalau setiap hari nggak dilakuin, debat.
"Dasar ya lo berdua."
Gue menolehkan kepala ke sumber suara.
"Gue nggak bakal kaget kalo sebentar lagi ada undangan nikahan nyempil di kotak surat rumah gue,
dan bertuliskan dari Park Woojin dan Ahn Hyungseob."
Kali ini giliran gue yang menendang meja dan meninggalkan perpustakaan, ditemani dengan tawa Kim Yerim yang menggelegar.
KAMU SEDANG MEMBACA
sleepless in _______ / 진섭。
FanficKau benar-benar menarik atensiku. "Do you have trouble sleeping? Do you have nightmares? Are you heartbroken?" Tidak perlu kutanya, aku sudah mengerti jawabannya. "Ya." Starring Park Woojin and Ahn Hyungseob. Terinspirasi dari album Epik High 'sleep...